Pelaku Teror Bom Kampung Melayu Amatir. Motif Ciptakan Ketakutan. Tidak Terkait Islam. Ahoker di Seword Membuat Fitnah dengan mengaitkan Bom Kampung Melayu dengan Pembubaran HTI.
MANCHESTER (Inggris), Marawi (Filipina), lalu Kampung Melayu Jakarta. Tiga aksi terorisme sambung-menyambung dalam dua hari terakhir. Apakah mereka saling terkait? Belum tentu Tapi, minimal, peristiwa yang satu menginspirasi yang lain.
Rabu malam (24/5), sekitar pukul 21.00, ledakan bom menyalak di halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur. Serangan bom itu bersamaan dengan diselenggarakannya pawai obor menyambut kedatangan bulan suci Ramadan.
Tidak hanya satu, tapi dua. Bom pertama meledak di dekat toilet halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu. Bom kedua meledak di tempat parkir motor yang berjarak 4 meter dari halte.
Bom pertama membuat tubuh pelaku bom bunuh diri tercerai-berai. Sedangkan bom kedua yang berselang lima menit membuat beberapa warga yang ada di tempat parkir roboh. Termasuk polisi anggota Unit 1 Peleton 4 Polda Metro Jaya yang baru saja melakukan pengamanan pawai obor.
Wakapolri Irjen Syafrudin langsung datang ke lokasi kejadian tadi malam. Dia mengatakan bahwa ada tiga anggota kepolisian yang meninggal dunia. Satu polisi yang meninggal dipastikan bernama Bripda Topan. "Awalnya anggota kepolisian ini mengawal pawai yang dilakukan masyarakat. Namun, ternyata terjadi ledakan," terangnya.
Syafrudin menyatakan bahwa pelaku masih teridentifikasi seorang saja. "Namun, belum tahu siapa identitasnya," ucap dia.
Total ada lima korban meninggal dalam kejadian itu. Tiga polisi dan dua pelaku.
Pantauan Jawa Pos di Terminal Kampung Melayu menunjukkan, ratusan polisi langsung mengamankan lokasi kejadian beberapa saat setelah ledakan. Dua anggota tim gegana yang memakai pakaian pelindung menuju halte. Mereka tampak menyisir area sekitar halte. Sekitar pukul 22.00 tim gegana kembali menemukan satu bom aktif di lokasi kejadian.
Simon Natanael, 21, seorang saksi mata, menjelaskan bahwa suasana halte Transjakarta saat itu sedang ramai. Penumpang berdiri berdesak-desakan di depan pintu halte menunggu bus.
Ketika itu sesosok pria menggunakan jaket hitam berjalan menuju pintu halte. Ketika berada tepat di depan pintu, dia meledakkan bom yang ada dalam jaketnya. Blaaar....! "Pas bom itu sudah diledakkan, ada seorang ibu yang terluka," kata Simon. "Tubuh pelaku terpecah belah. Bagian kepala terpental ke dalam halte. Satu tangan dan tubuhnya terlempar ke jalan," lanjutnya.
Melihat hal tersebut, petugas kepolisian di sana bergegas melakukan pertolongan. Namun, selang beberapa menit kemudian, ledakan bom kembali terjadi. Bom di tempat parkir sepeda motor itu berdaya ledak lebih besar daripada yang pertama.
Sekitar pukul 21.30, wartawan Jawa Pos berada di lokasi. Kondisi di sekitar halte terlihat kacau. Asap putih tebal tampak mengepul disertai bau anyir menyengat. Polisi tampak sibuk mengevakuasi korban.
Beberapa polisi berupaya menutupi potongan-potongan tubuh terduga pelaku bom bunuh diri dengan kardus dan kertas koran. "Awas, itu ada (potongan, Red) tangan," kata seorang warga kepada Jawa Pos yang tidak sengaja menginjak serpihan daging dari potongan tangan tersebut. (JP)
Pengamat Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi mengatakan sikap umat Islam harus satu dalam menghadapi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Umat harus mengecam dan tidak memberikan ruang sekecil apa pun terhadap justifikasi tindakan teror.
"Target aksi terorisme adalah memecah belah bangsa. Terorisme itu bukan aksi tidak rasional, tetapi benar-benar mempelajari kondisi sosial politik dan berusaha untuk mendapatkan simpati atas aksi-aksinya," katanya di Jakarta, Kamis. Pernyataan itu disampaikan menanggapi peristiwa dua ledakan yang diduga bom bunuh diri di Kampung Melayu pada Rabu (24/5) malam.
Di samping itu, lanjut dia, mereka berusaha memecah belah bangsa dengan menargetkan aparat kepolisian.
"Sekarang ini kan kepercayaan sebagian umat Islam terhadap kepolisian sedang mengalami penurunan. Para teroris membaca fenomema ini dan berusaha mendapatkan simpati dari umat Islam atas tindakan mereka itu," ujarnya.
Namun, Yon mengatakan, umat Islam di Indonesia kini cukup cerdas membaca sabotase yang dilakukan oleh kelompok teroris, sehingga apa pun bentuk aksi mereka tidak akan pernah mendapatkan tempat di hati umat Islam.
"Publik di Indonesia, terutama umat Islam, cukup rasional dan tidak akan pernah bersimpati terhadap aksi-aksi terorisne. Mereka paham betul kapan harus mengkritisi kepolisian dan kapan harus bersama-sama dengan kepolisian," kata penyandang gelar PhD dari The Australian National University itu.
Prinsipnya publik, lanjut dia, tidak boleh takut dan merasa tidak aman. Demikian juga segala komponen bangsa harus sadar bahwa upaya memecah belah bangsa harus dilawan. "Dengan demikian aksi terorisme tidak akan dapat mencuri momentum apa pun," kata Yon Machmudi. (ANTARA).*
MANCHESTER (Inggris), Marawi (Filipina), lalu Kampung Melayu Jakarta. Tiga aksi terorisme sambung-menyambung dalam dua hari terakhir. Apakah mereka saling terkait? Belum tentu Tapi, minimal, peristiwa yang satu menginspirasi yang lain.
Rabu malam (24/5), sekitar pukul 21.00, ledakan bom menyalak di halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur. Serangan bom itu bersamaan dengan diselenggarakannya pawai obor menyambut kedatangan bulan suci Ramadan.
Tidak hanya satu, tapi dua. Bom pertama meledak di dekat toilet halte Transjakarta Terminal Bus Kampung Melayu. Bom kedua meledak di tempat parkir motor yang berjarak 4 meter dari halte.
Bom pertama membuat tubuh pelaku bom bunuh diri tercerai-berai. Sedangkan bom kedua yang berselang lima menit membuat beberapa warga yang ada di tempat parkir roboh. Termasuk polisi anggota Unit 1 Peleton 4 Polda Metro Jaya yang baru saja melakukan pengamanan pawai obor.
Wakapolri Irjen Syafrudin langsung datang ke lokasi kejadian tadi malam. Dia mengatakan bahwa ada tiga anggota kepolisian yang meninggal dunia. Satu polisi yang meninggal dipastikan bernama Bripda Topan. "Awalnya anggota kepolisian ini mengawal pawai yang dilakukan masyarakat. Namun, ternyata terjadi ledakan," terangnya.
Syafrudin menyatakan bahwa pelaku masih teridentifikasi seorang saja. "Namun, belum tahu siapa identitasnya," ucap dia.
Total ada lima korban meninggal dalam kejadian itu. Tiga polisi dan dua pelaku.
Pantauan Jawa Pos di Terminal Kampung Melayu menunjukkan, ratusan polisi langsung mengamankan lokasi kejadian beberapa saat setelah ledakan. Dua anggota tim gegana yang memakai pakaian pelindung menuju halte. Mereka tampak menyisir area sekitar halte. Sekitar pukul 22.00 tim gegana kembali menemukan satu bom aktif di lokasi kejadian.
Simon Natanael, 21, seorang saksi mata, menjelaskan bahwa suasana halte Transjakarta saat itu sedang ramai. Penumpang berdiri berdesak-desakan di depan pintu halte menunggu bus.
Ketika itu sesosok pria menggunakan jaket hitam berjalan menuju pintu halte. Ketika berada tepat di depan pintu, dia meledakkan bom yang ada dalam jaketnya. Blaaar....! "Pas bom itu sudah diledakkan, ada seorang ibu yang terluka," kata Simon. "Tubuh pelaku terpecah belah. Bagian kepala terpental ke dalam halte. Satu tangan dan tubuhnya terlempar ke jalan," lanjutnya.
Melihat hal tersebut, petugas kepolisian di sana bergegas melakukan pertolongan. Namun, selang beberapa menit kemudian, ledakan bom kembali terjadi. Bom di tempat parkir sepeda motor itu berdaya ledak lebih besar daripada yang pertama.
Sekitar pukul 21.30, wartawan Jawa Pos berada di lokasi. Kondisi di sekitar halte terlihat kacau. Asap putih tebal tampak mengepul disertai bau anyir menyengat. Polisi tampak sibuk mengevakuasi korban.
Beberapa polisi berupaya menutupi potongan-potongan tubuh terduga pelaku bom bunuh diri dengan kardus dan kertas koran. "Awas, itu ada (potongan, Red) tangan," kata seorang warga kepada Jawa Pos yang tidak sengaja menginjak serpihan daging dari potongan tangan tersebut. (JP)
PELAKU AMATIR
Ali Fauzi, mantan kombatan, mengungkapkan, dulu ketika masih jadi ikhwan jihadi, dirinya selalu terkesima tiap mendengar adanya serangan yang dilakukan orang lain dari golongannya.
"Berdaya ledak rendah, penyusunan yang tidak benar, dan jelas pelakunya belum mempunyai kemampuan yang baik," terang pria yang kini menjadi ketua Yayasan Lingkar Perdamaian itu.
Ali Fauzi mengatakan, bom yang meledak di Jakarta tadi malam sangat buruk. "Bahkan, mungkin tidak ada detonatornya itu," ucapnya. Malah, mungkin saja itu hanya petasan besar yang kemudian dililiti potongan besi kecil-kecil sebagai peluru (shrapnel).
Ketika ditanya siapa yang mungkin jadi pelakunya, Ali hanya mengangkat bahu. Namun, dia menyebut pasti tidak jauh-jauh dari jaringan kelompok Santoso cs atau Bahrun Naim.
Ali Fauzi, mantan kombatan, mengungkapkan, dulu ketika masih jadi ikhwan jihadi, dirinya selalu terkesima tiap mendengar adanya serangan yang dilakukan orang lain dari golongannya.
"Ada perasaan malu yang khusus sehingga bertekad melakukan amaliah secepat mungkin," kata adik Amrozi dan Ali Imron, dua terpidana mati kasus bom Bali, itu.
Karena itu, lanjut Ali, bom di Manchester dan penyerangan di Marawi bisa jadi merupakan inspirasi bagi pelaku bom Kampung Melayu, Jakarta.
Karena itu, lanjut Ali, bom di Manchester dan penyerangan di Marawi bisa jadi merupakan inspirasi bagi pelaku bom Kampung Melayu, Jakarta.
Menurut dia, pelaku peledakan bom di Kampung Melayu bisa dikategorikan masih amatir. Sebab, jelas mantan instruktur kamp ikhwan jihadi di Filipina Selatan tersebut, bom yang dihasilkan tidak beda jauh dengan peristiwa lain di Indonesia empat tahun terakhir.
"Berdaya ledak rendah, penyusunan yang tidak benar, dan jelas pelakunya belum mempunyai kemampuan yang baik," terang pria yang kini menjadi ketua Yayasan Lingkar Perdamaian itu.
Ali Fauzi mengatakan, bom yang meledak di Jakarta tadi malam sangat buruk. "Bahkan, mungkin tidak ada detonatornya itu," ucapnya. Malah, mungkin saja itu hanya petasan besar yang kemudian dililiti potongan besi kecil-kecil sebagai peluru (shrapnel).
Ketika ditanya siapa yang mungkin jadi pelakunya, Ali hanya mengangkat bahu. Namun, dia menyebut pasti tidak jauh-jauh dari jaringan kelompok Santoso cs atau Bahrun Naim.
"Serangan dalam empat tahun terakhir itu nyaris sama semuanya," kata Ali. Lebih cenderung nekat dan konyol, tapi semangat jihadnya sangat tinggi. "Atau bisa juga lone wolf," imbuhnya merujuk pada satu individu yang belajar bom sendirian dan kemudian melaksanakan aksi secara sendirian pula.
Meskipun kemampuan secara teknis sangat payah, tutur Ali, hal itu harus sangat diwaspadai. "Yang berbahaya justru semangatnya," ingat dia. Menurut Ali, semangat beragama yang serampangan merupakan ladang subur bagi terorisme. "Jika kondisi masyarakat seperti ini saat saya masih di dunia ikhwan jihadi, maka sangat enak melakukan perekrutan."
Kemudian, soal penyerbuan kelompok bersenjata ke Marawi, bagi Ali itu bukan hal yang mengejutkan. Itu menunjukkan se-buah klimaks dari banyak hal. "Yang pertama harus diingat, Mindanao itu penuh dengan kelompok bersenjata," katanya.
Yang ketiga adalah Abu Sayyaf. Kelompok tersebut lebih berkiblat sebagai kelompok jihad global. Yang terakhir dan yang makin kecil adalah NPA (New People's Army), sayap militer kelompok komunis.
Dalam tujuh tahun terakhir, anggota empat kelompok itu bergerak dinamis. Meski awalnya mesra, lalu pecah dan secara resmi masih berperang, anggota dua kelompok tersebut (MILF dan MNLF) makin cair. "Jadi, di lapangan, yang bawahan ini saling menjalin persahabatan. Terutama jika bertemu dalam kepentingan," papar pentolan Jamaah Islamiyyah itu.
Dari informasi yang terakhir didengarnya, MILF pun terpecah. Terutama setelah MILF resmi berdamai dengan pemerintah Filipina untuk membentuk otonomi daerah. "Ada sejumlah faksi yang menyatakan perdamaian itu sama saja dengan kekalahan."
Faksi-faksi itulah yang kemudian bergabung dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Gabungan dua kekuatan itulah yang kemudian menjadi pelaku penyerbuan Marawi. "Memang metodenya seperti ISIS. Tapi, jangan cepat-cepat disimpulkan itu ISIS," tutur Ali Fauzi.
Soal banyaknya bendera hitam-hitam dengan lafaz tauhid, Ali mengatakan bahwa sejak dulu bendera semacam itu sudah ada. "Sejak saya masih di sana lebih dari sepuluh tahun lalu," ucapnya.
Soal kabar mengenai kelompok Maute, Ali mengatakan, soal nama itu bisa apa saja. "Tapi, kelompok ini mendapat anggota dari mana? Ya dari MILF dan Abu Sayyaf. Sebab, hanya itu yang punya kemampuan kombatan bagus."
Itulah yang kemudian menjelaskan mengapa peristiwa tersebut terjadi di Marawi, sebuah kota yang sebenarnya merupakan basis MILF. Jawa Pos pada 2009 pernah singgah ke Marawi dan tinggal di sana dua hari. Ketika itu Marawi adalah kota terakhir yang menjadi checkpoint sebelum masuk ke Kamp Bushra, kamp pelatihan militer terbesar MILF yang berada di tengah hutan di puncak gunung. Dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh jam untuk menembus hutan dari sebuah jalan kecil di pinggiran Kota Marawi.
Karakter orang Marawi sendiri sebenarnya halus-halus. Juga moderat. Ketika itu hampir tidak pernah terjadi kekerasan bersenjata di kota tersebut. Di sana juga banyak semacam pondok pesantren. Meski banyak warganya yang simpatisan MILF, kota itu tak pernah menjadi ajang pertempuran.
Ali Fauzi menganalisis, justru karena situasi warganya yang seperti itu, Marawi menjadi pilihan strategis untuk diserbu. "Sebenarnya ada daerah yang lebih panas lagi. Seperti di Cotabato City ataupun di Zamboanga. Namun, militer juga ketat di sana," paparnya.
Apalagi, kata Ali, ada situasi yang memicu militansi kelompok tersebut. "Yang saya dengar, ada konflik antara pemerintah dan tokoh di sana." (JP)
Meskipun kemampuan secara teknis sangat payah, tutur Ali, hal itu harus sangat diwaspadai. "Yang berbahaya justru semangatnya," ingat dia. Menurut Ali, semangat beragama yang serampangan merupakan ladang subur bagi terorisme. "Jika kondisi masyarakat seperti ini saat saya masih di dunia ikhwan jihadi, maka sangat enak melakukan perekrutan."
Kemudian, soal penyerbuan kelompok bersenjata ke Marawi, bagi Ali itu bukan hal yang mengejutkan. Itu menunjukkan se-buah klimaks dari banyak hal. "Yang pertama harus diingat, Mindanao itu penuh dengan kelompok bersenjata," katanya.
Dari catatan Jawa Pos, setidaknya ada empat kelompok bersenjata yang paling dominan di sana. Yang pertama dan terbesar adalah MILF (Moro Islamic Liberation Front) bentukan almarhum Ustad Hashim Salamat. Yang kedua adalah MNLF (Moro National Liberation Front) yang masih dipimpin jagoan gaek Nur Misuari. MNLF pernah menyandera Kota Zamboanga beberapa tahun lalu dan kini masih bersembunyi di kawasan hutan di Sulu.
Yang ketiga adalah Abu Sayyaf. Kelompok tersebut lebih berkiblat sebagai kelompok jihad global. Yang terakhir dan yang makin kecil adalah NPA (New People's Army), sayap militer kelompok komunis.
Dalam tujuh tahun terakhir, anggota empat kelompok itu bergerak dinamis. Meski awalnya mesra, lalu pecah dan secara resmi masih berperang, anggota dua kelompok tersebut (MILF dan MNLF) makin cair. "Jadi, di lapangan, yang bawahan ini saling menjalin persahabatan. Terutama jika bertemu dalam kepentingan," papar pentolan Jamaah Islamiyyah itu.
Dari informasi yang terakhir didengarnya, MILF pun terpecah. Terutama setelah MILF resmi berdamai dengan pemerintah Filipina untuk membentuk otonomi daerah. "Ada sejumlah faksi yang menyatakan perdamaian itu sama saja dengan kekalahan."
Faksi-faksi itulah yang kemudian bergabung dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Gabungan dua kekuatan itulah yang kemudian menjadi pelaku penyerbuan Marawi. "Memang metodenya seperti ISIS. Tapi, jangan cepat-cepat disimpulkan itu ISIS," tutur Ali Fauzi.
Soal banyaknya bendera hitam-hitam dengan lafaz tauhid, Ali mengatakan bahwa sejak dulu bendera semacam itu sudah ada. "Sejak saya masih di sana lebih dari sepuluh tahun lalu," ucapnya.
Soal kabar mengenai kelompok Maute, Ali mengatakan, soal nama itu bisa apa saja. "Tapi, kelompok ini mendapat anggota dari mana? Ya dari MILF dan Abu Sayyaf. Sebab, hanya itu yang punya kemampuan kombatan bagus."
Itulah yang kemudian menjelaskan mengapa peristiwa tersebut terjadi di Marawi, sebuah kota yang sebenarnya merupakan basis MILF. Jawa Pos pada 2009 pernah singgah ke Marawi dan tinggal di sana dua hari. Ketika itu Marawi adalah kota terakhir yang menjadi checkpoint sebelum masuk ke Kamp Bushra, kamp pelatihan militer terbesar MILF yang berada di tengah hutan di puncak gunung. Dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh jam untuk menembus hutan dari sebuah jalan kecil di pinggiran Kota Marawi.
Karakter orang Marawi sendiri sebenarnya halus-halus. Juga moderat. Ketika itu hampir tidak pernah terjadi kekerasan bersenjata di kota tersebut. Di sana juga banyak semacam pondok pesantren. Meski banyak warganya yang simpatisan MILF, kota itu tak pernah menjadi ajang pertempuran.
Ali Fauzi menganalisis, justru karena situasi warganya yang seperti itu, Marawi menjadi pilihan strategis untuk diserbu. "Sebenarnya ada daerah yang lebih panas lagi. Seperti di Cotabato City ataupun di Zamboanga. Namun, militer juga ketat di sana," paparnya.
Apalagi, kata Ali, ada situasi yang memicu militansi kelompok tersebut. "Yang saya dengar, ada konflik antara pemerintah dan tokoh di sana." (JP)
Pengamat: Bom Kampung Melayu untuk Ciptakan Ketakutan Publik
"Target aksi terorisme adalah memecah belah bangsa. Terorisme itu bukan aksi tidak rasional, tetapi benar-benar mempelajari kondisi sosial politik dan berusaha untuk mendapatkan simpati atas aksi-aksinya," katanya di Jakarta, Kamis. Pernyataan itu disampaikan menanggapi peristiwa dua ledakan yang diduga bom bunuh diri di Kampung Melayu pada Rabu (24/5) malam.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu, aksi bom di Kampung Melayu jelas menunjukkan adanya target untuk menciptakan ketakutan kepada publik karena dilakukan di sarana publik, yaitu terminal.
Di samping itu, lanjut dia, mereka berusaha memecah belah bangsa dengan menargetkan aparat kepolisian.
"Sekarang ini kan kepercayaan sebagian umat Islam terhadap kepolisian sedang mengalami penurunan. Para teroris membaca fenomema ini dan berusaha mendapatkan simpati dari umat Islam atas tindakan mereka itu," ujarnya.
Namun, Yon mengatakan, umat Islam di Indonesia kini cukup cerdas membaca sabotase yang dilakukan oleh kelompok teroris, sehingga apa pun bentuk aksi mereka tidak akan pernah mendapatkan tempat di hati umat Islam.
"Publik di Indonesia, terutama umat Islam, cukup rasional dan tidak akan pernah bersimpati terhadap aksi-aksi terorisne. Mereka paham betul kapan harus mengkritisi kepolisian dan kapan harus bersama-sama dengan kepolisian," kata penyandang gelar PhD dari The Australian National University itu.
Dalam kasus terorisme, kata Yon, umat Islam selalu bersama kepolisian untuk memerangi segala bentuk aksi keji itu. Dengan demikian maka aksi-aksi terorisme tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia dan semakin sempit ruang geraknya.
Prinsipnya publik, lanjut dia, tidak boleh takut dan merasa tidak aman. Demikian juga segala komponen bangsa harus sadar bahwa upaya memecah belah bangsa harus dilawan. "Dengan demikian aksi terorisme tidak akan dapat mencuri momentum apa pun," kata Yon Machmudi. (ANTARA).*
Post a Comment