Website Dakwah untuk Kemuliaan Islam dan Kaum Muslim

Prabowo Unggul di Media Sosial karena 'Real User', Bukan Bot & Buzzer Bayaran

Prabowo Unggul di Media Sosial karena 'Real User', Bukan Bot & Buzzer Bayaran
Pasangan Prabowo-Sandi (02) unggul di media sosial karena dukungan pengguna yang 'real user', bukan bot dan buzzer bayaran seperti kubu Jokowi-Ma'ruf (01).

Bot dan buzzer bayaran yang digunakan kubu Jokowi, justru merugikan, menipu diri sendiri, bikin "GR".

Isu yang diangkat kubu Jokowi jadi trending topic lebih banyak karena bot. Sedangkan isu yang diangkat kubu Prabowo jadi trending, karena pengguna beneran, bukan bot atau buzzer bayaran.

Demikian kira-kira kesimpulan wawancara yang dimuat Tirto tentang pertarungan capres pada Pilpres 2019 di media sosial Twitter.

Media Sosial, khususnya Twitter, menjadi arena pertarungan bagi kedua pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2019.

Tiap kubu punya bala tentara siber masing-masing. Isinya bukan cuma manusia, robot juga ikut tempur. Selain mempromosikan kelayakan dan prestasi diri sendiri, menyerang kubu lawan juga menjadi salah satu strategi.

Dari segi kekuatan real user, kubu Prabowo lebih besar daripada kubu Jokowi. Untuk mengimbangi itu, kubu Jokowi harus pakai bot. Dia harus main itu, kalau enggak, enggak ngejar. Akibatnya, interaction rate rendah.

Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit—mesin untuk menganalisis media sosial—mengamati dan menganalisis pertempuran kubu Prabowo dan Jokowi di media sosial.

Menurut Ismail Fahmi, secara real akun, Prabowo lebih solid. Di Jokowi itu, bot-nya lebih banyak. Mereka memborbardir Twitter agar percakapan tentang satu hashtag naik.

Contohnya, #PrabowoTakutDebat. Kubu Jokowi bikin tweet yang begitu banyak, bahkan enggak dapat retweet.

Lalu retweet-nya makin naik. Yang nge-retweet ini biasanya user real. Jadi awalnya bot dulu. Sampai terjadi trending. Ketika sudah di-notice dan banyak di-retweet real user, bot-nya stop.

Itu caranya, robot dulu bikin tren, terus orang pada ngikut. Nah, ini strategi kubu Jokowi. Dia punya duit, kan. Ini kan bayar, profesional. Hampir semua hashtag yang menguntungkan kubu Jokowi, strateginya begitu.

Sementara di kubu Prabowo, jarang ditemukan model-model begini. Karena mereka lebih banyak orang. Jadi, kalau ada satu nge-tweet, mereka langsung naikin ramai-ramai. Lebih organik.

Puncak pasukan yang mendukung Jokowi itu waktu Pilkada Jakarta. Harusnya bisa jadi modal untuk Pilpres.

Tapi kemudian banyak pendukung yang kecewa dengan Nawacita dan janji-janji yang tidak ditepati. Lalu saat Ma’ruf Amin maju, banyak lagi yang kecewa dan enggak peduli lagi.

Kubu Prabowo kuat di media sosial sejak ada dukungan FPI. Juga sejak Aksi 212 tahun 2016. Yang tadinya FPI main di jalanan, terus main ke medsos.

Lalu, tahun 2016 akhir, akun Habib Rizieq dan FPI di take down oleh pemerintah. Ada instruksi jihad di akhir 2016, semua umat Islam harus main Twitter—itulah awal mula MCA [Muslim Cyber Army]. Munculnya akhir 2016.

Namanya muncul, diulang-ulang. Mereka solid banget. Sampai sekarang diikuti makin banyak orang. Makanya jadi kuat secara organik. Lalu mereka ke kubunya Prabowo sekarang.

Sisi negatif dan kerugian pakai robot itu menipu diri sendiri. Misalkan, tim Jokowi sebagai klien melihat percakapan tentang Jokowi lebih tinggi dari Prabowo, mereka akan happy, merasa puas.

Padahal kalau di-break down, bisa jadi 50 persen yang ngomong adalah oposisi, dalam bentuk serangan. Dan 50 persen sisanya bisa jadi banyak bot juga. Jadi semu. Ini bahaya. Bisa jadi hasil riilnya nanti berbeda.

Wawancara yang dimuat Tirto itu selaras dengan hasil survei yang menunjukkan Prabowo lebih populer di media sosial dibandingkan Jokowi.

Di media konvensional, Jokowi menang. Wajar, karena "semua" pemilik media mainstream, pemilik TV, adalah pro-Jokowi.

Prabowo memang tidak punya kesan Islami, tidak terkesan religius, tapi umat Islam akan memilih Prabowo karena ia lebih aman bagi Islam dan umat Islam Indonesia, karena dikelilingi oleh politisi religius, didukung mayoritas ulama Indonesia.

Banyak yang memilih Prabowo karena tidak suka dengan rezim Jokowi yang melakukan kriminalisasi ulama, menghapus lambang PKI di film, cenderung melindungi kelompok Syi'ah, Ahmadiyah, dan kelompok "Muslim Liberal". Itu kelemahan Jokowi.

Jokowinya memang 'mungkin' orang baik, tidak anti-Islam. Tapi pendukungnya? Yang mengendalikannya? Yang mengelilinginya? Parpol pendukungnya?

Maka, jika tidak ingin ada lagi kriminalisasi ulama, tidak ingin ada lagi "orang gila" menganiaya ulama, ingin Indonesia bebas komunisme, syi'ah, dan ahmadiyah, maka #2019GantiPresiden. Tidak ada kompromi.*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post