Website Dakwah untuk Kemuliaan Islam dan Kaum Muslim

Tata Cara Shalat Berjamaah: Cara Jadi Imam dan Makmum, Imam Harus Ringankan Bacaan

Tata Cara Shalat Berjamaah: Cara Jadi Imam dan Makmum, Imam Harus Ringankan Bacaan dan Menghindari Bacaan Surat Panjang.

Tata Cara Shalat Berjamaah

Salah satu "masalah" dalam shalat berjamaah di masjid adalah imam shalat yang membaca scurat panjang, serta bacaannya lama atau lamban. Ini memberatkan makmum.

Rasulullah Saw memerintahkan para imam shalat berjamaah agar meringankan bacaan dan membaca surat pendek. Lagi pula, baca surat Al-Quran dalam shalat itu hukumnya sunah, tidak wajib. Jangan sampai hal yang sunah menimbulkan masalah.

Para imam jangan sampai "pamer hafalan". Lagi pula, baca surat panjang dikhawatirkan sang imam lupa, sedangkan tak ada makmum yang bisa mengoreksi. Bacaan surat panjang juga jangan sampai tidak benar tajwid dan makhorijul hurufnya.

Perintah Meringankan Shalat bagi Imam Shalat Jamaah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّـى أَحَدُكُمْ لِلنَّـاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيْهِمُ الضَّعِيْفَ وَالسَّقِيْمَ وَالْكَبِيْرَ، فَإِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ.

“Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Namun, jika dia shalat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. (HR Musim, Shahih Muslim).

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الأَنْصَارِىُّ لأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى »

“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab Al-Hanbali menyebutkan bahwa jika bacaan Imam terlalu panjang, maka makmum diperbolehkan meninggalkan jamaah jika terlalu capek dan diperbolehkan melakukan shalat sendiri di dalam masjid walau pun jamaah di masjid tersebut masih berlangsung.

فيستدل بهذا: عَلَى أن الإمام إذا طول عَلَى المأموم وشق عَلِيهِ إتمام الصلاة مَعَهُ ؛ لتعبه أو غلبه النعاس عَلِيهِ أن لَهُ أن يقطع صلاته مَعَهُ ، ويكون ذَلِكَ عذراً فِي قطع الصلاة المفروضة ، وفي سقوط الجماعة فِي هذه الحال ، وأنه يجوز أن يصلي لنفسه منفرداً فِي المسجد ثُمَّ يذهب ، وإن كان الإمام يصلي فِيهِ بالناس

Artinya, “Hadits tersebut dapat dijadikan dalil bahwa jika imam memperpanjang bacaannya, dan dapat menyusahkan orang yang bermakmum pada imam tersebut, karena makmum tersebut capek atau mengantuk, maka makmum tersebut boleh memutus shalatnya bersama imam. Hal itu adalah udzur untuk memutus shalat fardhu dan menggugurkan jamaah pada kondisi tersebut. Diperbolehkan bagi makmum tersebut untuk melakukan shalat sendiri (munfarid) di dalam masjid tersebut kemudian pulang, walau pun imam masih melakukan shalat jamaah bersama makmum-makmum yang lain,” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fatḥul Bārī Syarḥ Sahih al-Bukhari, [Kairo, Maktabah Tahqiq Darul Haramain: 1996 M], juz VI, halaman 212).

Wajib mengikuti imam dan dilarang mendahuluinya

Dari Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَـا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوْا…

“Sesungguhnya, imam itu diangkat untuk diikuti. Jika dia bertakbir, maka bertakbirlah. Jika dia sujud, maka sujudlah. Dan jika dia bangkit, maka bangkitlah…” (Muttafaq ‘alaihi, temasuk Shahih Muslim dan Shahih Bukhari).

Yang berhak menjadi Imam Shalat Berjamaah

Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu angu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ

الرَّجُلَ فِيْ سُلْطَانِهِ، وَلاَ يَقْعُدْ فِيْ بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

“Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafal al-Qur-an di antara mereka. Jika dalam bacaan sama, maka yang paling tahu tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah sama, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam kekuasaannya. Dan janganlah menduduki tempat duduk yang khusus di rumah orang itu kecuali dengan izinnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Abi Dawud, Nasa-i. 

Dalam riwayat mereka disebutkan:

فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَكْثَرُهُمْ سِنًّا

“Jika dalam hijrah sama, maka yang paling tua dalam usia.” Ini adalah riwayat Muslim.

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pemilik rumah, imam tetap, atau yang semisal mereka lebih berhak menjadi imam daripada yang selain mereka kecuali setelah diizinkan. Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِيْ سُلْطَانِهِ.

“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam daerah kekuasaannya…”

Makmum yang Sendirian Berdiri di Sebelah Kanan Sejajar dengan Imam

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah Radhiyallahu anha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Isya’ empat raka’at, lalu tidur. Kemudian beliau shalat lagi. Lalu aku berdiri di samping kiri beliau, lantas beliau menjadikan aku berada di sisi kanannya.” (HR Ibni Majah, Bukhari, Muslim, dll).

Dua Orang Makmum atau Lebih Berdiri di Belakang Imam

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak shalat. Aku datang dan berdiri di samping kiri beliau. Lalu beliau memegang tanganku dan memutarku hingga mendirikanku di samping kanannya. Setelah itu Jabbar bin Shakhr Radhiyallahu anhu datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga beliau mendirikan kami di belakang beliau.” (HR Muslim, Abi Dawud, dan Ibnu Majah).

Makmum Wanita Berdiri di Belakang Makmum Pria

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimaminya, ibu, dan bibinya.” Anas melanjutkan, “Beliau mendirikanku di samping kanannya dan wanita di belakang kami.” (HR  Muttafaq ‘alaihi/Shahih).

Wajib Meluruskan Shaf

Wajib bagi imam untuk tidak memulai shalat kecuali setelah shaff lurus. Dia harus menyuruh makmum meluruskannya. Hendaknya dia sendiri yang meluruskan shaff atau menyuruh orang lain agar meluruskannya.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian. Karena lurusnya shaff termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaq ‘alaihi/Shahih).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika hendak shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh pundak-pundak kami sambil berkata:

اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُ قُلُوْبُكُمْ…

“Luruskan dan janganlah kalian berselisih sehingga hati kalian turut berselisih…" (HR Muslim).

Cara Meluruskan Shaf

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَقِيُمُوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنِّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian. Karena aku melihat kalian dari belakang punggungku.”
Seseorang di antara kami lantas menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya. (Shahih Bukhari).

An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu berkata, “Aku melihat seseorang di antara kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (HR. Bukhari).

Yang harus diikuti dalam meluruskan shaf adalah merapatkan mata kaki dengan mata kaki orang yang di samping, bukan kepala jari-jari kaki. Demikian itu karena badan ini disangga oleh mata kaki, sedangkan jari kaki satu dengan yang lain berbeda-beda, ada kaki yang panjang dan ada kaki yang pendek, sehingga tidak mungkin untuk mengukur kelurusan shaf secara tepat kecuali dengan mata kaki.

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)

Keutamaan Shaf Pertama dan Shaf Sebelah Kanan

Dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأَوَّلِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya mendo’akan rahmat bagi orang-orang yang berada di shaff pertama.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa-i).

Siapakah yang Berdiri di Belakang Imam?

Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِيْـنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Hendaklah orang-orang yang pintar lagi berilmu di antara kalian berada di belakangku. Setelah itu orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Setelah itu orang-orang yang derajatnya di bawah mereka lagi.” (HR Abi Dawud, Ibni Majah, an-Nasa-i).

Kondisi Boleh Meninggalkan Shalat Jama’ah di Masjid

1. Dingin dan hujan

Dari Nafi’, “Pada suatu malam yang dingin dan berhembus kencang, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengumandangkan adzan shalat. Dia mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam rumah-rumah kalian!” 

Setelah itu dia berkata, “Sesungguhnya jika malam dingin dan hujan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mu’adzin mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam di rumah-rumah kalian!” (Muttafaq ‘alaihi: Bukhari, Muslim, Abi Dawud, an-Nasa-i).

2. Saat makanan dihidangkan

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَؤُوْ بِالْعَشَاءِ، وَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ.

“Jika makan malam salah seorang di antara kalian dihidangkan sedangkan iqamat telah dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam. Janganlah tergesa-gesa hingga dia menyelesaikan makannya.”

Demikian sebagian Tata Cara Shalat Berjamaah.

[Sumber: Panduan Fiqih Lengkap, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, 2007]

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post