Selain diwarnai aksi yang sangat tidak patut berupa goyang dangdut oplosan, baku pukul antar pembicara yang notabene bergelar ustadz atau kyai juga turut merusak citra NU sekaligus membuktikan konsep Islam Nusantara hanyalah basa-basi.
Seperti dilansir sejumlah media, termasuk Berita Satu, sidang pleno pertama yang membahas Rancangan Tata Tertib Muktamar ke-33 NU di Jombang beberapa kali ricuh.
Muktamar NU yang diklaim "dijaga malaikat dan jin sejagat" itu diwarnai tiga kali aksi baku pukul antar pembicara dari peserta muktamar, karena berbeda pikiran soal mekanisme pemilihan Rais Aam Syuriah-Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.
Ada dua opsi yang muncul yakni pemilihan dengan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) atau musyawarah mufakat melalui wakil kiayi dan model pemilihan pemungutan suara atau voting langsung yang dilakukan para pimpinan Pengurus Cabang NU (PCNU), Pengurus Wilayah NU (PWNU) dan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) yang ada di luar negeri.
Karena keterlibatan Banser dan Ansor sebagai keamanan muktamar yang sangat terkesan pro dengan Panitia Penyelenggara dan Pro AHWA, akibatnya mereka tidak mampu meredam kegaduhan dan keributan. Dengan terpaksa Slamet Effendy Yusuf selaku ketua Steering Committe (SC) yang memimpin jalannya sidang, menskors untuk yang keempat kalinya mulai pukul 23.20 WIB hingga Senin (3/8) siang hari ini.
“Peristiwa memalukan yang seharusnya tidak perlu terjadi manakala pimpinan sidang mendengarkan pernyataan Khatib Aam, selaku pencetus pertama gagasan AHWA, serta memahami bahwa AHWA itu bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU, maka keberadaan Pasal 19 yang mengatur pemilihan Rais Aam dan Ketum Tanfidziyah PBNU secara AHWA, tidak akan pernah masuk dalam rancangan tata tertib,” ujar pembicara dari PWNU Riau.
Oleh karena itu, Pasal 19 dihapus dari Rancangan Tatib agar tidak menabrak AD/ART, untuk selanjutnya memasuki agenda sidang-sidang komisi dan sidang pleno yang sudah diagendakan panitia muktamar, tandasnya lagi.
Pernyataan yang sama juga diungkapkan sebagian besar dari 131 orang dari muktamirin yang menginterupsi untuk memberikan tanggapan atas keberadaan Pasal 19, yang dinilai sebagai bukan haknya Tatib Muktamar, tetapi hak dari Komisi Organisasi untuk membahas AD/ART sebelum kemudian dibawa ke sidang pleno muktamar.
“Kalau panitia muktamar yang membuat draf, Tatib ini taat kepada AD/ART, maka harus menghapus Pasal 19 dan melanjutkan ke rancangan pasal-pasal berikutnya,” ujar pembicara dari PWNU Jabar.
Ungkapan yang sama juga disampaikan pembicara dari PWNU Banten, PWNU Maluku Tengah, PWNU Sumatera Selatan, PWNU Jawa Tengah, PWNU Sumatera Utara, PCNU Magelang, PCNU Kendari, PWNU Kalimantan Tengah, dan PWNU Kepri serta PWNU Sulawesi Tenggara.
Setiap kali pembicara itu menyampaikan menolak model pemilihan dengan AHWA, maka muktamirin dari kelompok pro AHWA yang dimotori PWNU Jatim, PWNU Papua, PCNU Pati, PCNU Indramayu dan PWNU Lampung melalukan teriakan-teriakan menghujat dan kemudian satu dua orang muktamirin beranjak dari tempat duduknya dan mendekati serta melakukan tindakan yang tidak terpuji terhadap pembicara yang pro AD/ART.
Perpecahan antara kelompok pro-kontra AHWA kemudian semakin melebar karena pimpinan sidang tidak mengindahkan tausyiah Katib Aam, Prof Dr KH Abdul Malik Madany yang mengaku sebagai penggagas pertama model pemilihan AHWA, yang dinilai lebih baik daripada sistem voting.
Namun ia justru mendukung muktamirin yang pro AD/ART karena AHWA itu baru bisa dibahas dalam sidang komisi organisasi dan kemudian dibawa ke sidang pleno untuk disetujui diberlakukan pada Muktamar NU yang akan datang.
“Bukan sekarang ini, karena model pemilihan AHWA harus didahului dengan amendemen AD/ART, baru kemudian disetujui pada sidang pleno muktamar untuk ditetapkan atau ditolak sebagai salah satu keputusan Muktamar ke-33 NU,” ujar Katib Aam dengan suara haru, prihatin melihat perpecahan yang dikhawatirkan sejumlah ulama dalam penyelenggaraan muktamar di bumi kandung NU itu, kini mendekati terbukti.
Sayangnya, tausyiah Katib Aam yang kemudian didukung mayoritas muktamirin itu diabaikan pimpinan sidang.
Perbedaan pendapat atas Pasal 19 Rancangan Tatib tersebut semakin malam semakin tak terkendali sehingga terjadi baku pukul beberapa kali.
Bahkan mereka yang pro AD/ART diteriaki, dikeroyok dan kemudian ‘dikawal’ sejumlah Banser keluar ruang sidang, dengan alasan agar tidak menjadi sasaran amuk muktamirin pro-AHWA.
Terdengar jelas makian dan hujatan kelompok pro-AHWA yang dialamatkan kepada muktamirin yang pro-AD/ART.
Kericuhan semakin tak terkendali dan pimpinan sidang Slamet Effendy Yusuf kemudian menyatakan sidang diskors untuk dilanjutkan keesokan hari, Senin (3/8) tanpa diketahui pukul berapa siang pembahasan tatib itu akan dimulai.
Tidak urung mereka yang pro-AD/ART menyesalkan kenekatan pimpinan sidang yang kemudian dituding sengaja mengulur-ulur waktu agar terjadi deadlock dan kemudian memberikan hak prerogratif Rais Aam KH Mustofa Bisri yang jelas-jelas mendukung pro-AHWA.
Hampir semua muktamirin pro-AD/ART yang mengetahui arah diberlakukannya sistem AHWA agar sembilan orang kiai yang bakal dipilih itu akan memilih KH Mustofa Bisri sebagai Rais Aam.
Manakala muktamirin yang mendukung sistem AD/ART hampir dipastikan akan memilih KH A Hasyim Muzadi sebagai Rais Aam.
Jika Kiai Mustofa Bisri yang terpilih menjadi Rais Aam, maka hampir dapat dipastikan muktamirin pro-AD/ART akan ‘terpaksa’ memilih incumbent KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU untuk yang kedua kalinya.
Sebaliknya, jika muktamirin pro-AD/ART yang menguasai suara mayoritas muktamar yang menang, maka hampir dapat dipastikan mereka akan memilih antara Sholahuddin Wahid (Gus Solah) atau KH As’ad Said Ali, mantan Wakil Ketua BIN yang kini duduk di salah satu Ketua PBNU.
Karena keterlibatan Banser dan Ansor sebagai keamanan muktamar yang sangat terkesan pro dengan Panitia Penyelenggara dan Pro AHWA, akibatnya mereka tidak mampu meredam kegaduhan dan keributan. Dengan terpaksa Slamet Effendy Yusuf selaku ketua Steering Committe (SC) yang memimpin jalannya sidang, menskors untuk yang keempat kalinya mulai pukul 23.20 WIB hingga Senin (3/8) siang hari ini.
“Peristiwa memalukan yang seharusnya tidak perlu terjadi manakala pimpinan sidang mendengarkan pernyataan Khatib Aam, selaku pencetus pertama gagasan AHWA, serta memahami bahwa AHWA itu bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU, maka keberadaan Pasal 19 yang mengatur pemilihan Rais Aam dan Ketum Tanfidziyah PBNU secara AHWA, tidak akan pernah masuk dalam rancangan tata tertib,” ujar pembicara dari PWNU Riau.
Oleh karena itu, Pasal 19 dihapus dari Rancangan Tatib agar tidak menabrak AD/ART, untuk selanjutnya memasuki agenda sidang-sidang komisi dan sidang pleno yang sudah diagendakan panitia muktamar, tandasnya lagi.
Pernyataan yang sama juga diungkapkan sebagian besar dari 131 orang dari muktamirin yang menginterupsi untuk memberikan tanggapan atas keberadaan Pasal 19, yang dinilai sebagai bukan haknya Tatib Muktamar, tetapi hak dari Komisi Organisasi untuk membahas AD/ART sebelum kemudian dibawa ke sidang pleno muktamar.
“Kalau panitia muktamar yang membuat draf, Tatib ini taat kepada AD/ART, maka harus menghapus Pasal 19 dan melanjutkan ke rancangan pasal-pasal berikutnya,” ujar pembicara dari PWNU Jabar.
Ungkapan yang sama juga disampaikan pembicara dari PWNU Banten, PWNU Maluku Tengah, PWNU Sumatera Selatan, PWNU Jawa Tengah, PWNU Sumatera Utara, PCNU Magelang, PCNU Kendari, PWNU Kalimantan Tengah, dan PWNU Kepri serta PWNU Sulawesi Tenggara.
Setiap kali pembicara itu menyampaikan menolak model pemilihan dengan AHWA, maka muktamirin dari kelompok pro AHWA yang dimotori PWNU Jatim, PWNU Papua, PCNU Pati, PCNU Indramayu dan PWNU Lampung melalukan teriakan-teriakan menghujat dan kemudian satu dua orang muktamirin beranjak dari tempat duduknya dan mendekati serta melakukan tindakan yang tidak terpuji terhadap pembicara yang pro AD/ART.
Perpecahan antara kelompok pro-kontra AHWA kemudian semakin melebar karena pimpinan sidang tidak mengindahkan tausyiah Katib Aam, Prof Dr KH Abdul Malik Madany yang mengaku sebagai penggagas pertama model pemilihan AHWA, yang dinilai lebih baik daripada sistem voting.
Namun ia justru mendukung muktamirin yang pro AD/ART karena AHWA itu baru bisa dibahas dalam sidang komisi organisasi dan kemudian dibawa ke sidang pleno untuk disetujui diberlakukan pada Muktamar NU yang akan datang.
“Bukan sekarang ini, karena model pemilihan AHWA harus didahului dengan amendemen AD/ART, baru kemudian disetujui pada sidang pleno muktamar untuk ditetapkan atau ditolak sebagai salah satu keputusan Muktamar ke-33 NU,” ujar Katib Aam dengan suara haru, prihatin melihat perpecahan yang dikhawatirkan sejumlah ulama dalam penyelenggaraan muktamar di bumi kandung NU itu, kini mendekati terbukti.
Sayangnya, tausyiah Katib Aam yang kemudian didukung mayoritas muktamirin itu diabaikan pimpinan sidang.
Perbedaan pendapat atas Pasal 19 Rancangan Tatib tersebut semakin malam semakin tak terkendali sehingga terjadi baku pukul beberapa kali.
Bahkan mereka yang pro AD/ART diteriaki, dikeroyok dan kemudian ‘dikawal’ sejumlah Banser keluar ruang sidang, dengan alasan agar tidak menjadi sasaran amuk muktamirin pro-AHWA.
Sedikitnya ada empat pembicara yang pro AD/ART yang ‘diusir’ keluar petugas sekuriti Banser, namun mereka tetap bertahan di dalam arena muktamar.
Terdengar jelas makian dan hujatan kelompok pro-AHWA yang dialamatkan kepada muktamirin yang pro-AD/ART.
Kericuhan semakin tak terkendali dan pimpinan sidang Slamet Effendy Yusuf kemudian menyatakan sidang diskors untuk dilanjutkan keesokan hari, Senin (3/8) tanpa diketahui pukul berapa siang pembahasan tatib itu akan dimulai.
Tidak urung mereka yang pro-AD/ART menyesalkan kenekatan pimpinan sidang yang kemudian dituding sengaja mengulur-ulur waktu agar terjadi deadlock dan kemudian memberikan hak prerogratif Rais Aam KH Mustofa Bisri yang jelas-jelas mendukung pro-AHWA.
Hampir semua muktamirin pro-AD/ART yang mengetahui arah diberlakukannya sistem AHWA agar sembilan orang kiai yang bakal dipilih itu akan memilih KH Mustofa Bisri sebagai Rais Aam.
Manakala muktamirin yang mendukung sistem AD/ART hampir dipastikan akan memilih KH A Hasyim Muzadi sebagai Rais Aam.
Jika Kiai Mustofa Bisri yang terpilih menjadi Rais Aam, maka hampir dapat dipastikan muktamirin pro-AD/ART akan ‘terpaksa’ memilih incumbent KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU untuk yang kedua kalinya.
Sebaliknya, jika muktamirin pro-AD/ART yang menguasai suara mayoritas muktamar yang menang, maka hampir dapat dipastikan mereka akan memilih antara Sholahuddin Wahid (Gus Solah) atau KH As’ad Said Ali, mantan Wakil Ketua BIN yang kini duduk di salah satu Ketua PBNU.
Inikah ISLAM NUSANTARA yang dikampanyekan dan menjadi tema Muktamar NU? Astagfirullah wa na'udzubillah.... Masihkan NU akan gencar mempromosikan Islam Nusantara yang katanya toleran dan cinta damai?
Post a Comment