Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 Diikuti 3 Capres: Joko Widodo, Prabowo Subianto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tingginya elektabilitas dan riuhnya dukungan di media sosial, bukan jaminan kemenangan.
Kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke Cikeas, kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, menutup peluang terjadinya Koalisi Merah Putih jilid II. Dengan demikian akan ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Gesekan SBY dengan Presiden Joko Widodo akan kembali terjadi, dan dipastikan lebih panas dibanding "bentrok" sebelumnya.
Poin terpenting dari pertemuan Prabowo dengan SBY yang didampingi putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono adalah sepakat untuk tidak sepakat. Masing-masing kubu mengusung capres sendiri tanpa saling mengganggu. Rivalitas antara Prabowo dan Agus Harimurti akan diminimalisir. Namun kesepakatan itu selesai jika jika Jokowi tumbang di putaran awal. Sebaliknya, jika hanya salah satu di antara mereka yang masuk putaran kedua, maka yang kalah wajib mendukung.
Kesepakatan itu merupakan opsi pertama dari tiga opsi yang ditawarkan Prabowo kepada SBY yakni kubu Hambalang dan Cikeas sama-sama mengusung calon. Prabowo meminta agar SBY tidak mengganggu PKS, namun mencari mitra koalisi sendiri agar bisa mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pada pertemuan itu Prabowo meyakinkan SBY jika antara Gerindra dan PKS yang memiliki 113 dari 112 kursi yang dibutuhkan sesuai RUU Pemilu yang baru disetujui DPR, sudah ada kesepakatan awal untuk berkoalisi di Pilpres 2019. Sebagai imbalannya, Gerindra akan menutup pintu terhadap PAN sehingga partai besutan Amien Rais itu mau tidak mau harus berlabuh ke Cikeas jika memang tidak mungkin lagi mendukung Jokowi. Prabowo juga akan membantu melobi PKB atau PPP agar ikut bergabung ke Cikeas. Sebab jika hanya berkoalisi dengan PAN, gabung jumlah kursi maupun perolehan suara nasional keduanya belum menjadi satu perahu.
SBY menolak opsi kedua yakni menjadikan Agus Yudhoyono sebagai calon wakil presiden dan calon presiden di pilpres berikutnya.
SBY masih meyakini anaknya mampu meraih simpati masyarakat meski tidak diunggulkan. SBY akan menggunakan pengalaman Pilpres 2004 dan 2009 yang dimenanginya untuk menggagalkan ambisi Presiden Jokowi merengkuh periode keduanya. .
SBY enggan menerima "ijon" politik seperti yang pernah dibuat antara Gerindra dengan PDI Perjuangan pada Pilpres 2009 di mana PDIP berjanji mendukung Prabowo sebagai calon presiden di pilpres berikutnya setelah Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum PDIP Megawati soekarnoputri.
Namun PDIP kemudian mengingkari poin ke tujuh Perjanjian Batu Tulis yang dibuat tanggal 16 Mei 2009. Pada Pilpres 2014 PDIP justru mengusung Jokowi dan menjadi rival utama Prabowo.
SBY juga menolak opsi ketiga yakni menerima dukungan Gerindra dengan syarat elektabilitas jagoan Cikeas harus lebih tinggi dari Prabowo, dan berlaku sebaliknya. SBY paham jika elektabilitas putranya masih jauh di bawah Prabowo dan tidak mungkin bisa mengejarnya dalam waktu dekat. SBY akan memoles Agus Harimurti sebagai calon alternatif di tengah persaingan panas antara Prabowo - Jokowi. Strategi itu terbukti ampuh sebagaimana yang terjadi pada gelaran Pilkada DKI 2017.
Pertemuan Cikeas merupakan kemenangan Prabowo karena mendapat jaminan bahwa Demokrat tidak akan menarik PKS. Sebaliknya, bagi SBY pertemuan politik yang diawali santap nasi goreng itu cukup melegakan. Kini dirinya bisa lebih fokus menghadapi Jokowi. SBY akan mengaktifkan saluran politik yang dimilikinya untuk mulai menebar janji manis kepada satu-dua partai pendukung pemerintah di luar PAN.
Itu artinya, tugas berat telah menunggu Jokowi untuk bisa mempertahankan jabatannya. Meski jika satu-dua partai pendukungnya membelot tidak akan memberi pengaruh, tetapi melawan dua musuh tentu lebih berat dibanding satu musuh seperti pada Pilpres 2014.
Tingginya elektabilitas dan riuhnya dukungan di media sosial, bukan jaminan kemenangan sebagaimana terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI. Jokowi harus mereduksi isu-isu mematikan terutama yang berkaitan dengan "kriminalisasi" Islam. Jokowi harus mampu meyakinkan publik bahwa penerbitan Perppu Ormas bukan wujud ketakutan partai-partai nasionalis pendukungnya terhadap kebangkitan politik Islam. (Kompasiana.com).
Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto nanti malam memanaskan peta politik Tanah Air meski pemilu presiden baru dihelat dua tahun mendatang. Sinyal koalisi, tak ayal, dikaitkan dengan pertemuan yang akan digelar di Cikeas, Gunung Putri, Jawa Barat tersebut.
Meski Demokrat dan Gerindra saling mengirim sinyal koalisi, namun, belum tentu Pilpres 2019 akan terdiri dari dua pasangan calon. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menilai nantinya pilpres 2019 akan diisi oleh 3 poros, Jokowi, Prabowo dan SBY.
"Meski nanti malam ada pertemuan SBY-Prabowo, saya tetap melihat di 2019, akan ada tiga yang bersaing, Jokowi, Prabowo, dan SBY," tutur Qodari kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (27/7).
Alasannya, menyatukan sosok Prabowo dan SBY tak mudah. Qodari mencontohkan saat Pilgub DKI, koalisi SBY dan Prabowo dengan mengusung satu calon untuk mengalahkan Ahok tak terjadi. Selain itu, dalam peta politik nasional, SBY dan Prabowo sebagai ketum partai, tak karib-karib amat.
"Belajar dari Pilkada Jakarta, tak mudah menyatukan dua tokoh ini. Masing-masing punya ego. Dalam konteks ini juga terjadi," katanya.
"Prabowo kalau mau maju, tidak usah menggandeng Demokrat atau PAN. Mereka dengan PKS juga sudah cukup," lanjut Qodari.
Poros pertama, kata dia, adalah capres yang diusung oleh Gerindra-PKS. Poros ini sudah hampir dipastikan akan mengusung Prabowo sebagai capres. kemungkinan besar, cawapres akan diambil dari PKS.
Secara perolehan kursi, Gerindra dan PKS sudah memenuhi syarat pencalonan Presiden yaitu 20 persen dari total kursi di DPR atau 25 persen dari total suara nasional.
"Wakilnya itu kemungkinan besar dari PKS atau calon yang didukung PKS. PKS punya kecenderungan seperti ini dan mereka sepertinya akan ngotot cawapres yang diusung adalah kader mereka," ujarnya.
Poros kedua, capres yang akan diajukan oleh Demokrat. Qodari memprediksi Demokrat akan menggandeng PAN karena kedekatan politik selama ini. Namun, karena suara belum cukup, maka SBY akan menggandeng partai lain. Kemungkinan besar, partai yang akan diajak berkoalisi adalah salah satu partai yang saat ini berada di koalisi pemerintah.
Qodari memprediksi partai yang akan diajak bergabung adalah PKB. Selain faktor historis dan kedekatan di masa lalu, PKB hingga saat ini belum menyampaikan dukungannya kepada Jokowi di Pilpres 2019. Berbeda dengan PPP, Nasdem, atau Golkar.
"
SBY bisa saja memajukan Agus atau calon lain yang saat pilpres elektabilitasnya sedang naik. Nanti repotnya di cawapres. Karena harus memilih antara PAN atau PKB sebagai pendamping Agus. Rumitnya di situ dan bisa saja deadlock," ujarnya.
Kubu terakhir yaitu partai yang mengusung Jokowi sebagai capres. Kemungkinan besar, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, dan PDIP. Karena capres yang dipilih sudah pasti Jokowi, maka poros ini hanya tinggal memilih cawapresnya.
Qodari memprediksi, cawapres bisa dari partai pendukung atau dari luar partai. Menurut dia, pemilihan cawapres akan menjadi fase yang rumit di antara para partai pendukung Jokowi.
"Ini agak sulit nanti merumuskan cawapresnya. Dari partai pendukung atau dari luar partai. Kalau dari luar partai kan ada nama Gatot Nurmantyo atau Sri Mulyani. Semua kemungkinan itu masih ada," ujarnya. (Kumparan.com)
Apalagi, Partai Demokrat disebut sudah mempersiapkan Agus, salah satu caranya dengan sering menghadirkan Agus dalam acara internal yang mendekatkannya dengan kader partai.
Lalu, bagaimana tanggapan Agus terkait hal tersebut?
"Saya cukup surprise ya, karena kadang kala saya juga suka mendengar ada kemunculan nama saya," kata Agus, usai acara "Malam Budaya Manusia Bintang 2017" di Jakarta Pusat, Sabtu (29/7/2017) malam.
Agus melanjutkan, kalau itu merupakan doa dari masyarakat, dia akan mengamininya.
"Kalau itu merupakan sebuah doa dari sebagian masyarakat, ya saya amini kalau doa itu baik," ujar Agus.
Meski demikian, Agus tidak ingin larut dalam polemik ini. Sebab, dia yakin hal itu justru membuatnya tidak produktif.
"Saya ingin terus produktif melalui gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang saya anggap abadi dalam berbagai isu," ujar Agus.
Ada beberapa kegiatan yang dia lakukan sekarang ini, misalnya melakukan komunikasi dengan banyak pihak dan mengunjungi berbagai wilayah di Tanah Air.
(Baca juga: AHY Bantah Dipasangkan dengan Prabowo dalam Pertemuan Cikeas)
Agus juga sering bertemu dengan generasi muda di daerah. Lewat kegiatan tersebut dia menggelorakan semangat Indonesia yang lebih baik lagi, terutama menyongsong masa keemasan di abad ke-21.
"Dan saya pikir itu penting bagaimana menyiapkan generasi-generasi itu menjadi kunci kemajuan bangsa kita," ujar Agus.
Seperti halnya serius dalam menimba karier di militer, Agus menyatakan bahwa dia juga akan serius di dunia politik. Dia akan membiarkan karier politiknya mengalir mengikuti perkembangan situasi dan kondisi di Tanah Air.
"Saya akan mengalir mengikuti dengan apa yang dibutuhkan oleh negeri ini, oleh masyarakat, dan saya ingin menjadi bagian dari solusi dan terus berkontribusi secara positif," ujar Agus. (Kompas.com).*
Kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke Cikeas, kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, menutup peluang terjadinya Koalisi Merah Putih jilid II. Dengan demikian akan ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Gesekan SBY dengan Presiden Joko Widodo akan kembali terjadi, dan dipastikan lebih panas dibanding "bentrok" sebelumnya.
Poin terpenting dari pertemuan Prabowo dengan SBY yang didampingi putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono adalah sepakat untuk tidak sepakat. Masing-masing kubu mengusung capres sendiri tanpa saling mengganggu. Rivalitas antara Prabowo dan Agus Harimurti akan diminimalisir. Namun kesepakatan itu selesai jika jika Jokowi tumbang di putaran awal. Sebaliknya, jika hanya salah satu di antara mereka yang masuk putaran kedua, maka yang kalah wajib mendukung.
Kesepakatan itu merupakan opsi pertama dari tiga opsi yang ditawarkan Prabowo kepada SBY yakni kubu Hambalang dan Cikeas sama-sama mengusung calon. Prabowo meminta agar SBY tidak mengganggu PKS, namun mencari mitra koalisi sendiri agar bisa mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pada pertemuan itu Prabowo meyakinkan SBY jika antara Gerindra dan PKS yang memiliki 113 dari 112 kursi yang dibutuhkan sesuai RUU Pemilu yang baru disetujui DPR, sudah ada kesepakatan awal untuk berkoalisi di Pilpres 2019. Sebagai imbalannya, Gerindra akan menutup pintu terhadap PAN sehingga partai besutan Amien Rais itu mau tidak mau harus berlabuh ke Cikeas jika memang tidak mungkin lagi mendukung Jokowi. Prabowo juga akan membantu melobi PKB atau PPP agar ikut bergabung ke Cikeas. Sebab jika hanya berkoalisi dengan PAN, gabung jumlah kursi maupun perolehan suara nasional keduanya belum menjadi satu perahu.
SBY menolak opsi kedua yakni menjadikan Agus Yudhoyono sebagai calon wakil presiden dan calon presiden di pilpres berikutnya.
SBY masih meyakini anaknya mampu meraih simpati masyarakat meski tidak diunggulkan. SBY akan menggunakan pengalaman Pilpres 2004 dan 2009 yang dimenanginya untuk menggagalkan ambisi Presiden Jokowi merengkuh periode keduanya. .
SBY enggan menerima "ijon" politik seperti yang pernah dibuat antara Gerindra dengan PDI Perjuangan pada Pilpres 2009 di mana PDIP berjanji mendukung Prabowo sebagai calon presiden di pilpres berikutnya setelah Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum PDIP Megawati soekarnoputri.
Namun PDIP kemudian mengingkari poin ke tujuh Perjanjian Batu Tulis yang dibuat tanggal 16 Mei 2009. Pada Pilpres 2014 PDIP justru mengusung Jokowi dan menjadi rival utama Prabowo.
SBY juga menolak opsi ketiga yakni menerima dukungan Gerindra dengan syarat elektabilitas jagoan Cikeas harus lebih tinggi dari Prabowo, dan berlaku sebaliknya. SBY paham jika elektabilitas putranya masih jauh di bawah Prabowo dan tidak mungkin bisa mengejarnya dalam waktu dekat. SBY akan memoles Agus Harimurti sebagai calon alternatif di tengah persaingan panas antara Prabowo - Jokowi. Strategi itu terbukti ampuh sebagaimana yang terjadi pada gelaran Pilkada DKI 2017.
Pertemuan Cikeas merupakan kemenangan Prabowo karena mendapat jaminan bahwa Demokrat tidak akan menarik PKS. Sebaliknya, bagi SBY pertemuan politik yang diawali santap nasi goreng itu cukup melegakan. Kini dirinya bisa lebih fokus menghadapi Jokowi. SBY akan mengaktifkan saluran politik yang dimilikinya untuk mulai menebar janji manis kepada satu-dua partai pendukung pemerintah di luar PAN.
Itu artinya, tugas berat telah menunggu Jokowi untuk bisa mempertahankan jabatannya. Meski jika satu-dua partai pendukungnya membelot tidak akan memberi pengaruh, tetapi melawan dua musuh tentu lebih berat dibanding satu musuh seperti pada Pilpres 2014.
Tingginya elektabilitas dan riuhnya dukungan di media sosial, bukan jaminan kemenangan sebagaimana terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI. Jokowi harus mereduksi isu-isu mematikan terutama yang berkaitan dengan "kriminalisasi" Islam. Jokowi harus mampu meyakinkan publik bahwa penerbitan Perppu Ormas bukan wujud ketakutan partai-partai nasionalis pendukungnya terhadap kebangkitan politik Islam. (Kompasiana.com).
Pilpres 2019 Pertarungan Tiga Kubu: Jokowi, Prabowo, dan SBY
Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto nanti malam memanaskan peta politik Tanah Air meski pemilu presiden baru dihelat dua tahun mendatang. Sinyal koalisi, tak ayal, dikaitkan dengan pertemuan yang akan digelar di Cikeas, Gunung Putri, Jawa Barat tersebut.
Meski Demokrat dan Gerindra saling mengirim sinyal koalisi, namun, belum tentu Pilpres 2019 akan terdiri dari dua pasangan calon. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menilai nantinya pilpres 2019 akan diisi oleh 3 poros, Jokowi, Prabowo dan SBY.
"Meski nanti malam ada pertemuan SBY-Prabowo, saya tetap melihat di 2019, akan ada tiga yang bersaing, Jokowi, Prabowo, dan SBY," tutur Qodari kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (27/7).
Alasannya, menyatukan sosok Prabowo dan SBY tak mudah. Qodari mencontohkan saat Pilgub DKI, koalisi SBY dan Prabowo dengan mengusung satu calon untuk mengalahkan Ahok tak terjadi. Selain itu, dalam peta politik nasional, SBY dan Prabowo sebagai ketum partai, tak karib-karib amat.
"Belajar dari Pilkada Jakarta, tak mudah menyatukan dua tokoh ini. Masing-masing punya ego. Dalam konteks ini juga terjadi," katanya.
"Prabowo kalau mau maju, tidak usah menggandeng Demokrat atau PAN. Mereka dengan PKS juga sudah cukup," lanjut Qodari.
Poros pertama, kata dia, adalah capres yang diusung oleh Gerindra-PKS. Poros ini sudah hampir dipastikan akan mengusung Prabowo sebagai capres. kemungkinan besar, cawapres akan diambil dari PKS.
Secara perolehan kursi, Gerindra dan PKS sudah memenuhi syarat pencalonan Presiden yaitu 20 persen dari total kursi di DPR atau 25 persen dari total suara nasional.
"Wakilnya itu kemungkinan besar dari PKS atau calon yang didukung PKS. PKS punya kecenderungan seperti ini dan mereka sepertinya akan ngotot cawapres yang diusung adalah kader mereka," ujarnya.
Poros kedua, capres yang akan diajukan oleh Demokrat. Qodari memprediksi Demokrat akan menggandeng PAN karena kedekatan politik selama ini. Namun, karena suara belum cukup, maka SBY akan menggandeng partai lain. Kemungkinan besar, partai yang akan diajak berkoalisi adalah salah satu partai yang saat ini berada di koalisi pemerintah.
Qodari memprediksi partai yang akan diajak bergabung adalah PKB. Selain faktor historis dan kedekatan di masa lalu, PKB hingga saat ini belum menyampaikan dukungannya kepada Jokowi di Pilpres 2019. Berbeda dengan PPP, Nasdem, atau Golkar.
"
SBY bisa saja memajukan Agus atau calon lain yang saat pilpres elektabilitasnya sedang naik. Nanti repotnya di cawapres. Karena harus memilih antara PAN atau PKB sebagai pendamping Agus. Rumitnya di situ dan bisa saja deadlock," ujarnya.
Kubu terakhir yaitu partai yang mengusung Jokowi sebagai capres. Kemungkinan besar, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, dan PDIP. Karena capres yang dipilih sudah pasti Jokowi, maka poros ini hanya tinggal memilih cawapresnya.
Qodari memprediksi, cawapres bisa dari partai pendukung atau dari luar partai. Menurut dia, pemilihan cawapres akan menjadi fase yang rumit di antara para partai pendukung Jokowi.
"Ini agak sulit nanti merumuskan cawapresnya. Dari partai pendukung atau dari luar partai. Kalau dari luar partai kan ada nama Gatot Nurmantyo atau Sri Mulyani. Semua kemungkinan itu masih ada," ujarnya. (Kumparan.com)
Digadang-gadang Maju Pilpres 2019, Agus Yudhoyono Hanya Mengamini
Nama Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan putra sulung Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, digadang-gadang bakal ikut meramaikan Pemilihan Presiden 2019.Apalagi, Partai Demokrat disebut sudah mempersiapkan Agus, salah satu caranya dengan sering menghadirkan Agus dalam acara internal yang mendekatkannya dengan kader partai.
Lalu, bagaimana tanggapan Agus terkait hal tersebut?
"Saya cukup surprise ya, karena kadang kala saya juga suka mendengar ada kemunculan nama saya," kata Agus, usai acara "Malam Budaya Manusia Bintang 2017" di Jakarta Pusat, Sabtu (29/7/2017) malam.
Agus melanjutkan, kalau itu merupakan doa dari masyarakat, dia akan mengamininya.
"Kalau itu merupakan sebuah doa dari sebagian masyarakat, ya saya amini kalau doa itu baik," ujar Agus.
Meski demikian, Agus tidak ingin larut dalam polemik ini. Sebab, dia yakin hal itu justru membuatnya tidak produktif.
"Saya ingin terus produktif melalui gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang saya anggap abadi dalam berbagai isu," ujar Agus.
Ada beberapa kegiatan yang dia lakukan sekarang ini, misalnya melakukan komunikasi dengan banyak pihak dan mengunjungi berbagai wilayah di Tanah Air.
(Baca juga: AHY Bantah Dipasangkan dengan Prabowo dalam Pertemuan Cikeas)
Agus juga sering bertemu dengan generasi muda di daerah. Lewat kegiatan tersebut dia menggelorakan semangat Indonesia yang lebih baik lagi, terutama menyongsong masa keemasan di abad ke-21.
"Dan saya pikir itu penting bagaimana menyiapkan generasi-generasi itu menjadi kunci kemajuan bangsa kita," ujar Agus.
Seperti halnya serius dalam menimba karier di militer, Agus menyatakan bahwa dia juga akan serius di dunia politik. Dia akan membiarkan karier politiknya mengalir mengikuti perkembangan situasi dan kondisi di Tanah Air.
"Saya akan mengalir mengikuti dengan apa yang dibutuhkan oleh negeri ini, oleh masyarakat, dan saya ingin menjadi bagian dari solusi dan terus berkontribusi secara positif," ujar Agus. (Kompas.com).*
Post a Comment