Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) menggelar Aksi Simpatik 55 dengan damai di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (5/5/2017).
Massa aksi memilih beri'tikaf atau diam di dalam masjid untuk mendengarkan tausyiah dari para ulama, termasuk dari Aa Gym.
Pada awalnya, massa aksi akan menggelar longmarch dari Masjid Istiqlal ke Mahkamah Agung. Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya GNPF hanya mengirimkan 10 orang delegasi ke Mahkamah Agung, yaitu Prof Didin Hafiduddin, Kapitra Ampera, Nasrulloh Nasution, KH Shobri Lubis, Ahmad Doli Kurnia, Ahmad Luthfi Fathullah, Muhammad Luthfie Hakim, Heri Aryanto, KH Nazar Haris, dan Ustaz Bobby Herwibowo.
Wakil Ketua GNPF MUI, Ustaz Zaitun Rasmin, mengatakan, sebelumnya umat Islam telah menggelar beberapa Aksi Bela Islam untuk mencari keadilan dalam kasus penistaan agama, seperti aksi 411, 112, 212, dan Aksi 313. Namun, ia menyebut aksi 55 ini merupakan aksi penutup
"Aksi 55 ini sebagai penutup aksi-aksi bela Islam kita. GNPF tidak rencanakan aksi lagi. Kita harap ini tuntutan kita terakhir," ujar Ustaz Zaitun di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (5/5) saat memandu tausiah.
Selain itu, menurut Zaitun, beberapa kali perwakilan GNPF juga telah berkomunikasi dan menyampaikan aspirasi umat Islam kepada para pemegang kekuasaan di Indonesia, mulai dari tingkatan paling rendah hingga ke paling tinggi.
"Semua upaya kita lakukan, kita dialog sampai kepada bapak wakil presiden, GNPF sudah diterima secara resmi. Memang kepada presiden tak langsung diterima, Tapi bapak presiden telah datang langsung ke Monas saat Aksi Bela Islam ketiga, ini tandanya apresiasi kita telah didengar," ucapnya.
Setelah berbagai aksi dilakukan, Zaitun berpesan, untuk selanjutnya, umat islam diminta untuk terus berdoa kepada Allah SWT agar menurunkan keadilan di Indonesia. Karena menurut Zaitun setelah segala aksi yang dilakukan jalan selanjutnya yaitu tinggal meminta dan memohon pertolongan Allah SWT "Kita terus berjuang dengan doa kita, Ini adalah aksi puncak kita. Kita yakin bahwa doa-doa kita akan di dengar," katanya.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id, hingga tiba waktu shalat Ashar massa Aksi Simpatik 55 masih berada di dalam Masjid Istiqlal sambil berdoa. Sebagian lainnya ada juga yang berjalan-jalan di pelataran depan masjid kebanggaan Ibu Kota tersebut. Mereka masih menunggu hasil pertemuan dari delegasi yang dikirim ke MA tersebut.
Lebih dari 10 delegasi Aksi Simpatik 55 diterima oleh empat orang perwakilan dari Mahkamah Agung (MA). Dalam pertemuan itu mereka memiliki empat permintaan atau masukan kepada lembaga peradilan tertinggi itu.
"Bukan bertujuan untuk intervnsi pengadilan dalam hal ini majelis hakim. Ada empat poin permintaan mereka mayoritas berisi dukungan terhadap majelis hakim agar menjatuhkan vonis secara independen," jelas Ridwan, dalam jumpa pers di Media Center MA, Jakarta Pusat, Jumat (5/5).
Menurut Ridwan, poin pertama yakni mereka dukung penuh terhadap apa yang menjadi pedoman prinsip peradilan independensi hakim. Kedua adalah agar vonis majelis hakim menjadi benteng terakhir dari rangkaian perjalanan dalam sebuah perkara.
"Sehingga delegasi dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) akan mendukung apa yang telah diputuskan hakim apabila berdasarkan kepada unsur keadilan di masyarakat," tambahnya.
Ketiga, sambungnya, perwakilan dan seluruh peserta aksi memberikan doa serta dukungan untuk majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ini dengan sebaik-baiknya, menurut rasa keadilan masyarakat.
"Maka mereka mendukung independensi agar masyarakat benar-benar memperoleh putusan yang memberikan keadilan. Pemberian keadilan ini merupakan amanat Undang-undang," kata Ridwan.
Selanjutnya, permintaan terakhir dari massa Aksi Simpatik 55 adalah ingin menjadikan MA sebagai benteng terakhir dalam jalannya proses peradilan. Para delegasi berharap MA memberikan keadilan bagi masyarajat, dan pemberikan keadilan ini berdasarkan kepada undang-undang.
Aksi Simpatik 55 Gambaran Kecemasan
Pengamat Politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, aksi simpatik 55 adalah gambaran perasaan dan kecemasan masyarakat yang diekspresikan dari kekhawatiran adanya ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Hal itu terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Pelaku aksi ini ingin menggambarkan kekhawatiran, terluka hatinya, penegak hukum nangkep gak sih ekspresi perasaan itu?” kata Warlan saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/5).
Warlan menilai aksi simpatik 55 bukanlah untuk menekan penegak hukum dalam menetapkan keputusan. Namun, kata dia, aksi tersebut sangat menggambarkan ekspresi kecewa terhadap tuntutan jaksa beberapa waktu lalu yang dinilai tidak membela masyarakat.
Warlan menegaskan, aksi simpatik 55 jangan lagi dibaca sebagai tekanan, ancaman, atau intimidasi pada peradilan. “Gini deh, coba kalau ada anak yang ngambek sama orang tua. Ekspresinya kan ngunci dikamar, tidak mau makan, tidak mau sekolah misal, itukan bukan tekanan pada orang tua, karena tidak boleh menekan orang tua. Itu hanya menggabarkan perasaan kekecewaan, sama halnya aksi ini,” jelas Warlan.
Dia berharap, para penegak hukum dan pemerintah bisa menangkap sinyal dari ekspresi masyarakat Islam tersebut. Sehingga, teags Warlan, hukum bisa berjalan sesuai dengan Undang-undang, dan hakim dapat menunjukkan keindependensian dan keadilan dalam penegakkan hukum.
“Kita tunggu saja. Kalau menangkap kekhawatiran umat, pasti akan menuntut seadil-adilnya, kalau tidak ya sudah hakim tidak sensitif dengan perasaan umat islam pada umumnya berarti,” jelas Warlan.
Petisi alumni Harvard University
"Bukan bertujuan untuk intervnsi pengadilan dalam hal ini majelis hakim. Ada empat poin permintaan mereka mayoritas berisi dukungan terhadap majelis hakim agar menjatuhkan vonis secara independen," jelas Ridwan, dalam jumpa pers di Media Center MA, Jakarta Pusat, Jumat (5/5).
Menurut Ridwan, poin pertama yakni mereka dukung penuh terhadap apa yang menjadi pedoman prinsip peradilan independensi hakim. Kedua adalah agar vonis majelis hakim menjadi benteng terakhir dari rangkaian perjalanan dalam sebuah perkara.
"Sehingga delegasi dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) akan mendukung apa yang telah diputuskan hakim apabila berdasarkan kepada unsur keadilan di masyarakat," tambahnya.
Ketiga, sambungnya, perwakilan dan seluruh peserta aksi memberikan doa serta dukungan untuk majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ini dengan sebaik-baiknya, menurut rasa keadilan masyarakat.
"Maka mereka mendukung independensi agar masyarakat benar-benar memperoleh putusan yang memberikan keadilan. Pemberian keadilan ini merupakan amanat Undang-undang," kata Ridwan.
Selanjutnya, permintaan terakhir dari massa Aksi Simpatik 55 adalah ingin menjadikan MA sebagai benteng terakhir dalam jalannya proses peradilan. Para delegasi berharap MA memberikan keadilan bagi masyarajat, dan pemberikan keadilan ini berdasarkan kepada undang-undang.
Aksi Simpatik 55 Gambaran Kecemasan
Pengamat Politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, aksi simpatik 55 adalah gambaran perasaan dan kecemasan masyarakat yang diekspresikan dari kekhawatiran adanya ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Hal itu terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Pelaku aksi ini ingin menggambarkan kekhawatiran, terluka hatinya, penegak hukum nangkep gak sih ekspresi perasaan itu?” kata Warlan saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/5).
Warlan menilai aksi simpatik 55 bukanlah untuk menekan penegak hukum dalam menetapkan keputusan. Namun, kata dia, aksi tersebut sangat menggambarkan ekspresi kecewa terhadap tuntutan jaksa beberapa waktu lalu yang dinilai tidak membela masyarakat.
Warlan menegaskan, aksi simpatik 55 jangan lagi dibaca sebagai tekanan, ancaman, atau intimidasi pada peradilan. “Gini deh, coba kalau ada anak yang ngambek sama orang tua. Ekspresinya kan ngunci dikamar, tidak mau makan, tidak mau sekolah misal, itukan bukan tekanan pada orang tua, karena tidak boleh menekan orang tua. Itu hanya menggabarkan perasaan kekecewaan, sama halnya aksi ini,” jelas Warlan.
Dia berharap, para penegak hukum dan pemerintah bisa menangkap sinyal dari ekspresi masyarakat Islam tersebut. Sehingga, teags Warlan, hukum bisa berjalan sesuai dengan Undang-undang, dan hakim dapat menunjukkan keindependensian dan keadilan dalam penegakkan hukum.
“Kita tunggu saja. Kalau menangkap kekhawatiran umat, pasti akan menuntut seadil-adilnya, kalau tidak ya sudah hakim tidak sensitif dengan perasaan umat islam pada umumnya berarti,” jelas Warlan.
Petisi alumni Harvard University
Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir menilai petisi yang diserahkan pada kepala Pengadilan Negeri, yang digagas oleh 26 inisiator alumni Harvard Univercity dari Indonesia, Rabu (3/5) adalah intervensi dan tindakan memengaruhi hakim.
"Petisi yang dibuat oleh alumni Harvard tentang 'Ahok tidak ada kesengajaan untuk melakukan penistaan agama' itu, justru adalah bentuk intervensi, tindakan memengaruhi independensi hakim," kata Mudzakir saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/5).
Mudzakir menepis anggapan sekelompok alumni Harvard tersebut yang menyebut petisi yang diserahkan ke PN Jakarta Utara, tidak menekan dan mengintervensi. Padahal dengan statementnya itu, lanjut Mudzakir, sama saja dengan menggiring opini hakim dalam bertindak.
"Ya sama dengan menggiring hakim, bahwa Ahok tidak menista agama dan perbuatan Ahok bukan tindak pidana," tegasnya.
Mudzakir mengatakan, sesuai konstitusi hakim sudah seharusnya independen dan tidak terpengaruh siapapun. Termasuk jangan terpengaruh oleh Petisi alumni Harvard tersebut. Karena, lanjut dia, pendekatan hukum alumni Harvard bukan hukum Indonesia.
"Hukum Harvard jangan dibawa ke sini, hukum Indonesia ya Pancasila," tegasnya.
Sebelumnya, sebanyak 26 alumni Harvard Univercity dari Indonesia menggagas petisi www.ahoktidakmenistaagama.com yang pertama kali dirilis pada 1 Mei 2017. Petisi tersebut sudah ditandatangani oleh kurang lebih 10 ribu pendukung. Lalu, pada Rabu (3/5), 26 inisiator menyerahkan petisi kepada kepala PN Jakarta Utara.*
"Petisi yang dibuat oleh alumni Harvard tentang 'Ahok tidak ada kesengajaan untuk melakukan penistaan agama' itu, justru adalah bentuk intervensi, tindakan memengaruhi independensi hakim," kata Mudzakir saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/5).
Mudzakir menepis anggapan sekelompok alumni Harvard tersebut yang menyebut petisi yang diserahkan ke PN Jakarta Utara, tidak menekan dan mengintervensi. Padahal dengan statementnya itu, lanjut Mudzakir, sama saja dengan menggiring opini hakim dalam bertindak.
"Ya sama dengan menggiring hakim, bahwa Ahok tidak menista agama dan perbuatan Ahok bukan tindak pidana," tegasnya.
Mudzakir mengatakan, sesuai konstitusi hakim sudah seharusnya independen dan tidak terpengaruh siapapun. Termasuk jangan terpengaruh oleh Petisi alumni Harvard tersebut. Karena, lanjut dia, pendekatan hukum alumni Harvard bukan hukum Indonesia.
"Hukum Harvard jangan dibawa ke sini, hukum Indonesia ya Pancasila," tegasnya.
Sebelumnya, sebanyak 26 alumni Harvard Univercity dari Indonesia menggagas petisi www.ahoktidakmenistaagama.com yang pertama kali dirilis pada 1 Mei 2017. Petisi tersebut sudah ditandatangani oleh kurang lebih 10 ribu pendukung. Lalu, pada Rabu (3/5), 26 inisiator menyerahkan petisi kepada kepala PN Jakarta Utara.*
Sumber: Republika Online
Post a Comment