Ustadz Abu Bakar Ba'asyir adalah Figur Pejuang Islam. Ba'asyir adalah Mujahid Da'wah yang menjadi korban konspirasi atas nama perang global terhadap terorisme (global war on terrorism) yang dikampanyekan Amerika Serikat pasca Tragedi WTC di New York Amerika Serikat, 11 September 2001.
Abu Bakar Ba’asyir Aktivis Gerakan Islam
Abu Bakar Ba’asyir lahir dari sebuah keluarga sederhana di Desa Pekunden, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Orangtuanya, Ba'asyir Abud, sehari-harinya adalah seorang pedagang.
Orang-orang dekatnya menyebut Ba’asyir sebagai pribadi sederhana –bahkan sangat sederhana, lembut, namun tegas dan kukuh dalam pendirian. Bisa dikatakan, Ba’asyir tidak memiliki harta berharga apa-apa.
Barang berharga yang dimilikinya barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer. Ba’asyir tidak pernah memiliki rumah sendiri, bahkan kursi tamu sekalipun ia tidak punya, kecuali rumah yang disediakan oleh pihak Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, yang didirikan dan diasuhnya. Di rumah sederhana itu ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.
Keteladanan seperti ditunjukkan Umar bin Abdul Aziz --yang tidak menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi-- diperlihatkan Ba’asyir, ketika ia diberi “mobil dinas” Isuzu Panther oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ia tidak mau menggunakan mobil itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia hanya mau menggunakannya selama berkaitan dengan keperluan “dinas” dalam organisasi MMI.
Selain sederhana, Ba’asyir dikenal sebagai sosok lembut. Dalam dakwahnya, baik kepada para santrinya maupun kepada umat Islam pada umumnya, Ba’asyir tidak pernah mengajarkan radikalisme atau melakukan aksi kekerasan. Seorang muridnya bahkan pernah mengira Ba’asyir sebagai penakut karena jauh dari kekerasan dan malah terlalu halus. Di Pesantren Al-Mukmin Ba’asyir mengajar Tafsir Al-Quran.
Lembut dalam sikap, tidak berarti lembek dalam pendirian. Ba’asyir adalah sosok tegas dan teguh dalam pendirian, terutama dalam hal perjuangan bagi pelaksanaan syariat Islam, baik pada tingkat individu maupun masyarakat dan negara. Ketegasan pendiriannya antara lain terlihat, ketika ketika ia menjadi salah seorang penentang penerapan Asas Tunggal Pancasila masa rezim Orde Baru. Ia menganggap penerapan asas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman. Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, lalu di mana lagi letak bebebasannya?
Ketegasan pendiriannya itu harus membuatnya divonis hukuman 12 tahun penjara. Ia melakukan banding dan kasasi. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengharuskan Ba’asyir mendekam di penjara selama 9 tahun.
Dalam hal itu pun Ba’asyir bersikap tegas: menolak eksekusi. Ia mengatakan, Amerika Serikat berada di balik eksekusi itu. Sebelum vonis kasasi dijatuhkan, Ba’asyir memilih hijrah ke Malaysia dan menetap di sana hingga tahun 1998.
Ba’asyir menjalani pendidikan dengan nyantri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Lulus tahun 1963, Ba'asyir melanjutkan studinya di Fakultas Dakwah Universitas Islam Al Irsyad Solo. Ba'asyir tercatat sebagai santri dan mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi.
Ketika masih nyantri di Ponpes Gontor, Ba'asyir menjadi ketua Pemuda Islam Indonesia (GPII) Cabang Gontor (1961). Di Solo, ia tercatat sebagai sekretaris Pemuda Al-Irsyad, lalu Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), salah satu organ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Pada tahun 1969, Ba'asyir bersama beberapa orang lainnya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis).
Sejak awal Ba’asyir memilih medan dakwah bagi perjalanan hidupnya. Ia memulai kiprah dakwahnya, ketika tinggal menumpang di rumah seorang pedagang Pasar Klewer Solo yang memberinya “pekerjaan”, yaitu membangun dan mengajar sebuah Madrasah Diniyah di Pasar Klewer.
Dalam dua tahun, madrasah yang diasuh Ba’asyir sudah populer di masyarakat dan jamaahnya bertambah besar. Madrasah pun dikembangkan menjadi sebuah pesantren dengan nama Al-Mukmin. Aktivitas dakwah Ba’asyir mulai meluas sejak pendirian pesantren itu.
Ia memberikan “Kuliah Zhuhur” di serambi Masjid Agung Solo. Jamaahnya antara lain para pedagang Pasar Klewer yang belakangan menjadi semacam sumber dana bagi kegiatan dakwah Ba’asyir dan teman-temannya.
Di antara pedagang itu ada seorang pedagang batik bernama Abdullah Sungkar yang kemudian menjadi pasangan Ba’asyir puluhan tahun dalam berdakwah. Abdullah Sungkar itulah yang dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah, organisasi yang kini berada dalam urutan 88 “daftar organisasi teroris” versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan urutan 35 dalam “daftar organisasi teroris” versi Amerika Serikat.
Nama Ba’asyir kian populer. Setiap bulan ia aktif dalam diskusi yang diikuti para ulama dari seluruh Solo. Kealiman, kefasihan, dan kesalihannya membuatnya kian populer di kalangan ulama Solo dan umat Islam pada umumnya. Pesantren Al-Mukmin di sekitar Pasar Klewer pun dianggap kurang lagi memadai bagi sosok Ba’asyir yang sudah begitu kondang dan memiliki banyak jamaah.
Pada tahun 1972, bersama lima orang ulama --yaitu Abdullah Sungkar (yang belakangan dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah), Yoyok Raswadi, Abdul Kohar Haji Daeng Matesi, Hasan Basri, dan Abdullah Baradja-- Ba'asyir merintis berdirinya pondok pesantren di Desa Ngruki dan diresmikan tahun 1974.
Namanya sama dengan madrasahnya di Klewer, Al-Mukmin. Pesantren lama dialihfungsikan menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam. Aktivitas Ba’asyir pun berpusat di Ngruki sepenuhnya.
Ba’asyir mulai “bermasalah” ketika ia menjadi salah satu tokoh yang menentang penerapan asas tunggal Pancasila. Ia pun menjadi “target operasi” rezim Orde Baru. Tahun 1978, Ba'asyir bersama rekannya, Abdullah Sungkar, ditangkap dan dipenjarakan dengan dakwaan makar karena menolak asas tunggal.
Selama empat tahun dalam penahanan, Ba'asyir berulang kali dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain. Pada awalnya dia ditahan di Makodim Solo, kemudian dipindah ke tahanan Kodam IV Diponegoro di Semarang. Tidak lama kemudian Ba'asyir kembali dipindah ke penjara Mlaten Semarang, terus ke Pati, dan terakhir penjara Solo.
Pada tahun 1982, Ba'asyir bersama Abdullah Sungkar diadili di Pengadilan Negeri Sukoharjo. Jaksa menuntutnya hukuman 9 tahun penjara. Tapi majelis hakim malah memvonisnya 12 tahun penjara potong masa tahanan.
Ba'asyir pun kemudian mengajukan perlawanan ke tingkat banding hingga kasasi. Tak lama kemudian putusan kasasi MA turun dan mengganjarnya hukuman sembilan tahun penjara. Ba'asyir akhirnya memilih untuk hijrah ke Malaysia. Di sana dia tetap konsisten berada di jalur dakwah Islamiyah.
Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Ba'asyir berjualan madu, haba saodah atau biasa disebut jinten item, dan sejenis bumbu yang di Malaysia disebut runcit. Selain itu, Ba'asyir juga menerima imbalan ala kadarnya dari ceramah atau pengajian-pengajian yang diberikannya. Tahun 1999, setelah rezim Orde Baru tumbang, Ba’asyir kembali ke Indonesia dan terpilih sebagai Amirul (pemimpin) MMI yang dideklarasikan pada tahun itu juga di Yogyakarta.
Selama di Malaysia (1985-1998), Ba’asyir menjadi “pendakwah lepas” di pengajian-pengajian, dengan misi pemurnian ajaran Islam dalam konsep dan pelaksanaan, bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kelompok pengajian itulah yang belakangan dicap pemerintah Malaysia sebagai KMM (Kelompok Militan Malaysia, Kumpulan Mujahidin Malaysia) atau "Malaysian Mujahideen Group".
KMM disebut-sebut sebagai kelompok yang diduga terlibat dalam perampokan, pembunuhan, dan kekerasan lain, seperti pemboman tempat-tempat ibadah non-Muslim di Malaysia dan negara-negara lain. KMM juga dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang dituduh mempunyai rencana besar untuk mendirikan negara Pan-Islam di wilayah Asia Tenggara dan dituduh berada di belakang pemboman di Legian Bali, pada 12 Oktober 2002.
JI diisukan bertujuan mendirikan pemerintahan Islam di Malaysia, Indonesia, dan Filipina melalui (aksi) kekerasan. JI diisukan punya pendirian, bahwa pemerintah tiga negara yang ada sekarang adalah tidak Islami dan dipimpin oleh orang-orang kafir.
Ketika terjadi Tragedi WTC di New York Amerika Serikat, 11 September 2001, KMM menjadi target operasi intelijen dan aparat keamanan Malaysia dan Singapura. Puluhan aktivis KMM ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura, dengan tuduhan terkait dengan jaringan Al-Qaidah yang divonis AS sebagai teroris internasional pelaku peledakan WTC 11 September 2001, menyusul propaganda AS yang menyebutkan tiga negara di Asia Tenggara --Malaysia, Filipina, dan Indonesia-- sebagai tempat adanya jaringan teroris internasional.
Nama Ba’asyir mulai muncul ketika Malaysia dan Singapura menyebutkan para aktivis KMM itu dipimpin oleh tokoh-tokoh dari Indonesia. Bahkan, Menteri Senior Singapura, Lee Kwan Yew, kepada rakyatnya menyatakan bahwa “Singapura masih berisiko menjadi sasaran serangan teroris karena masih berkeliarannya pemimpin-pemimpin sel ekstrem di Indonesia”. Tuduhan Lee diberitakan suratkabar Singapura, The Straits Times (18 Februari 2002), dan dikutip sejumlah media massa Indonesia.
Sebelumnya, The Straits Times (9 Januari 2002) mengutip koran Berita Harian Malaysia memberitakan, tiga orang Indonesia yang menjadi pimpinan “kelompok militan” tersebut adalah Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Samad, Hambali alias Nurjaman Riduan Isamuddin, dan Mohamad Iqbal A. Rahman alias Abu Jibril. Mereka disebutkan berasal dari Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Bahkan, untuk membuktikan tuduhan itu, Polisi Diraja Malaysia dikabarkan sampai menugaskan beberapa anggotanya secara informal di Solo, “daerah kekuasaan” Ba’asyir.
Sumber di kepolisian menduga, mereka menggunakan visa turis atau memakai payung kerjasama perdagangan Jawa Tengah dengan Malaysia yang telah disepakati hampir dua bulan silam. Mereka bertugas memantau aktivitas pimpinan MMI, yang diincar adalah Ba’asyir. Polisi Diraja Malaysia mengincar Ba’asyirr karena selama di Malaysia ia dianggap terlibat dalam gerakan KMM (Detikcom, 10 Januari 2002).
Dari Malaysia itulah kisah “perburuan” Ba’syir dimulai, hingga “gongnya” ditabuh Majalah Time yang memuat “bocoran rahasia” intelijen Amerika Serikat CIA berdasarkan pengakuan Umar Al-Faruq. Ba’asyir pun ditahan Mabes Polri atas tuduhan terlibat dalam kasus-kasus pengeboman Natal 2000, rencana pembunuhan Presiden Megawati, dan menjadi bagian dari jaringan Al-Qaidah.
Abu Bakar Ba’asyir Figur Pejuang Islam
Kalau saja tidak menjadi Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mungkin Abu Bakar Ba’asyir tidak akan menjadi “target utama operasi” Amerika Serikat dan sekutunya dalam kampanye anti-terorisme internasional. Pasalnya, organisasi yang dipimpinnya (MMI) merupakan salah satu ormas Islam yang dicap sebagai “organisasi Islam fundamentalis” yang sangat ditakuti Barat dan kalangan sekuler.
Dalam sebuah acara jumpa pers, Ba’asyir sempat mengemukakan garis perjuangan MMI. Menurutnya, MMI meniru perjuangan Rasulullah dalam rangka menegakkan Islam, yaitu dakwah dan jihad. Dakwah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada orang Islam dan non-Islam tentang persoalan syariat. “Saya tidak pernah mengajarkan kekerasan,” katanya.
Menurutnya, MMI hanya membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. “Yang salah tetap kita salahkan menurut ukuran syariat. Yang benar menurut Al Quran kita katakan benar, yang salah kita katakan salah. Itu yang dinilai keras,” jelasnya. “MMI tidak pernah berbuat anarkhi, hanya dakwah.”
Bukan hanya karena visi dan misinya hendak menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga MMI sangat bersemangat dan vokal membela kepentingan umat Islam dan membuat miris Amerika Serikat dan antek-anteknya. MMI pernah mengeluarkan pernyataan sikap mengutuk Israel dan AS, mengutuk Presiden AS George W. Bush, dan menuntut Bush dan PM Israel Ariel Sharon diseret ke Mahkamah Internasional untuk diadili sebagai pelaku teroris terbesar di abad millenium ketiga.
Secara formal, MMI menyatakan tidak ingin mendirikan negara Islam, meskipun berniat menegakkan syariat Islam di Indonesia. Penegakan syariat Islam ini tidak harus berhadapan dengan kekuasaan negara. Bagaimana cara terbaik untuk menegakkan syariat Islam tanpa harus menumpahkan darah dan berbenturan dengan kekuasaan akan menjadi salah satu agenda utama dalam Kongres I Mujahidin Indonesia.
MMI dibentuk dalam Kongres I Mujahidin Indonesia tanggal 5-7 Agustus 2002 di Yogyakarta. Pentolannya adalah para tokoh Islam yang dicap “garis keras”, seperti --selain Ba’asyir-- Prof. Dr. Deliar Noor dan para mantan tahanan politik (tapol) aktivis Islam semisal Ir. Sahirul Alim MSc dan Irfan S Awwas (mantan tapol Yogyakarta), Nur Hidayat (mantan tapol Lampung) dan Dr Mursalim Dahlan (mantan tapol Bandung).
Irfan S Awwas terpilih sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin (Lajnah) yang pertama. Lajnah merupakan badan pelaksana dari keputusan Ahlul Hali wal Aqdi. Tugasnya menyusun rencana kepengurusan Lajnah dan kemudian disahkan oleh Ahlul Halli wal Aqdi (Majelis Pertimbangan Tertinggi) yang beranggotakan 36 orang.
Beberapa tokoh Islam yang menjadi anggota Ahlul Hali wal Aqdi adalah Prof Dr Deliar Noor, KH Mawardi Noor, KH Ali Yafie, Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, KH Siddiq Amin, KH Alawy Muhammad, Ustad Abdul Qadir Baraja, dan Prof Dr Abdurrahman A Basalamah.
Lajnah diharapkan dapat segera membentuk jaringan antaranggota aliansi melalui perwakilan-perwakilan wilayah. Tujuannya untuk mempercepat sosialisasi pelaksanaan syari'ah Islam di daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk Islam.
Posisi Ba’asyir adalah Ketua Badan Pekerja Ahlul Halli wal Aqdi yang berkedudukan di Yogyakarta dan bertugas melaksanakan tugas sehari-hari Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin.
Wajar jika Ba’asyir dijuluki sebagai salah satu tokoh Islam Indonesia. Wajar pula, baik ketika ia berada di RSU Muhammadiyah Solo maupun RS Polri Keramat Jati Jakarta, sejumlah tokoh ormas dan parpol Islam menjenguknya.
Setidaknya, Prof. Dr. Din Syamsuddin (Sekum MUI Pusat), Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH Zainuddin MZ (Ketua Umum DPP PPP Reformasi), Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kalangan DPR, dan ormas kepemudaan Islam seperti Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan lain-lain menjenguk Ba’asyir sebagai ungkapan solidaritas atau simpati.
Kunjungan sejumlah tokoh dan aktivis organisasi Islam itu merupakan indikasi kuat Ba’asyir kini tampil sebagai figur pejuang Islam yang memiliki banyak pendukung dan simpatisan. Dukungan dan simpati itu pun bisa jadi merupakan ungkapan “protes” terhadap pemerintah yang dianggap bertindak tidak adil. Ringkasnya, kunjungan itu merupakan ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam pandangan pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Magelang, Mashuri Maschab, kunjungan tokoh parpol kepada Ba’asyir juga merupakan wujud protes terhadap cara polisi melakukan upaya paksa terhadap Ba’asyir.
Kunjungan itu juga bukan sekadar solidaritas, tetapi menujukkan ketidaksukaan kepada pemerintah, terutama polisi. Menurutnya, upaya paksa memindahkan Ba'asyir dari RSU PKU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Kramat Jati Jakarta, telah menimbulkan kemarahan umat Islam.
Upaya paksa polisi itu semakin menurunkan kepercayaan sebagian besar rakyat terhadap kemandirian pemerintah yang sudah berada di bawah bayang-bayang pemerintah negara asing (AS).
Dengan demikian, dukungan terhadap Ba’asyir menjadi simbol perlawanan umat Islam terhadap pemerintah yang dinilai tunduk pada tekanan Amerika. Dalam hal ini kasusnya sama dengan Usamah bin Ladin. Umat Islam mancanegara menyuarakan dukungan terhadap Usamah, bukan sekadar karena Usamah pejuang Islam, tapi lebih merupakan ungkapan penentangan terhadap kezaliman Amerika yang semena-mena menyerang Afghanistan.
Ketokohan Ba’asyir juga tampak pada bergabungnya tiga kelompok pengacaca –Tim Pengacara Muslim (TPM), Pusat Advonasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Paham), dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI)-- menjadi penasihat hukum atau pengacara Ba’asyir. Tokoh senior pengacara Indonesia, Adnan Buyung Nasution, bahkan menjadi ketua tim pembela dengan nama Tim Pembela Abu Bakar Ba’asyir (TPABB).
Menurut Adnan Buyung Nasution, nama TPABB dinilai para pengacara lebih tegas dan profesional. Pemikiran yang mendasari terbentuknya tim itu adalah kenyataan bahwa tuduhan kepada Ba'asyir bukanlah persoalan orang muslim saja, tetapi persoalan yang lebih besar dan prinsipil menyangkut harkat dan martabat sebagai bangsa Indonesia.
Dalam kasus Ba’asyir, kesan adanya campur tangan pihak asing sangat kuat sekali.
Jumlah pengacara yang siap membela Ba’asyir bahkan terus bertambah. Sejumlah lembaga lain yang menyatakan bergabung dengan TPABB antara lain Asosiasi Advokasi Indonesia (AAI), LBH Nahdlatul Ulama, dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), juga ada beberapa orang dari Ikadin dan PBHI.
Dukungan para ulama dan umat Islam terus mengalir kepada Ba’asyir. Di Yogyakarta, ribuan umat Islam se-Yogyakarta menggelar tablig akbar untuk membela Ba'asyir.
Selain diikuti sejumlah ormas Islam, tablig bertema "Pembelaan Umat Islam" itu, juga dihadiri massa dari beberapa partai politik Islam, yakni Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tablig Akbar itu digagas oleh Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) dan Forum Silaturahmi Remaja Masjid (FSRM) Yogyakarta. Massa dari MMI yang menamakan diri Laskar Mujahidin ikut andil dalam aksi tersebut.
Di Surakarta, ribuan massa pendukung Ba’asyir sempat mendatangi Mapolwil Surakarta. Massa gabungan laskar dan santri tersebut menuntut agar Ba’asyir dibebaskan. Aksi berawal ketika sekitar 500 orang dari berbagai elemen --antara lain Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Brigade Hizbullah-- mendatangi Mapolwil. Sebelumnya, mereka menggelar orasi di Taman Sriwedari. Setelah itu mereka long march sejauh sekitar satu kilometer menuju Mapolwil.
Massa kian membesar ketika sekitar 1.500 santri Ba’asyir dari Ponpes Al-Mukmin Ngruki juga mendatangi Mapolwil. Mereka dikawal oleh puluhan anggota Laskar Mujahidin. Mereka juga menuntut pembebasan Ba’asyir dan menolak Perppu Antiterorisme yang mereka nilai hanya akan menjadi legitimasi pemberangusan tokoh-tokoh Islam dan gerakan Islam di Indonesia.
Ribuan pendukung Ba’asyir itu baru membubarkan diri, setelah mengamini sumpah yang diucapkan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar di Bandung. Dalam sumpahnya, Kapolri siap menerima azab dunia dan akhirat, jika memang ada tekanan asing dalam kasus Ba’asyir.
Mabes Polri pun jadi sasaran aksi. Massa dari Gerakan Pemuda Islam (GPI) melakukan aksi di sana untuk menolak penahanan Ba’asyir. Dalam aksinya, mereka juga membawa kepala kambing berwarna hitam sebagai simbol bahwa Polri sudah melakukan pengambinghitaman terhadap Ba’asyir.
Dalam aksinya, mereka meminta agar Polri dan pemerintah tidak menahan aktivis-aktivis Islam. Merena menyatakan, dengan ditahannya para aktivis Islam, maka pemerintah sudah menjadi boneka Amerika.
Maka, Ba’asyir kini menjadi figur sentral para aktivis Islam. Bagi umat Islam, ia adalah sosok pejuang penegak syariat Islam. Bagi AS dan sekutunya, ia adalah sosok teroris. Kehebatan Ba’asyir bahkan ditunjukkan ketika ada kasus razia (sweeping) WNI Muslim di Australia.
Sejumlah WNI Muslim di negeri Kanguru itu dirazia dan diinterogasi oleh intel Australia (AISO) hanya karena mereka “pernah mendengarkan ceramah Ba’asyir” atau pernah mengikuti pengajian di mana Ba’asyir menjadi pemateri. Alasan itu setidaknya diakui atase pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Clerk Cunningham.
Ia menyatakan, penggeledahan yang terjadi di Australia tidak terbatas pada WNI ataupun umat Islam saja. Tetapi juga dilakukan kepada seluruh orang-orang yang menurut laporan intelejen terkait dengan Jama’ah Islamiyah, di mana orang-orang tersebut juga “pernah mendengarkan pidato” Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut sumber diplomatik, sejak 27 Oktober 2002 sudah 20 keluarga Muslim asal Indonesia yang menjadi korban penggeledahan ASIO. Sebanyak tiga orang di antaranya adalah mahasiswa Indonesia. Pada pekan pertama dilancarkan operasi tersebut, yakni 27 Oktober 2002 sampai dengan 2 November 2002, tercatat 16 keluarga Muslim Indonesia yang digerebek.
Sampai saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang non-Muslim. Kuasa Usaha Sementara pada Kedutaan Besar RI di Canberra --Imron Cotan—mengemukakan, pada tingkat permukaan, razia itu tampak mengalami jeda. Padahal, razia diperkirakan terus berlanjut di berbagai tempat.
Pemikiran-pemikiran dan sikap Ba’asyir yang komitmen dengan ajaran Islam yang “lurus” dan “tegas” memang bisa memiriskan Amerika dan kaum sekuler. Simak saja serpihan pemikirannya ketika ia menggelar jumpa pers, 18 Oktober 2002, dan dalam wawancara pers (Republika, 20 Oktober 2002).
Tentang terorisme, ia melihat sebenarnya akar masalah segala pertentangan di dunia yang disebut teror itu adalah pertentangan antara hak dan batil, antara Islam dan kafir.
“Jadi ada usaha-usaha orang kafir untuk memadamkan cahaya Islam dengan menggunakan kamuflase-kamuflase yang disebut teror,” katanya.
“Oleh karena itu, Saudara boleh lihat bahwa definisi teror dimonopoli oleh Amerika. Yang disebut teror oleh mereka adalah semua penegak, mujahid yang akan menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini. Jadi saya akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang mengebom. Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam dengan sempurna.”
Ba’asyir berpendapat, yang ditakuti oleh “musuh-musuh Allah itu” adalah tegaknya syariat Islam, sehingga apa yang disebut teror oleh Amerika adalah orang Islam. Ia menilai, Al-Qoidah –yang ia ragukan keberadannya— adalah organisasi buatan Amerika. Kemudian dibuat lagi istilah organisasi Jamaah Islamiyah yang ada di Asia Tenggara. “Itu untuk menjaring orang-orang Islam yang masuk dalam golongan itu adalah teroris. Lalu dibuat peristiwa pengeboman,” tegasnya.
Tentang bom di Bali, Ba’asyir mengecamnya. Baginya, Bali itu wilayah orang non-muslim, sehingga banyak mereka yang sebenarnya tidak bersalah jadi korban.
“Mereka tidak memerangi Islam, hanya datang untuk bersenang-senang menjadi korban,” katanya.
“Itu memang tujuannya untuk membikin suatu opini bahwa benar-benar di Indonesia ini ada teror. Selain itu, mereka bertujuan untuk membentuk opini bahwa pelaku teror itu adalah orang Islam, sehingga yang dibom itu tempatnya orang kafir baik di Bali maupun di Manado.”
Kalau kita mau berpikir jernih, kata Ba’asyir, teroris di dunia ini yang sebenarnya adalah Amerika dan Israel.
“Itu mudah dibuktikan,” tegasnya. “Anak SD saja bisa. Amerikalah yang banyak membunuh orang tak bersalah, bangsa Afganistan dengan kejam, merusak rumah-rumah mereka. Israel juga membunuh bangsa Palestina dengan kejam.”
Tentang Usamah bin Ladin, Ba’asyir mengatakan dirinya tidak fanatik pada Usamah atau masuk dalam organisasi Usamah. Ia menegaskan, Usamah itu bukan teroris. Demikian pula Thaliban. Thaliban itu ingin menegakkan Islam, mengatur negaranya sendiri dengan hukum-hukum Islam.
Ba’asyir juga mengulangi bantahannya tentang hubungannya degan Omar Al-Faruq. “Itu (Al-Faruq) saya tidak kenal sama sekali,” katanya.
Anehnya, kata Ba’asyir, pembuktiannya dengan cara mengirim orang ke Amerika lalu dinyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu betul dengan tanda tangan di bawah sumpah. “Mereka tidak berani mendatangkan Omar Al-Faruq ke sini. Itu semua adalah konspirasi orang kafir untuk melemahkan Islam dan mendominasi Indonesia.”
Ba’asyir menyatakan, Islam itu mengutamakan perdamaian, selalu mengajak kepada perdamaian, baik kepada sesama Muslim maupun yang lain. Mencacai-maki suatu kaum itu tidak boleh. Memaksa orang kafir untuk masuk Islam tanpa kesadaran juga tidak boleh.
Allah SWT memberi kelonggaran kepada umat Islam yang berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi Islam. Nabi Saw sendiri menyatakan, barangsiapa yang memerangi kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk pada hukum Islam), maka itu berarti beliaulah musuhnya.
“Itu semua bukti-bukti bahwa Islam mengajak kedamaian,” kata Ba’asyir.
Tetapi, masih kata Ba’asyir, kalau Islam diperangi, maka Islam akan membela diri. Ketika syariat Islam diganggu, dihalangi, maka pada saat itulah umat Islam harus membela diri. Apabila halangan atau rintangan itu dalam bentuk argumen, maka Islam akan membela diri dengan argumen. Tapi kalau tantangan itu berupa fisik, maka umat Islam akan membela secara fisik pula. Jadi itulah yang namanya jihad. Jadi ketika umat Islam sudah berjihad dengan fisik, maka itulah permusuhan dengan orang kafir. “Dan kalau sudah seperti itu berarti saling bunuh,” imbuhnya.*
Kesaktian Al-Faruq, Ketidakberdayaan Ba’asyir
Kasus Ba’asyir sungguh unik. Ia ditahan polisi atau menjadi terdakwa berkat kesaksian seorang sosok kontroversial, Omar Al-Faruq, yang dimuat majalah Time. Al-Faruq mengatakan Ba’asyir terlibat dalam kasus pengeboman Natal 2000 dan upaya pembunuhan Presiden Megawati.
Kronologisnya, pertama-tama Ba’asyir disebut-sebut pemerintah Malaysia dan Singapura sebagai salah satu “pemimpin sel teroris”. Lalu MMI yang dipimpinnya diisukan terkait dengan organisasi Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Untuk menciptakan kesan bahwa benar ada kaum
"Islam militan” di Indonesia, utamanya dari kalangan MMI, media massa AS gencar mengekspose “Islam militan” di Indoensia, dengan fokus Yogyakarta dan Solo yang menjadi basis MMI.
Isu penangkapan Ba’asyir pun berhembus. Klimaksnya adalah “nyanyian” Omar Al-Faruq yang disebut-sebut sebagai pemimpin tertinggi jaringan Al-Qaidah di kawasan Asia Tenggara. Al-Faruq ditangkap di Bogor, 5 Juni 2002, secara diam-diam oleh intelijen dan diekstradisi ke Amerika Serikat, juga secara diam-diam.
Saat diinterogasi CIA, Al-Faruq dikabarkan mengungkapkan berbagai kasus teror bom di Indonesia, termasuk upaya pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri. Al-Faruq menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir sebagai aktor di balik teror bom Natal 2000 dan usaha pembunuhan Megawati.
Hasil interogasi CIA kemudian dipublikasikan majalah Time dan dikutip berbagai media massa, termasuk media massa nasional. Para pengamat Indonesia meragukan pengakuan Al-Faruq, bahkan beberapa pengamat menduga Al-Faruq adalah agen CIA yang disusupkan ke Indonesia.
Mabes Polri kemudian mengirimkan tim ke AS untuk menginterogasi Al-Faruq. Seiring dengan itu, Menkopolkam dan Polri mengeluarkan pernyataan, “nasib” Ba’asyir bergantung pada hasil penyelidikan tim Polri tersebut.
Maka, ketika tim Polri itu pulang ke tanah air, dan menyatakan apa yang diberitakan Time 90% benar atau valid, Polri pun bergerak menangkap Ba’asyir. Sejumlah kalangan menyayangkan sikap Polri yang menangkap Ba’asyir hanya dengan bukti adanya pengakuan seorang Omar Al-Faruq.
Anehnya, ketika banyak pihak mengusulkan agar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia untuk dikonfrontasikan dengan Ba’asyir, Polri terkesan enggan menanggapi usulan itu. Yang berkembang kemudian adalah dugaan, bahwa penangkapan Ba’asyir adalah pesanan AS.
Omar Al-Faruq telah berjasa menjebloskan Ba’asyir kedalam tahanan Polri. Masuk akal jika Al-Faruq dicurigai sebagai agen CIA yang disusupkan ke Indonesia untuk mengobok-obok gerakan Islam di tanah air dan membidik tokoh-tokohnya.
Yang tidak masuk akal, jika ada seorang aktivis Islam yang mau menjadi pengkhianat terhadap mitra seperjuangannya dalam Islam. Artinya, jika Al-Faruq seorang aktivis pejuang Islam, pastilah ia akan melindungi Ba’asyir, membantah keterlibatannya dalam aksi-aksi teror, demi terus berlangsungnya syiar dakwah Islamiyah di tanah air.
Tidak ada alasan bagi Al-Faruq untuk buka mulut dan membeberkan berbagai kasus, meskipun ada tekanan atau paksaan dan siksaan. Karena bagi pejuang Islam, tekanan dan paksaan, bahkan pembunuhan, adalah risiko perjuangan, bahkan mati syahid merupakan idaman.
Ingat apa yang dikemukakan Sayyid Quthb, ketika ia berada di tiang gantungan rezim sekuler Mesir: “Hidup mulia atau mati syahid” (Isy kariman au mut syahidan).
Yang lebih membuat geram kalangan umat Islam adalah proses penangkapan Ba’asyir yang terkesan memaksa.
Ulama sepuh itu dipaksa pindah dari RSU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Keramat Jati Jakarta. Sempat terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa pendukung Ba’asyir. Muhammadiyah pun berang karena proses pemindahan itu diwarnai insiden pengrusakan jendela RSU Muhammadiyah Solo. Polri minta maaf, Muhammadiyah menerima.
Ba’asyir berada dalam genggaman Polri. Ada yang janggal, ketika tiba-tiba Polri menyoal status kewarganegaraan Ba’asyir. Polri mengaku mendapat masukan dari imigrasi bahwa kewarganegaraan Ba’asyir bisa dicabut.
Kabidpenum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Polisi Prasetyo, mengaku memperoleh informasi bahwa Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM sedang mempertimbangkan untuk mencabut status kewarganegaraan Ba'asyir.
Tapi anehnya, pihak imigrasi --sebagaimana dikemukakan Kepala Humas Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM, Ade Endang Dahlan, kepada detikcom, tidak tahu-menahu tentang itu.
Dikatakan, imigrasi juga tidak mempunyai kewenangan mencabut kewarganegaraan Ba'asyir bahkan tidak mempermasalahkan soal kewarganegaraannya. Menurut Ade, tidak ada aturannya bahwa imigrasi mengurus kewarganegaraan seseorang, termasuk Ba’asyir.
Dalam pandangan Ketua Tim Pembela Abu Bakar Ba'asyir (TPABB) Adnan Buyung Nasution, karena tidak bisa membuktikan keterlibatan Ba’asyir dalam kasus pengeboman, polisi panik dan memunculkan masalah kewarganegaraan.
Menurutnya, kalau seperti itu, pemerintah akan mudah mengekstradisi seseorang tanpa perlu ada perjanjian dan itu adalah permainan intelijen. Buyung juga menyatakan, negara telah bertindak fasis jika menghapus kewarganegaraan seseorang secara sewenang-wenang atau bukan melalui keputusan pengadilan.
“Seseorang tak bisa begitu saja hilang kewarganegaraannya, apalagi hanya diputuskan oleh suatu instansi,” katanya.
Kengototan Mabes Polri mempersoalkan kewarganegaraan Ba'asyir tampaknya tidak tanpa alasan. Diduga, hal itu adalah bagian upaya untuk mendeportasi Ba'asyir ke negara yang membutuhkan, seperti Singapura dan Malaysia.
Jadi, ada kemungkinan Ba'asyir diboyong ke salah satu dari dua negara itu yang tahun lalu mengumumkan catatan intelijen bahwa Ba'asyir terlibat serangkaian terorisme. Ba'asyir sendiri mengaku punya firasat akan dikirim ke luar negeri. Namun ia tidak menyebutkan negara mana yang membutuhkannya.
Reaksi Atas Penahanan Ba’asyir
Penangkapan, penahanan, dan penetapan Ba’asyir sebagai tersangka teroris jelas merugikan citra Islam dan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, utamanya karena Ba’asyir seorang ulama, pengasuh pesantren, aktvis dakwah, dan pemimpin sebuah organisasi Islam.
Wajar jika Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), seperti dikemukakan Ketua Tanfidziyah MMI Irfan S. Awwas, mengingatkan bahwa penangkapan Ba’asyir yang dilakukan secara sewenang-wenang mengindikasikan bahwa Presiden Megawati telah menciptakan musuh baru, yakni umat Islam dan rakyat Indonesia. Irfan menilai, penangkapan Ba’asyir hanyalah untuk kepentingan AS.
Di mata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, bisa jadi Ba’asyir hanya menjadi “kambing hitam” dari tekanan-tekanan internasional yang menginginkan implementasi dan dukungan terhadap anti-terorisme yang digembar-gemborkan oleh AS.
"Walaupun secara konstitusi kita harus mempertahankan Presiden Mega, namun kita harus mengkritisi kebijakan Mega agar tetap independen menjaga kedaulatan dan menolak intervensi dari pihak asing,” tegas Syafi’i mengingatkan.
Syafii khawatir, kalau nanti ternyata penangkapan Ba'asyir tidak ada bukti, iItu hanya sekedar menyenangkan Presiden AS George W. Bush.
Menurutnya, pemerintahan Megawati saat ini memang tidak efektif dan tidak mempunyai ketegasan dalam berbagai hal, termasuk dalam menangani Ba'asyir, yang kini telah menjadi tersangka dalam upaya pembunuhan terhadap Presiden. Informasi soal upaya pembunuhan itu sendiri berdasarkan dari dokumen CIA berdasarkan pengakuan orang yang dianggap sebagai anggota jaringan Al-Qaidah, Omar Al-Faruq.
Menurut Syafii, agar proses pemeriksaan Ba'asyir berjalan lancar, pihak kepolisian harus mendatangkan Omar Al-Faruq ke Indonesia untuk dikonfrontir dengan Ba’asyir. Syafi’i juga mendukung permintaan Ba'asyir agar Omar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia, dengan pertimbangan pengakuan pria yang disebut-sebut tokoh penting Al-Qaidah di Asia Tenggara itu bisa saja bias dan mengada-ada.
Dengan mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia, akan meredam kemarahan dan sikap antipati para pendukung Ba’asyir terhadap polisi, mengingat Ba’asyir adalah seorang tokoh spiritual dan mempunyai banyak pendukung.
Desakan agar Polri bisa mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia juga dikemukakan Ketua Harian KISDI yang juga anggota DPR Komisi I, Ahmad Soemargono. Menurutnya, pengakuan Al-Faruq harus dibuktikan dengan kehadirannya secara fisik di Indonesia. Jika tidak, penangkapan Ba’asyir sangat tidak adil. Soemargono juga menduga adanya rekayasa dari pihak-pihak tertentu untuk menangkap Ba’asyir.
Dalam pandangan Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kasus Ba'asyir adalah batu ujian di bidang penerapan hukum, politik luar negri, dan harga diri bangsa.
“Jika pemerintah tidak mampu lolos dari ujian itu, maka Indonesia akan semakin terpuruk dan tercabik-cabik,” katanya. Dikatakan, kasus Ba'asyir adalah ujian apakah Indonesia akan mampu menerapkan politik luar negri bebas aktif, tanpa terpengaruh oleh intervensi dan tekanan dari pihak mana pun, dan untuk kepentingan apa pun.
Maulani juga meminta agar Al-Faruq tetap bisa didatangkan di Indonesia untuk diminta keterangan ataupun dikonfrontir dengan Ba'asyir. “Jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka segala tuduhan terhadap Baasyir itu harus gugur. Jika tetap diteruskan, maka dzalim itu namanya,” tegasnya.
Ba’asyir, masih menurut ZA Maulani, hanya sebagai korban konspirasi Amerika Serikat untuk memperkokoh hegemoninya di dunia.
Semua yang dituduhkan kepada umat Islam dan tokoh-tokoh Islam merupakan upaya AS untuk menekuk Indonesia sebagai negara dengan mayoritas masyarakat Islam terbesar di dunia. “Amerika tidak rela kalau Indonesia tidak tunduk di ketiaknya,” katanya.
Hal senada dikemukakan pengamat hukum dari Bengkulu, Faizal Latif SH. Ia melihat, penetapan status sebagai tahanan terhadap Ba'asyir merupakan titipan dari pihak luar (AS) yang telah lama mengincarnya karena penahanan itu tanpa disertai alat bukti yang kuat.
Ahli hukum pidana dari Universitas Hazairin Bengkulu itu mengemukakan pula, Ba'asyir dijadikan kambing hitam atas serangkaian peristiwa teroris yang sebenarnya dilakukan oleh negara lain yang mempunyai ambisi untuk menjadi polisi dunia. Menurutnya, jika tidak ada tekanan dari luar, Polri tidak akan semudah itu menetapkan status Ba'asyir sebagai tahanan negara, apalagi Ba'asyir merupakan tokoh masyarakat.
Bagi sejumlah pengamat lain, kasus Ba’asyir mengingatkan bangsa Indonesia pada kondisi hubungan pemerintah dan umat Islam era 1980-an ketika rezim Orde Baru sangat represif terhadap tokoh-tokoh Islam.
Pengamat dan cendekiawan Muslim, Hadimulyo, Msc, misalnya, menilai kondisi hubungan pemerintah dengan Islam yang mirip seperti tahun 1980-an, di mana terjadi penangkapan sejumlah tokoh-tokoh Islam, kini terulang lagi dengan adanya kasus Ba’asyir.
Kemiripan lainnya adalah kondisi demikian berulang jika mendekati Pemilu, tujuannya menimbulan deterrent effect atau dampak pengelakkan agar massa tidak memilih parpol Islam. Hadimulyo ia melihat, deterrent effect itu dalam skala tertentu malah sudah menimbulkan dampak teror berupa stigma, agar massa tidak memilih partai Islam.
Aktivis di Centre for People's Participation itu juga melihat bagaimana dahsyatnya pencitraan atas sosok-sosok aktivis Islam seperti Ba’asyir, yang kini diposisikan sebagai “orang terkenal nomor dua” di mata internasional setelah Usamah bin Ladin. Jadi, pertarungan yang kini terjadi kini bukan saja sekadar persoalan terorisme dan ideologis, namun juga melibatkan perebutan opini publik dan lapangannya adalah media massa.
“Merancang agar partai Islam tidak dipilih dalam Pemilu itu, lalu bertemu dengan kepentingan global, sehingga ada pencitraan pada sosok-sosok aktivis Islam yang ditangkapi itu,” jelasnya.
Lebih jelasnya dikemukakan Koordinator Government Watch, Farid R. Faqih, yang menilai bahwa penahanan Ba’asyir merupakan langkah Presiden Megawati dan Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono untuk menekan kelompok Islam menjelang Pemilu 2004.
Bagaimana komentar Ba’asyir sendiri mengenai penahanan dirinya?
Dalam jumpa pers di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo sebelum dilarikan ke rumah sakit, Ba’asyir mengaku heran terhadap semua tuduhan yang diarahkan kepadanya. Ia menduga semua saksi dan keterangan itu diada-adakan.
Ba’asyir melihat adanya indikasi bahwa sejumlah tokoh Islam akan dikorbankan berkaitan seruan Amerika tentang antiterorisme. Menurutnya, hal itu karena ada sejumlah petinggi negara yang mempunyai ambisi kekuasaan, sehingga rela diperalat AS dengan menangkapi warganya.
Ba’asyir juga berkeras melakukan “aksi diam” alias tidak akan menjawab pertanyaan penyidik sebelum tiga syarat yang diajukannya dipenuhi polri. Jika tiga syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Ba'asyir akan bertahan tidak menjawab pertanyaan polisi atau memberi keterangan dalam berita acara pemeriksaan.
Tiga syarat Ba'asyir adalah agar Al-Faruq dihadirkan di Indonesia untuk dikonfrontasi dengan dirinya, menolak penahanan dirinya yang dinilainya atas dasar pesanan pihak asing, serta agar pihak kepolisian meminta maaf kepada dirinya dan umat Islam atas pemindahan dirinya dari Solo ke Jakarta yang dinilainya tidak manusiawi.
Selain tetap menolak bahwa dia terlibat dalam berbagai tindakan aksi pengeboman, Ba'asyir secara tegas mengatakan dirinya siap dihukum berat bila ia memang melakukan tindakan itu.
Menurut Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshari, jangankan dihukum berat, Ba’asyir siap menjalani hukum Islam yang pidananya langsung dihukum mati, dipotong kaki dan tangannya, dan diasingkan bila memang melakukan tindakan keji pengeboman itu.
Abu Bakar Ba’asyir Korban Trial by The Press
Media massa merupakan sarana terefektif pembentukan opini publik. Media massa Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), menjadi sarana propaganda terpenting ketika pemerintah AS membidik Indonesia dalam rangkaian kampanya anti-terorisme global.
Secara resmi Amerika mengaku tidak pernah melontarkan tuduhan apa-apa terhadap Indonesia, juga terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan MMI, tetapi media massanya terkesan bernafsu mencitrakan Indonesia sebagai sarang teroris.
Terjadilah “pengadilan oleh media massa” (trial by the press) yang merupakan salah satu kasus menonjol di dunia pers. Karena kepentingan ideologis-politik tertentu, media seringkali melakukan “pengadilan” terhadap seseorang, atau paling sering dalam bentuk “pembunuhan karakter” (character assasinations). Asas praduga tak bersalah menjadi tidak diperhatikan lagi, demi kepentingan tadi.
Ba’asyir menjadi bulan-bulan media massa Amerika Serikat dan media pro-AS di mancanegara –termasuk Indonesia-- sejak ia diincar pemerintah AS, Malaysia, Singapura, bahkan Indonesia.
Para pejabat AS menggunakan tangan media untuk membentuk opini publik, bahwa Ba’asyir memang sosok teroris dan Indonesia memang benar sarang teroris. Secara formal-diplomatik, pihak pemerintah AS tidak melontarkan tuduhan apa pun kepada Ba’asyir dan Indonesia. Namun, dengan piawainya kalangan intelijen dan pejabat AS menggunakan media massa untuk memunculkan isu dan membentuk opini publik.
Duta Besar AS untuk Indonesia, Ralph L. Boyce, dalam pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta (27 September 2002) menyatakan, pemerintah AS secara formal tidak pernah menyampaikan sesuatu pada media massa AS ataupun media di luar AS. Bahkan, menurut Hasyim Muzadi, Boyce berjanji tidak akan membuat opini publik tentang terorisme di Indonesia.
Namun, sebelumnya Boyce sudah melakukan propaganda dengan mengesankan Indonesia sarang teroris, ketika ia menutup Kedubesanya di Jakarta dan Konjennya di Surabaya menjelang peringatan satu tahun peristiwa serangan gedung WTC 11 September 2001.
Alasannya, sebagaimana dikemukakan dalam siaran pers Kedubes AS di Jakarta, ada informasi dari Washington bahwa Kedubes dan Konjen berada dalam ririko serangan teroris. Tak lupa, Boyce menyebutkan bahwa ancaman itu menunjukkan Al-Qaidah masih aktif.
Akibat propaganda AS yang tiada henti, diperkuat sorotan media massa, mata warga dunia pun menatap tajam eksistensi dan aktivitas kelompok-kelompok pergerakan Islam di Indonesia --juga gerakan Islam di negara-negara lain.
Media massa AS aktif melakukan pelaporan tentang aktivitas gerakan Islam di Indonesia, mulai dari aksi-aksi demonstrasi anti-serangan AS ke Afghanistan, hingga mencari-cari keterkaitan antara gerakan Islam Indonesia dengan Al-Qaidah yang divonis AS sebagai pelaku serangan Gedung WTC.
Kesan yang dimunculkan media internasional itu adalah militansi dan ekstremitas umat Islam Indonesia. Akibatnya, umat Islam Indonesia dinilai ekstrem oleh publik AS.
Padahal, menurut pengamat Indonesia dari Univesitas Ohio, Prof. William Liddle, sebagian besar umat Islam di Indonesia sangat jauh dari kesan ekstrem.
Sebagaimana diberitakan Republika (10/1), dalam seminar “Islam di Indonesia: Berkuasa dan Massal” di New York pada 7 Januari 2002, Liddle menegaskan, kesan ekstrem itu hanya merupakan bahasa media yang menggeneralisir semuanya. Liddle mengakui, pemahaman keliru dari masyarakat internasional tentang Islam Indonesia itu akibat publikasi berlebihan dari media internasional, termasuk media massa di AS.
Contoh liputan media AS yang bombastis, tendensius, dengan target utama Ba’asyir dan MMI-nya, dilakukan Stasiun TV MSNBC, yang diikuti oleh harian The Washington Post dan The New York Post. Dalam siarannya tanggal 8-9 Januari 2002, TV MSNBC menayangkan laporan khusus mengenai keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “kelompok Islam militan” di Indonesia.
Berita selama satu jam, yang berisi laporan khusus dari reporter televisi tersebut, Forrest Sawyer, yang sedang berada di Indonesia itu, menggambarkan adanya “kelompok Islam militan” di Indonesia yang tidak menyukai AS, terutama tindakan militer yang dilakukan AS terhadap Afghanistan.
Dalam laporan khusus yang disiarkan langsung dari tengah kota Yogyakarta --yang menjadi basis MMI-nya Ba’asyir itu-- Sawyer menyebutkan, Osama bin Laden saat ini dijadikan sebagai “pahlawan” (hero) oleh banyak orang di Indonesia, seperti yang terlihat di berbagai tempat di Yogyakarta.
MSNBC dalam laporan khususnya itu menayangkan gambar Osama bin Laden, beserta kaosnya yang dipajang di jalan-jalan dan tempat-tempat di Yogyakarta, yang digambarkan Sawyer sebagai bentuk dukungan umat Islam Indonesia terhadap Osama. "Foto, topi (sorban maksudnya), dan kaos bergambar Osama bin Laden ada di mana-mana dan didukung sebagai layaknya pahlawan," kata Sawyer.
Dalam laporannya, Sawyer pun melakukan wawancara dengan pengamat politik yang juga mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, AS Hikam, serta Ketua Lajnah Majelis Mujahiddin Indonesia, Irfan S. Awwas.
Kepada Hikam, Sawyer mempertanyakan mengapa rakyat Indonesia membenci AS seperti yang terlihat dalam beberapa aksi demonstrasi yang menentang serangan militer AS ke Afghanistan. Menurut Hikam, kebencian itu muncul karena standar ganda yang digunakan AS dalam melakukan penyerangan, karena serangan itu pada kenyataannya tidak hanya ditujukan kepada pasukan Taliban, tetapi juga rakyat sipil yang notabene adalah orang Islam.
Karena adanya korban orang Islam itulah yang membuat rasa simpati yang besar dari rakyat Indonesia, sehingga akhirnya muncul sikap anti AS di Indonesia. "Saya kira, dalam hal ini saya tidak merasa (Presiden AS) George Bush melakukan hal yang jelas," kata Hikam tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud kalimatnya tersebut.
Menurut Hikam, alasan lain munculnya perasaan benci terhadap AS itu juga karena sikap rakyat AS yang berharap semua orang di dunia mau berpikir seperti cara mereka berpikir. "Ini adalah hal yang salah. Jika tidak ingin dibenci, maka mereka (rakyat AS) harus berpikir juga dengan cara mereka (rakyat Indonesia)," imbuhnya.
Irfan Awwas yang diwawancarai melalui seorang penerjemah mengatakan, yang dibela oleh MMI adalah agama Islam. Jika AS melakukan serangan terhadap Islam, maka kelompok ini menyatakan siap untuk bereaksi. "Dan dalam pandangan saya, ini (serangan AS ke Afghanistan dan negara lainnya) adalah usaha AS untuk memerangi Islam di dunia," kata Irfan.
Ketika ditanya apa Majelis Mujahidin mempunyai pasukan, Irfan membenarkan hal itu, dan mengatakan bahwa anggota pasukan Mujahidin itu tergabung dalam kelompok dengan nama Laskar Mujahidin. Namun dia tidak mengetahui berapa banyak anggotanya.
Dalam wawancara itu, Irfan juga membantah keterkaitan MMI dengan kelompok-kelompok teroris, termasuk kelompok Al-Qaidah. Bahkan, dia juga membantah bahwa orang-orang yang ditangkap di Singapura dan Malaysia karena diduga terkait dengan jaringan terorisme adalah orang-orang Laskar Mujahidin dari Indonesia.
Sawyer juga mewawancarai Suaib Didu, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI), ormas pemuda Islam yang dikenal “keras” terhadap AS dan Israel. Suaib Didu mengakui, memang kelompoknya (GPI) mempunyai komunikasi dengan kelompok Al-Qaidah, meskipun hanya sebatas komunikasi secara personal, bukan institusional.
Namun, Suaib mengaku kelompoknya memiliki ribuan pasukan yang saat ini dilatih di salah satu pegunungan di Indonesia dan siap mendapat pasokan senjata dari beberapa negara.
Dalam wawancara terakhirnya dengan cendekiawan Kristen Frans Magnis Soeseno, Sawyer mengulas kebenaran adanya “kelompok Islam militan” di Indonesia yang sangat membenci Amerika Serikat dan Israel.
Menurut Frans Magnis Soeseno, kecenderungan ekstrem seperti itu tidak terlihat dengan jelas dan konflik yang ada di Indonesia selama ini baru sebatas konflik antara komunitas yang kebetulan berada dalam kelompok agama yang berbeda. "Bahkan saya tidak melihat adanya upaya yang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Itu hanya upaya sekelompok kecil orang," ujarnya.
Dalam laporan yang berlangsung satu jam itu, selain menyiarkan kelompok Islam militan di Indonesia, stasiun televisi itu juga menyiarkan situasi di Sudan, Pakistan, dan Somalia. Sudan dan Somalia, bersama-sama dengan Indonesia dan Filipina disebut-sebut sebagai sarangnya Al-Qaidah dan akan menjadi sasaran serangan AS selanjutnya dalam memerangi terorisme.
Apa yang dilakukan TV MSNBC kemudian diikuti media massa lain, di antaranya harian berpengaruh The Washington Post dan The New York Times.
Mereka semakin meningkatkan pemberitaannya mengenai keberadaan Islam di Indonesia, terutama mengenai apa yang mereka sebut “kelompok fundamentalis Islam” yang dinilai media massa AS itu harus dicurigai atas keterkaitannya dengan kelompok teroris internasional.
Pantauan wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara New York, 12 Januari 2002, menunjukkan, dalam harian yang sering disebut The Post dan menjadi bacaan utama para politikus AS itu, disebutkan bahwa pihak intelijen AS sudah lama memprediksikan masuknya jaringan terorisme internasional ke Indonesia.
Namun, pemberitaan harian yang berkantor di ibukota Washington D.C. itu tidak membuat kesimpulan pasti, apakah pihak AS sudah yakin akan adanya kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang benar-benar berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional.
Pada edisi 11 Januari 2002, The Washington Post memuat artikel dugaan keterkaitan Al Qaeda, Laskar Jihad, dan kelompok Abubakar Ba'asyir yang ditulis intelijen AS, Rajiv Chandrasekaran.
Sebagaimana diungkap detik.com (11/01/2002), dalam tulisan pembukanya, Chandrasekaran mensinyalir hadirnya jaringan terorisme di Indonesia. Mereka memperoleh indikasi sejak pemboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania, Al-Qaida mulai memfokuskan diri ke Indonesia, negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Disebutkan, pengawasan kian ditingkatkan menyusul serangan 11 September 2001 atas Gedung WTC dan Pentagon.
Baik AS maupun intelijen Indonesia mengaku menemukan fakta bahwa sekelompok orang asing yang diduga teroris pernah mendapatkan pelatihan militer di sebuah kamp tersembunyi dekat Poso, Sulawasi Tengah. Intelijen AS malah menduga, kelompok di Indonesia adalah sel tidur yang aktif bila posisi Al-Qaidah di Afghanistan terpojok.
Kecurigaan diperkuat dengan ditemukannya peta Kedubes AS di Indonesia di tangan orang yang dituduh anggota jaringan Al-Qaidah yang tertangkap.
Dalam tulisan itu, Abu Bakar Ba’asyir disebut sebagai Laskar Mujahidin. Ba'asyir diidentifikasi sebagai mantan tahanan politik Indonesia yang beralamat di Turki.
Dikabarkan, setelah pengeboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania 1998, Ba’asyir mengirimkan surat kepada selusin kelompok garis keras di Indonesia dan Malaysia untuk mempersiapkan diri peperangan jihad melawan AS. Selain itu juga ditawarkan untuk menemui Osama dengan cara yang aman.
Sedangkan harian The New York Times dalam pemberitaannya tanggal 11-12 Januari 2002 mengangkat belasan orang Indonesia yang tertangkap di Singapura dan disebut-sebut memiliki kaitan yang erat dengan jaringan terorisme tersebut. Harian itu juga menyebutkan, bahwa orang-orang yang tertangkap di Singapura itu mempunyai hubungan dengan beberapa kelompok Islam di Malaysia dan Singapura.
Berita-berita dari media massa AS tersebut dengan jelas menggambarkan betapa Indonesia didominasi oleh “kelompok Islam militan” dan Indonesia dianggap sebagai sarangnya kelompok Islam yang mengarah kepada aksi terorisme, terutama terhadap AS.
Pemberitaan TV MSNBC, The Washington Post, dan The New York Post relatif “tidak berbahaya” bagi Ba’asyir. Meskipun tendensinya mengarah pada MMI dan Ba’asyir karena MSNBC memilih basis MMI, Yogyakarta, sebagai fokus liputannya.
Yang sangat fenomenal dan signifikan adalah pemberitaan dua majalah yang sama-sama secara harfiyah bermakna “waktu”, yakni Majalah Time (Amerika Serikat) dan Majalah Tempo (Indonesia).
Time dianggap --setidaknya oleh MMI-- melakukan trial by the press ketika dalam laporan eksklusifnya pada edisi 15, tanggal 23 September 2002, dengan judul “Confessions Of An Al-Qaeda Terrorist” (Pengakuan Seorang Teroris Al-Qaidah), Time menurunkan tulisan berisi “bocoran rahasia” dari dinas intelijen AS, CIA, tentang pengakuan Omar Al-Faruq, pria asal Kuwait yang disebut sebagai pimpinan jaringan Al-Qaidah di kawasan Asia Tenggara.
Al-Faruq ditangkap di Bogor, 5 Juni 2002, dan langsung diekstradisi ke AS. Anehnya, Dubes AS untuk Indonesia, Ralph F. Boyce, menyatakan bahwa berita itu tidak berasal dari sumber resmi pemerintah AS.
Tanpa bertanya lagi (recheck) kepada Ba’asyir, Time tanpa ragu menyebut Ba’asyir sebagai anggota jaringan teroris internasional Al-Qaidah. Ba’asyir disebut-sebut memiliki hubungan dengan Omar Al-Faruq.
Bahkan disebutkan, Al-Faruq mengakui Ba’asyir sebagai tokoh yang berada di balik rentetan kasus bom Natal 2002 dan terlibat dalam upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri. Al-Faruq pun mengaku meminta izin Ba’asyir untuk menggunakan orang-orang Ba’asyir dalam aksi teror bom. Bahkan, Ba’asyir disebut sebagai perencana peledakan bom di Masjid Istiqal. Time juga menyebutkan Ba’asyir sebagai simpul dari jaringan penggalangan dana untuk laskar ke Ambon.
Secara jurnalistik, Time menyalahi etika jurnalistik karena seharusnya menerapkan cover both sides (pemberitaan silang), demi mencari sebuah kebenaran. Apalagi berita Time tersebut semata-mata merupakan investigasi jurnalistik yang dilakukan wartawannya.
Tapi, atas nama kepentingan politik Amerika, Time telah menjadi corong CIA dalam membidik kekuatan Islam Indonesia dengan Ba’asyir sebagai “target man”. Rumor tentang akan adanga penangkapan Ba’asyir pun kian santer setelah pemberitaan Time –rumor yang kemudian menjadi kenyataan.
Sumpah Abu Bakar Ba’asyir
Ba’asyir tentu saja membantah habis-habisan berita Time tersebut. Bahkan, untuk menguatkan bantahannyaitu, Ba’asyir bersumpah di depan para ulama bahwa dirinya tidak kenal Omar Al-Faruq dan tidak terlibat teror.
Sumpah itu dibacakan Ba’asyir 21 Oktober 2002, di depan para ulama yang menjengungnya saat ia berbaring sakit di RS PKU Muhammadiyah Solo, antara lain Ketua MUI Surakarta Ustadz Ahmad Slamet, pengasuh Pontren Al-Islam Surakarta Ustadz Muzakir, Ketua Umum Majelis Tafsir Al-Quran Pusat Ustadz Ahmad Sukinal, dan Ustadz Ali Bazmul dari Lajnah Dakwah Al-Irsyad.
Dalam sumpahnya Ba’asyir menyatakan sebagai berikut:
Dalam kesempatan berbeda, usai menghadiri sebuah Tablig Akbar di Palembang, Ba'asyir sempat mengingatkan, bahwa fitnah yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap dirinya merupakan salah satu bentuk upaya memusuhi Islam. Oleh karena itu, ia meminta pejabat negara jangan sampai terpancing ikut-ikutan memusuhi Islam. Menurutnya, pemerintah Amerika Serikat saat ini tengah memancing pemerintah Indonesia untuk memusuhi Islam.
Tidak sekadar membantah dan bersumpah, Ba’asyir juga menempuh langkah hukum dalam “perangnya” dengan Time dan CIA. Tanggal 16 Oktober 2002 ia bersama pengacaranya dari Tim Pengacara Muslim (TPM) menggugat Time satu triliun rupiah. Ia mendaftarkan gugatan itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan itu ditujukan pada Time Inc., Karl Taro Greenfield (editor), serta Jason Teja Sukmana (reporter majalah Time di Indonesia).
TPM menilai Time telah melakukan tindakan melanggar hukum dan hak keperdataan Ba’asyir dengan melansir berita bohong dalam pemberitaannya. Sebelumnya, 25 September 2002, Ba’asyir dikabarkan tidak hanya akan menuntut Time, tetapi juga mempertimbangkan untuk menggugat Badan Intelijen Nasional (BIN) dan badan intelijen Amerika, CIA, yang menjadi narasumber Time.
Para tokoh Islam dan umat Islam pada umumnya tampak “merapatkan barisan” dan berada di belakang Ba’asyir menghadapi “fitnah kubro” dari majalah terbitan AS yang hakikatnya menjadi alat kepentingan politik negara adidaya itu. Dukungan itu tampak dari komentar-komentar mereka yang dipublikasikan media massa.
Time dan CIA seakan-akan menjadi “musuh bersama” sehingga dikecam umat Islam. Anehnya, tampaknya pemerintah dan Polri lebih percaya kepada Time, CIA, Al-Faruq, atau Amerika ketimbang ulama saleh sekaliber Abu Bakar Ba’asyir.
Berita Time menjadi panduan Polri dalam bertindak. Keampuhan berita Time terlihat ketika Mabes Polri membentuk Tim Investigasi untuk memeriksa Omar Al-Faruq yang berada dalam tahanan pihak Amerika Serikat. Hasilnya, Direktur Pidana Umum Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi, yang juga Ketua Tim Investigasi mengatakan, bahwa pemberitaan majalah Time seperti dikatakan sebagai “bocoran dokumen CIA” mendekati kebenaran hingga 90 persen!
Menurut Aryanto Sutadi, dalam keterangannya Al-Faruq memang menyebutkan sejumlah “tokoh Islam garis keras”, termasuk Ba’asyir. Berdasarkan hasil investigasi terhadap Al-Faruq itulah Polri kemudian memanggil Ba’asyir untuk diperiksa sebagai tersangka.
Menurut Aryanto, ditetapkannya status tersangka terhadap Ba’asyir itu didasari oleh sejumlah bukti awal yang cukup kuat yang diperoleh dari informasi intelijen kepolisian, pemeriksaan langsung terhadap Faruq, serta sejumlah orang yang berhubungan langsung dengan Ba’asyir.
Sejumlah tuduhan yang dikenakan kepada Ba’asyir antara lain pelanggaran keimigrasian, perencanaan permufakatan jahat (187 KUHP), perencanaan pembunuhan Megawati Soekarnoputri, perusakan barang, dan ikut serta melakukan permufakatan jahat (110 KUHP).
Saat Ba’asyir dan MMI sibuk “berperang” dengan Time dan polisi, tiba-tiba “serangan lain” muncul dari media dalam negeri, Majalah Tempo.
Dalam “laporan investigatif” edisi 28 Oktober-3 November 2002 berjudul “Diakah Sang Imam?”, Tempo menuliskan hasil investigasi wartawannya ke Malaysia –dengan “sedikit-sedikit” mengambil sumber intelejen Singapura dan Malaysia-- untuk melacak keberadaan Jama’ah Islamiyah –organisasi yang dicap sebagai “teroris Asia Tenggara”. Tempo melengkapi laporannya dengan wawancara Sidney Jones –peneliti “Islam Radikal” asal New York, AS.
Pembaca –setelah membaca tulisan itu secara keseluruhan— akan berhasil digiring Tempo untuk membenarkan keberadaan Jama’ah Islamiyyah dengan Abu Bakar Ba’asyir sebabagi “Sang Imam”-nya. Ba’asyir juga dikesankan mengajarkan dan mendorong kekerasan, dan “diduga kuat” Ba’asyir adalah pelaku bom Natal 2002. Tentu saja, pembaca juga diajak membenarkan bahwa Ba’asyir terkait dengan jaringan Al-Qaidah.
Wawancara Tempo dengan Sidney Jones bisa dipahami sebagai indikasi kuat ke arah mana pemihakan Tempo dalam kasus Ba’asyir. Pendapat Sidney Jones terkesan menjadi “term of reference” laporan investigasi Tempo.
Sebagaimana terhadap Time, Ba’asyir dan MMI juga tidak menerima perlakuan Tempo. MMI sangat menyesalkan pemberitaan Tempo yang dalam reportasenya mengait-ngaitkan MMI dengan Jama'ah Islamiyah dan Al-Qoidah. Sementara sumber-sumber yang diambil Tempo juga tidak balance.
Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshori, mengemukakan, yang sangat disayangkan lagi adalah wawancara dengan Ba'asyir sama sekali tidak dimuat dalam majalah itu.
"Namun reportase Tempo malah memuat wawancara wartawan majalah Tempo dengan pihak intelijen Singapura, dan beberapa pihak lain yang cenderung memojokkan Majelis Mujahidin Indonesia," kata Fauzan sebagaimana diberitakan eramuslim.com.
Menurut Fauzan, dari hasil wawancara wartawan Tempo dengan pihak intelijen Singapura dan pihak-pihak anti-MMI lainnya, mengakibatkan seakan-akan ada penjelasan MMI itu termasuk jaringan jaringan Jama'ah Islamiyah (JI). "Padahal wartawan Tempo juga melakukan wawancara dengan Ustadz Ba'asyir. Ini ‘kan tidak adil. Ini namanya trial by the press. Mengapa kami tidak ditanya juga?" cetus Fauzan.
Selain Time, Tempo, TV MNSBC, The Washington Post, dan New York Times, tentu saja masih banyak media AS dan pro-AS lainnya yang menjadi corong propaganda AS tentang terorisme di Indonesia dan keterlibatan Ba’asyir.
Christian Science Monitor misalnya, sejak Oktober 2001 sampai kini, lebih-lebih pascatragedi 12 Oktober 2002 di Bali, terus-menerus membuat laporan soal sel-sel Jemaah Islamiyah dan Al-Qaidah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Republika, 17 November 2002).
Nama-nama seperti Hambali, Ba'asyir, Al-Faruq, dan Agus Dwikarna (salah satu WNI aktivis Laskar Jundullah Komite Penegak Syariat Islam [KPSI] Sulawesi Selatan yang ditangkap di Filipina dengan tuduhan terlibat terorisme), sudah lama disebut-sebut.
Christian Science Monitor juga gencar mengkritik Pemerintahan Megawati yang dinilai “lemah dalam mengatasi aktivitas jaringan teroris di Indonesia”.
Mengutip salah satu tokoh propagandis AS, Rohan Gunaratna, koran misionaris ini mengatakan bahwa sel Al-Qaidah lokal punya kemampuan melakukan aksi teror apa pun di Indonesia.
Sudah bukan rahasia, pascatragedi 11 September 2001, ada begitu banyak media telah secara sukarela ataupun “terpaksa” menjadi agen propaganda kepentingan AS dan lobi Yahudi.
Sebagaimana diungkap Republika (17 November 2002), berita dan laporan-laporan mereka umumnya bias dengan kepentingan operasi PsyOps (Psychological Operations/) dengan dalih kampanye program antiterorisme.
Dalam satu seminar di Singapura, General Manager CNN Internasional, Rena Golden, mengaku jajarannya tak berdaya menghindari bias informasi dalam mengelola siarannya. ''Tak jarang kami terpaksa harus menutup mata terhadap satu berita harus disiarkan ke publik dunia,'' ucapnya pada Newsworld Asia (15 Agustus 2002).
Abe de Vries, kolomnis Emperors-clothes.com, bersaksi ada ribuan tentara dan pegawai US Army Information Service telah bekerja di CNN.
Melalui program Training with Industry, para agen Psychological Operations Group itu bekerja layaknya karyawan reguler CNN. Mereka disebar ke mana-mana dengan tugas membuat reportase, menyiapkan informasi laporan khusus, serta membantu proses seleksi dan produksi berita yang hendak ditayangkan.
Para agen PsyOps itu juga dilatih berbagai teknik komunikasi untuk mempengaruhi opini publik dan media massa lainnya. Dan ketika konflik meletus di berbagai wilayah dan negara, merekalah yang mendapat prioritas dikirim untuk menjadi tenaga liputan. Maka, tak perlu heran, bila CNN dan sejumlah media Barat tak lagi netral dalam pemberitaan kasus-kasus teror dan konflik berdarah, termasuk dalam kasus Ba’asyir dan bom Bali.
Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshari, bahkan mengaku sudah mengalkulasi secara cermat, tuduhan terhadap Ba'asyir akan terus digalang lewat opini sehingga tercipta trial by the press.
Bahkan, secara sengaja membangun opini sesat dan menyesatkan (trial by the public opinion) sehingga diharapkan muncul praduga bersalah (presumption of guilty) kepada Ba'asyir. Semua itu dilakukan proxy forces AS dan sekutunya guna memudahkan aparat berwenang memberangus seluruh aktivitas tersangka.
Fauzan yakin, setelah Ba'asyir sukses dijerat dengan pasal-pasal buatan, selanjutnya tinggal aktivis MMI. Model reportase semacam itu telah dicontohkan majalah Time (23 September 2002) saat menurunkan pengakuan Omar Al-Fauq berjudul Confessions of an Al-Qaeda Terrorist.
Lalu diikuti majalah Tempo (3 November 2002) bertajuk Diakah Sang Imam? dengan cover gambar Ba'asyir sedang menelepon dengan handphone. Ia yakin opini semacam itu akan terus di-blow up guna menguatkan tuduhan terhadap Ba'asyir.
Fauzan benar. Pembentukan opini publik terus berlangsung di media-media massa Barat yang sering dikuti media nasional. Harian The Australian edisi 13 Desember 2002, memunculkan tuduhan baru bagi Abu Bakar Ba’asyir.
Mengaku mendapat informasi dari penyidik di Malaysia dan Indonesia, harian tersebut menyebutkan bahwa enam pucuk pimpinan Jamaah Islamiyah, termasuk Abu Bakar Ba’asyir, menghadiri sebuah pertemuan di Bangkok (Bangkok Meeting) pada awal Februari 2002 untuk merencanakan bom Bali.
Namun, berita tersebut langsung mendapat bantahan dari Pihak Thailand. Menteri Pertahanan Thamarak Isaragura menegaskan bahwa di negara tidak ada pertemuan-pertemuan semacam itu (detikcom, 13 Desember 2002).
Contoh lain tudingan buat Ba’asyir datang dari majalah Far Eastern Economic Review (FEER) yang memuat wawancara dengan Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew --sebagaimana dilansir Republika (15 Desember 2002).
Melalui rubrik wawancara di majalah FEER edisi 12 Desember 2002 itu, Lee yang kini menjadi Menteri Senior Singapura mengatakan, masa depan Asia Tenggara terancam oleh berkembangnya kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia.
Dalam wawancara berjudul What went wrong?, tokoh Singapura itu mengatakan, di Indonesia ada 100 kelompok radikal Islam yang berbahaya. Di bawah kendali Abubakar Ba'asyir dan Hambali, mereka berupaya “menguasai Indonesia dan bercita-cita mendirikan Daulah Islamiyah yang menghimpun Indonesia, Singapura, Malaysia dan Filipina dalam satu kekhalifahan.''
Kelompok-kelompok radikal Islam, menurut Lee, tumbuh subur di era Pemerintahan Habibie. Dalam waktu singkat, Habibie telah membongkar segala aturan dan hukum yang dibuat rezim Soeharto.
Akibatnya, kelompok-kelompok radikal yang semasa Soeharto berhasil dipinggirkan sekonyong-konyong mendapat lahan subur. Maka, muncullah berbagai macam ekspresi gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia. Habibie dicap menghalalkan penggunaan simbol dan slogan agama dalam wacana perpolitikan di Indonesia.
Apa yang disampaikan Lee sesungguhnya adalah kampanye lama. Tudingan-tudingan yang menyudutkan Islam telah berulang kali dilontarkannya. Mula-mula pada Desember 2001, Lee menyebut adanya sel-sel tidur Al-Qaidah di Indonesia. Dua bulan kemudian, dia mengekspose dokumen Jibril yang diklaim punya Jamaah Islamiyah dan berisi rencana aksi serangkaian teror terhadap kepentingan AS di Asia Tenggara.
Pada Mei 2002, Lee kembali melancarkan propagandanya. Pada konferensi International Institute for Strategic Studies Asia Security, secara eksplisit, dia menuding Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Moro Islamic Liberation Front (MILF), kelompok Abu Sayaf, dan Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) sebagai agen Usamah bin Ladin (Al-Qaidah) di Asia Tenggara. Bahkan Abu Bakar Ba'asyir pun dicapnya sebagai “pemimpin utama JI” di kawasan ini.
Counter Opini : Sebuah Pembelaan buat Ba’asyir
Pemberitaan Time, Tempo, serta media massa lainnya sebagaimana diungkap di atas, hanyalah contoh bagaimana media melakukan tudingan, trial by the press, dan memerankan dirinya sebagai media propaganda. Ba’asyir sudah mencoba melakukan bantahan, namun kekuatannya tidak sehebat pemberitaan atau pembentukan opini publik yang dilakukan kedua media massa tersebut.
Beruntung, media massa lainnya di Indonesia tampak lebih berpihak pada Ba’asyir. Terbukti dengan dieksposnya pernyataan dan komentar tokoh Islam dan pengamat yang lebih menguntungkan posisi Ba’asyir. Komentar yang mendukung langkah Polri dalam menangani Ba’asyir nyaris tidak ada.
Aksi-aksi demonstrasi, tablig akbar, pernyataan sikap, dan pandangan para ulama dan pengamat yang terkesan memihak Ba’asyir, menjadi semacam “counter opini” bagi pemberitaan Time dan Tempo atau media massa AS dan pro-AS lainnya yang menyudutkan posisi Ba’asyir.
Di Jakarta, gabungan ormas Islam mengeluarkan pernyataan protes kepada pemerintah AS yang terus menuduh Indonesia sarang teroris, melalui Duta Besar Ralph L. Boyce dalam peretamuan di Gedung PP Muhammadiyah di Jakarta, 24 September 2002.
Ormas Islam dipimpin Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang juga Sekum MUI Prof. Dr. Dien Syamsuddin. Yang hadir pada acara tersebut antara lain Hussen Umar (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia/DDII), Adian Husaini (Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam/KISDI, Yahya Muhaimin (PP Muhamadiyah), Dr. Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai Keadilan), dan Umar Shihab (ketua MUI Pusat), serta Ahmad Bagja (Ketua PBNU).
Dalam pertemuan tersebut, wakil-wakil ormas Islam mempertanyakan langkah-langkah Amerika yang dinilai merugikan umat Islam, terutama yang berada di Indonesia. Boyce –sebagaimana dikemukakan Dien Syamsudin-- mengatakan, tidak ada WNI yang terlibat dalam jaringan teroris. Selain itu, ormas-ormas Islam seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, dan Front Pembela Islam dikatakan Boyce bukan termasuk teroris dan terlibat dalam jaringan teroris.
Boyce mengatakan, Islam Indonesia adalah Islam moderat. Ia setuju ormas-ormas Islam yang hadir pada pertemuan tersebut bukanlah termasuk kelompok teroris. Boyce juga menjelaskan, pemerintah AS tidak bermaksud untuk menghancurkan umat Islam Indonesia. Menurutnya, yang menghancurkan umat Islam itu adalah jaringan Al-Qaidah.
Di Solo, atas nama Forum Umat Islam Indonesia (FUII), sekitar 70 tokoh Islam menggelar pertemuan untuk membahas dan menyikapi tuduhan Amerika --seperti diberitakan Time-- terhadap Indonesia. Pertemuan digelar di Perguruan Al-Islam Solo. Bertindak sebagai tuan rumah adalah Ketua Perguruan Al-Islam, Mudakir, yang juga tokoh Front Pembela Islam Surakarta (FPIS).
Tokoh Islam yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Ba’asyir, Ketua FPI Habib Rizeq, Ketua Majelis Syuro FPIS Cholid Hassa, Ketua Partai Keadilan Solo Muhamad Rodzi, Ketua Tim Pengacara Muslim Mahendratta, dan anggota TPM Ahmada Mihdan. Hadir juga sejumlah habib dari berbagai kota dan para ulama dari Surabaya, Pekalongan, dan kota-kota lainnya.
Dalam pernyataannya, FUII menyangkal tuduhan bahwa Ba’asyir terkait dengan jaringan terorisme internasinal. FUII meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan perlawanan habis-habisan terhadap segala bentuk propaganda busuk pemerintah AS.
FUII juga meminta agar segenap umat Islam berjihad membela agama, bangsa, dan negara, dari segala serangan teroris, zionis, dan gerakan radikal internasional yang ingin melakukan balkanisasi Indonesia dan menghancurkan Islam Indonesia.
Dari kalangan ormas, setidaknya ada delapan elemen yang bersuara menyikapi berita Time itu dan menyebutnya sebagai “propaganda gelap tanpa bukti-buti yang ejelas” (black propaganda).
Delapan elemen bangsa yang terdiri satu Parpol dan tujuh Ormas itu --Partai Keadilan, DPP KNPI, PP Pemuda Katolik, Presidium GMNI, Gema MKGR, DPN Garda Muda Merah Putih Indonesia, PP GP Ansor, serta Betawi Mampang— secara bersama menolak black propaganda yang dilontarkan AS lewat Time.
Respons juga ditunjukkan kalangan anggota DPR RI. Para anggota Komisi I DPR membuat petisi dan mengumpulkan tanda tangan untuk mengutuk CIA dan AS di tengah-tengah acara Raker Komisi I dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di Gedung DPR. Petisi mengutuk CIA dan pemerintah AS itu dilakukan karena anggota Komisi I melihat CIA dan pemerintah AS berencana dan telah melakukan langkah-langkah untuk menciptakan opini memecah-belah bangsa Idonesia.
Dalam pandangan Ketua Komisi I DPR Yasril Ananta Baharuddin, isu yang diberitakan Time hanya karangan CIA. “Mereka ingin melempar bola agar provokasinya berhasil dan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi terlihat jelas,” katanya seperti dilansir media massa nasional. Ia menekankan, aksi provokasi seperti yang dilakukan CIA itu kerap dilakukan di negara-negara yang dianggap penting untuk direcoki.
Yasril pun menduga, Omar Al-Faruq adalah agen CIA yang telah disusupkan ke dalam gerakan-gerakan Islam di Indonesia, untuk kemudian dijadikan awal dari upaya menggulung gerakan tersebut dengan tuduhan terorisme.
Kecurigaan itu didasarkan pada proses hukum yang tidak sewajarnya terhadap Al-Faruq. Ia ditangkap oleh aparat Indonesia, lalu begitu saja diserahkan kepada pihak Amerika dalam satu operasi penangkapan yang misterius. Hal lain yang juga janggal dan mencurigakan, adalah kapasitas informasi Faruq yang kemudian dijadikan dasar bagi AS untuk menekan pemerintah Indonesia agar menindak tegas gerakan-gerakan Islam yang dituduh sebagai kelompok radikal.
Anggota DPR lainnya, Aisyah Amini, juga menyatakan sangat meragukan dan curiga kebenaran pengakuan Al-Faruq sebagai anggota jaringan Al-Qaidah. Menurutnya, pengakuan itu bisa saja rekayasa pihak asing dan kita tidak menyadarinya.
Ia bahkan yakin, bom di Bali, isu percobaaan pembunuhan terhadap Megawati, serta rencana meringkus Ba'asyir merupakan propaganda kotor oleh kekuatan asing dan kaki tangannya di Indonesia. Tujuannya, agar Indonesia takluk dan tunduk pada kemauan asing.
Ketua MPR Amien Rais pun turut memberikan komentar, dengan mengatakan bahwa kasus Omar Al-Faruq yang dilansir Time merupakan skenario CIA untuk mengacaukan Indonesia. Menurutnya, jika laporan Time itu bisa dipertanggungjawabkan, maka dapat dikatakan CIA sudah menjadi alat kepentingan politik luar negeri Amerika, namun merugikan negara Indonesia.
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dien Syamsuddin tergolong aktif melakukan counter opini di berbagai kesempatan. Ia mengaku prihatin terhadap wacana yang berkembang tentang dokumen yang didasari pada pengakuan Omar Al-Faruq.
Din menegaskan, dirinya punya firasat kalau informasi CIA tersebut adalah aksi yang mendahului kejadian sebenarnya, yang bisa menyebabkan pembunuhan itu benar-benar terjadi (preemptive action).
Dien Syamsuddin mendesak pemerintah RI agar bersikap tegas kepada Amerika Serikat, yang membangun opini bahwa Indonesia sarang teroris.
Menurutnya, pemerintah “wajib marah” atas sikap yang merendahkan martabat Indonesia itu. Ia melihat, AS membuat black propaganda terhadap Indonesia, menutup kedutaan dan konsulat jendralnya di sini, bahkan kemudian melarang warganya berkunjung ke Yogyakarta dan Solo. Ia memandang ulah AS itu merupakan suatu penghinaan besar.
Bahwa AS membangun opini menyesatkan tentang Indonesia juga dikemukakan Ketua Umum ICMI Adi Sasono. Ia menyatakan, temuan CIA sebagaimana dimuat dalam majalah Time itu belum tentu benar.
Sampai kini saja AS belum berhasil membuktikan apa benar Usamah bin Ladin sebagai pelaku peledakan WTC dan Pentagon. Ia menilai, data CIA terkait Umar itu sebagai penciptaan opini publik belaka yang tujuannya tak lain adalah terjadinya rekolonisasi Amerika terhadap Indonesia.
Adi tidak percaya orang sebaik Abu Bakar Ba'asyir menjadi teroris. Menurutnya, penangkapan Omar Al-Faruq sebagai tujuan untuk menciptakan stigmatisasi terhadap Islam Indonesia, juga sebagai tekanan terhadap militer dalam rangka memperluas pengaruh Amerika di Indonesia.
Hal senada dikemukakan pengamat intelijen yang kini menjadi Direktur Badan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Soeripto SH.
Menurut mantan intel ini, kalau tuduhan sebagai teroris hanya diperoleh dari satu kesaksian (Al-Faruq), dalam dunia intelijen itu merupakan black propaganda.
Sangkaan teroris oleh AS itu tidak argumentatif, hanya berdasarkan kesaksian satu orang, terlebih yang dituduhkan adalah sebuah jaringan dan organisasi, peledakan bom, ataupun rencana membunuh seorang presiden.
Dijelaskannya, dalam black propaganda, 90% merupakan informasi yang sudah diolah sesuai tujuan yang diinginkan, sedangkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya 10%.
Menurut Soeripto, dalam kasus Time ada dua hal yang dapat dicermati.
Pertama, kemampuan akses yang tinggi dari Majalah Time di CIA sehingga mendapat bocoran kesaksian Al-Faruq.
Kedua, pola lazim dalam intelijen, yakni membocorkan data itu ke media massa. Target dari skenario CIA itu, masih kata Soeripto, adalah menangkapi tokoh-tokoh Islam, seperti Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib, dan nama-nama lainnya.
Soeripto bahkan menduga, Al-Faruq adalah seorang agen khusus CIA yang kemungkinan ditugaskan secara khusus untuk menyusup ke kelompok sasaran, lalu membongkarnya dengan berbagai pengakuan sesuai target yang ingin dicapai.
Selama ini pola menyusupkan seorang agen (planted agent) merupakan salah satu metode yang sering digunakan, terlebih bila CIA ingin mencapai sasaran target yang diinginkan.
“Bila targetnya adalah sosok seperti Ba’asyir yang sering disebut-sebut sebagai 'garis keras' dan 'fundamentalis', maka pola dan skenario itu sangat cocok dipakai,” katanya.
Menurutnya, cara tersebut sangat khas dan merupakan trade mark CIA dalam memburu dan kemudian meringkus sasarannya di beberapa negara.
Apa yang dikemukakan Soeripto senada dengan pendapat pengamat intelijen lainnya, Dr. AC Manullang. Mantan Direktur BAKIN ini mengemukakan, Al-Faruq bisa jadi merupakan agen binaan CIA. “Ia ditugaskan untuk menyusup dan merekrut agen lokal melalui kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Karena tugasnya sudah selesai, dibuat skenario tertangkap,” katanya.
AC Manulang lalu mengungkap beberapa kejanggalan dalam penangkapan Al-Faruq. Ia merujuk pada pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar, bahwa Polri tidak terlibat dalam penangkapan itu.
Di samping itu, dalam penyerahan ke pihak Amerika Serikat tidak disertai dokumen-dokumen. Mengenai pengakuan Al-Faruq seperti diungkapkan majalah Time, bahwa dia adalah otak di balik rencana pembunuhan Megawati dan berbagai pemboman di Indonesia, Manullang menilai hal itu adalah upaya mengkambinghitamkan kelompok Islam. Padahal, yang melakukan pemboman adalah intelijen anti-Islam.
Dugaan bahwa Al-Faruq agen binaan CIA juga dikemukakan pengamat militer MT Arifin. Ia menilai, sebelum menjadikan Ba’asyir sebagai tersangka, seharusnya Polri melakukan cek dan ricek, siapa sebenarnya Omar Al Faruq. “Omar Al Faruq harus dicek dulu. Apakah dia memang agen Al Qaeda yang ditangkap CIA, atau malah menjadi agen kontra intelijen yang memang dibina dan dijadikan sebagai alat untuk kepentingan intelijen,” kata MT Arifin kepada detikcom (18/10/2002).
Menurut dia, jika hasil pengakuan Al-Faruq secara sepihak kemudian dijadikan bukti untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka, maka itu langkah yang tidak tepat. Seharusnya pengakuan Al Faruq tidak diterima mentah-mentah oleh Polri.
Memang, kata dia, pengakuan Al-Faruq bisa sebagai bahan untuk pemeriksaan Ba’asyir.
"Tapi, dalam pemeriksaan itu, polisi lebih menggali informasi apakah memang ada hubungannya dengan Jemaah Islamiyah atau melakukan kegiatan-kegiatan terorisme atau teroris internasional,” kata MT.
“Jadi, pengakuan Al-Faruq ini yang harus dikritisi. Apakah Al-Faruq menjadi agen Al-Qaeda atau kontra intelijen. Ini ‘kan bisa saja sebagai pembenaran tudingan bahwa di Indonesia memang ada teroris,” tambahnya.
Keraguan terhadap dokumen CIA dan Al-Faruq juga disuarakan sejumlah pengamat politik. Pengamat Politik dari Universitas Ekasakti Padang, Ruslan Ismail Mage, menilai dokumen CIA yang mengungkapkan rencana pembunuhan oleh agen-agen teroris terhadap Presiden Megawati itu sarat muatan politis dan bertujuan mengadu domba pemerintah dengan elemen-elemen Islam di Indonesia.
“Dokumen CIA itu patut dan layak dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya,” katanya.
Ia menilai, dokumen CIA tersebut tidak lebih dari bagian dari strategi AS melawan "terorisme" dengan menciptakan opini di kalangan masyarakat pada setiap negara, bahwa Al-Qaida memang harus dimusuhi dan dibasmi secara bersama-sama.
Menurutnya, Amerika berkepentingan menyeret pemerintah untuk bergabung bersama mereka dalam memerangi jaringan Al-Qaidah, sebagai bagian dari upayanya menghancurkan kebangkitan Islam. “AS tidak ingin melihat Islam bangkit di Indonesia, karena khawatir kepentingan strategisnya akan terganggu,” imbuhnya.
Pengamat lainnya dari Iniversitas Mulawarman Samarinda, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH M.Hum, menilai, ada upaya untuk melegitimasikan bahwa Indonesia memang sarang teroris dengan penangkapan Al-Faruq.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara berdaulat seharusnya jangan mudah diatur oleh pihak lain. “Tudingan itu samasekali tidak berdasar dan hanya ingin menjatuhkan umat Islam Indonesia,” katanya. Sarosa menilai, tudingan AS itu menjadi kuat berkat kelihaian negeri itu menguasai informasi dengan memanfaatkan pers.
Sedangkan Ketua Yayasan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Bengkulu, Adji Ali Tjasa SH MH, mengatakan, untuk mengetahui kebenaran dari tuduan CIA, bahwa Al-Faruq merupakan pemimpin Al-Qaidah di Asia Tenggara, seharusnya Al-Faruq dipanggil kembali dan diadili di Indonesia.
Adji menyayangkan mengapa Al-Faruq langsung diekstradisi ke Amerika, sedangkan berdasarkan tuduhan dari CIA disebutkan dia melakukan pengacauan di Indonesia dan dituduh berusaha membunuh Presiden Magawati. Dengan alasan tersebut, Indonesia mempunyai hak untuk mengadili Al-Faruq.
Penyerahan Al-Faruq ke Amerika Serikat, menunjukkan kelemahan pemerintahan Megawati. Ia menilai, tuduhan yang dilemparkan oleh CIA itu merupakan provokasi murahan dari AS untuk menguasai Indonesia dan memecah-belah antara pemerintah dan umat Islam.
Media Menuding “Another Ba’asyir”
Sebenarnya bukan banya Ba’asyir yang menjadi korban trial by the press dalam kasua terorisme, melainkan umat Islam secara kesuluhan. Betapa tidak, media massa menelan mentah-mentah semua keterangan polisi yang menginterogasi tersagka bom Bali Amrozi dan Imam Samudera. Tidak ada kesan kritis dari para wartawan kita terhadap keterangan polisi.
Kapolri dan jajarannya mendadak beralih profesi : menjadi jurubicara para tersangka itu. Tim pembela Imam Samudera bahkan pernah melontarkan tuduhan bahwa polisi melakukan kebohongan publik karena merekayasa pengakuan Imam Samudera.
Hebatnya, media massa sampai bisa melacak dan membentuk peta jaringan Amrozi dan Imam Samudera, sehingga menimbulkan kesan Imam Samudera cs adalah benar teroris, bahkan ketika mereka belum diadili di pengadilan!
Media massa juga --secara sadar atau tidak sadar-- masuk ke dalam perangkap AS, ketika mengekspos isu “radikalisme Islam”.
Akibat peran media massa itu dalam melakukan trial by the press, Islam dan umatnya menjadi korban --korban rekayasa, korban konspirasi, korban disinformasi, dan korban mispersepsi.
Kalaupun --dan ini sebuah kemustahilan-- Ba’asyir, Imam Samudera, Amrozi, dan lainnya ternyata terbukti tidak bersalah di pengadilan, sasaran sudah tercapa: buruknya citra Islam dan identiknya agama itu dengan terorisme!
Tepat sekali adagium “the new source of power is information in the hand of many”, bahwa sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang. Bahwa opini publik yang dibentuk melalui media massa merupakan kekuatan dahsyat yang tidak dapat dibendung apa pun, dan sulit dihapuskan di benak khalayak.
Media massa berperan besar dalam menuding tokoh-tokoh Islam lainnya yang “selevel” dengan Ba’asyir, seperti Ja’far Umar Thalib dengan Laskar Jihadnya dan Habib Rizieq Sihab dengan FPI-nya.
Media massa, lebih-lebih yang pro-AS, lebih suka mengekspos “wajah seram” Laskar Jihad, dengan penggambaran latihan perangnya, pakaian khasnya, jenggotnya, senjata parangnya, dan action-nya di medan perang Ambon dan Poso.
Majalah Time misalnya menjuluki Laskar Jihad dengan sebutan “radical Islam militia” dan sering melengkapi laporan tendensiusnya dengan gambar-gambar anggota laskar dan warga Muslim, termasuk ana-anak, yang tengah menenteng senjata dan “bersiaga mengepung warga Kristen”.
Jarang bahkan hampir tidak pernah diekspos bagaimana kelemahlebutan dan kesalehan anggota Laskar Jihad di tengah warga Muslim Ambon dan Poso. Tidak diekspos bagaimana mereka mengajar ngaji anak-anak Muslim di sana, atau membangun mushola dan tempat penungsian, ataupun ketika mereka mengobati warga yang terluka di posko-posko medis.
Media massa tidak mengungkap mengapa Laskar Jihad muncul dan beraksi. Apa yang dilakukan Laskar Jihad adalah reaksi, sekali lagi REAKSI, bukan aksi. Jika Muslim Ambon dan Poso tidak teraniaya, Laskar Jihad tidak akan bergerak ke sana menolong saudara seiman mereka.
Demikian pula halnya FPI. Apa yang diberitakan media massa kita hanyalah aksi FPI melakukan razia kemaksiatan. Fakta di belakang itu tidak diungkap, misalnya diamnya aparat kepolisian, surat teguran yang dilayangkan FPI sebelumnya, atau bahwa FPI diserang duluan sehingga mereka mempertahankan diri.
Media massa kita lebih suka mengekspos jalan kekerasan yang dilakukan Laskar Pembela Islam FPI, tidak tertarik dengan latar belakang mengapa mereka bergerak. Jika aparat polisi tegas dalam menegakkan peraturan, Laskar FPI tidak punya alasan untuk bergerak sendiri.
Media massa juga melakukan ketidakadilan ketika di satu pihak mengekspos panahanan Ja’far Umar dan Habib Rizieq, tetapi di pihak lain “tidak tertarik” mengusut kasus makar dan penghinaan agama oleh Theo Syafei.
Salah satu contoh laporan provokatif dan tendensius --juga bisa dbilang “tidak lucu”-- adalah ketika Time memberitakan ada tempat pelatihan perang Al-Qaidah di Poso.
Berita itu dibantah Kadispen Polda Sulteng AKBP, Agus Sugianto, yang mengatakan pihaknya belum menemukan bukti-bukti meyakinkan adanya kegiatan latihan perang-perangan.
"Kalau latihan merakit bom mungkin ada sebab pernah seseorang meninggal di Poso karena bom yang sedang dirakitnya sendiri meledak," katanya kepada wartawan di Palu.
Menurut Sugianto, pernah diinformasikan ada jaringan Al- Qaidah di Poso, namun setelah dilakukan penelitian secara seksama ternyata tidak ada.
"Yang ditemukan petugas hanya warga Indonesia yang kebetulan memakai jubah dan berjenggot, namun bukan anggota Al-Qaidah," katanya.
Sugianto juga mengatakan merasa belum pernah dihubungi wartawan Time. "Belum satu pun wartawan dari majalah Time yang pernah mengecek informasi soal Poso melalui Dispen Polda," katanya.
Berita yang tidak kalah lucunya muncul di harian New York Times tentang Pesantren Hidayatullah yang diisukan CIA sebagai salah satu kamp pelatihan militer Al-Qaidah. Wartawan New York Times, Jane Perlez , datang ke pesantren tersebut. Selama tiga hari ia berkeliling kampus, wawancara dengan para santri, dan melihat aktivitas mereka.
Sekembalinya dari sana, New York Times menurunkan artikel dengan judul Carefully Taught-to Hate the United States. Dalam artikel tersebut dikatakan, para santri telah diajarkan untuk membenci Amerika Serikat. '
'Dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya katakan bahwa Amerika Serikat itu adalah hantu,'' tulis Perlez dalam artikelnya berdasarkan hasil wawancaranya dengan Muhammad Fadhil (16), salah seorang santri.
Dari artikel itu, para ustadz di Pesantren Hidayatullah menduga munculnya tudingan teroris di sana.
''Kami sedih setelah membaca artikel itu. Apa yang wartawan itu tulis sangat bertentangan dengan fakta yang sebenarnya di sini,'' kata Ustadz Syamsul Rijal Palu, Direktur Kampus Hidayatullah.
“Bila Perlez ingin mecari komentar yang miring soal Amerika, ia tak perlu jauh-jauh datang ke kampus ini. Umat Islam di Jakarta saya yakin banyak yang akan mengatakan hal demikian. Sebab media massa Islam sudah sedemikian banyak bercerita tentang itu. Dari media massa juga para santri di sini mengerti soal Amerika. Jadi tak heran bila Fadhil dengan polosnya berkata seperti itu.” (Republika, 10 November 2002).
Apa yang dilakukan New York Times, juga Time, Tempo, dan lainnya, kian menunjukkan bahwa media massa menjadi alat efektif propaganda dan sarana pencapaian kepentingan politis tertentu. Kode etik dan prinsip-prinsip jurnalistik lebih sering diabaikan, atau dilaksanakan hanya sekadar “memenuhi prosedur standar jurnalistik”.
Sebuah riset yang dilakukan sebuah pemantau media di Jawa Timur, Lembaga Studi dan Perubahan Sosial (LSPS), menunjukkan bahwa pemberitaan media cetak masih banyak mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik.
Menurut hasil riset yang dipublikasikan LSPS 8 Februari 2002 di Surabaya itu, lebih 50 persen berita di media mengedepankan fakta psikologis, tingkat cek dan ricek rendah, tingkat relevansi standar jurnalistik rendah. Selain itu, pemberitaan juga didominasi oleh pencampuran fakta dan opini, tidak memperhatikan both sided coverage, serta tidak berimbang.
Hasil riset itu juga mengungkapkan, media cetak masih menjadi medium kekuasaan politik, ekonomi, dan kelompok untuk mendesakkan kepentingannya. Akibatnya, media tidak sekadar melaporkan fakta, tetapi juga berupaya mempengaruhi opini publik, menjadi ajang perang simbolik, dan cenderung melibatkan diri dalam keberpihakan.
Kesimpulan dalam riset itu menyoroti bahwa media cetak lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi berita, dan lebih banyak mengutamakan fakta opini (psikologis) daripada sosiologis. Hal ini menunjukkan lemahnya investigasi reporting yang mengakibatkan tingkat presisi rendah.
Abu Bakar Ba’asyir Aktivis Gerakan Islam
Abu Bakar Ba’asyir lahir dari sebuah keluarga sederhana di Desa Pekunden, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Orangtuanya, Ba'asyir Abud, sehari-harinya adalah seorang pedagang.
Orang-orang dekatnya menyebut Ba’asyir sebagai pribadi sederhana –bahkan sangat sederhana, lembut, namun tegas dan kukuh dalam pendirian. Bisa dikatakan, Ba’asyir tidak memiliki harta berharga apa-apa.
Barang berharga yang dimilikinya barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer. Ba’asyir tidak pernah memiliki rumah sendiri, bahkan kursi tamu sekalipun ia tidak punya, kecuali rumah yang disediakan oleh pihak Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, yang didirikan dan diasuhnya. Di rumah sederhana itu ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.
Keteladanan seperti ditunjukkan Umar bin Abdul Aziz --yang tidak menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi-- diperlihatkan Ba’asyir, ketika ia diberi “mobil dinas” Isuzu Panther oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ia tidak mau menggunakan mobil itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia hanya mau menggunakannya selama berkaitan dengan keperluan “dinas” dalam organisasi MMI.
Selain sederhana, Ba’asyir dikenal sebagai sosok lembut. Dalam dakwahnya, baik kepada para santrinya maupun kepada umat Islam pada umumnya, Ba’asyir tidak pernah mengajarkan radikalisme atau melakukan aksi kekerasan. Seorang muridnya bahkan pernah mengira Ba’asyir sebagai penakut karena jauh dari kekerasan dan malah terlalu halus. Di Pesantren Al-Mukmin Ba’asyir mengajar Tafsir Al-Quran.
Lembut dalam sikap, tidak berarti lembek dalam pendirian. Ba’asyir adalah sosok tegas dan teguh dalam pendirian, terutama dalam hal perjuangan bagi pelaksanaan syariat Islam, baik pada tingkat individu maupun masyarakat dan negara. Ketegasan pendiriannya antara lain terlihat, ketika ketika ia menjadi salah seorang penentang penerapan Asas Tunggal Pancasila masa rezim Orde Baru. Ia menganggap penerapan asas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman. Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, lalu di mana lagi letak bebebasannya?
Ketegasan pendiriannya itu harus membuatnya divonis hukuman 12 tahun penjara. Ia melakukan banding dan kasasi. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengharuskan Ba’asyir mendekam di penjara selama 9 tahun.
Dalam hal itu pun Ba’asyir bersikap tegas: menolak eksekusi. Ia mengatakan, Amerika Serikat berada di balik eksekusi itu. Sebelum vonis kasasi dijatuhkan, Ba’asyir memilih hijrah ke Malaysia dan menetap di sana hingga tahun 1998.
Ba’asyir menjalani pendidikan dengan nyantri di pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Lulus tahun 1963, Ba'asyir melanjutkan studinya di Fakultas Dakwah Universitas Islam Al Irsyad Solo. Ba'asyir tercatat sebagai santri dan mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi.
Ketika masih nyantri di Ponpes Gontor, Ba'asyir menjadi ketua Pemuda Islam Indonesia (GPII) Cabang Gontor (1961). Di Solo, ia tercatat sebagai sekretaris Pemuda Al-Irsyad, lalu Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), salah satu organ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Pada tahun 1969, Ba'asyir bersama beberapa orang lainnya mendirikan Radio Dakwah Islamiyah (Radis).
Sejak awal Ba’asyir memilih medan dakwah bagi perjalanan hidupnya. Ia memulai kiprah dakwahnya, ketika tinggal menumpang di rumah seorang pedagang Pasar Klewer Solo yang memberinya “pekerjaan”, yaitu membangun dan mengajar sebuah Madrasah Diniyah di Pasar Klewer.
Dalam dua tahun, madrasah yang diasuh Ba’asyir sudah populer di masyarakat dan jamaahnya bertambah besar. Madrasah pun dikembangkan menjadi sebuah pesantren dengan nama Al-Mukmin. Aktivitas dakwah Ba’asyir mulai meluas sejak pendirian pesantren itu.
Ia memberikan “Kuliah Zhuhur” di serambi Masjid Agung Solo. Jamaahnya antara lain para pedagang Pasar Klewer yang belakangan menjadi semacam sumber dana bagi kegiatan dakwah Ba’asyir dan teman-temannya.
Di antara pedagang itu ada seorang pedagang batik bernama Abdullah Sungkar yang kemudian menjadi pasangan Ba’asyir puluhan tahun dalam berdakwah. Abdullah Sungkar itulah yang dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah, organisasi yang kini berada dalam urutan 88 “daftar organisasi teroris” versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan urutan 35 dalam “daftar organisasi teroris” versi Amerika Serikat.
Nama Ba’asyir kian populer. Setiap bulan ia aktif dalam diskusi yang diikuti para ulama dari seluruh Solo. Kealiman, kefasihan, dan kesalihannya membuatnya kian populer di kalangan ulama Solo dan umat Islam pada umumnya. Pesantren Al-Mukmin di sekitar Pasar Klewer pun dianggap kurang lagi memadai bagi sosok Ba’asyir yang sudah begitu kondang dan memiliki banyak jamaah.
Pada tahun 1972, bersama lima orang ulama --yaitu Abdullah Sungkar (yang belakangan dituduh sebagai pendiri Jamaah Islamiyah), Yoyok Raswadi, Abdul Kohar Haji Daeng Matesi, Hasan Basri, dan Abdullah Baradja-- Ba'asyir merintis berdirinya pondok pesantren di Desa Ngruki dan diresmikan tahun 1974.
Namanya sama dengan madrasahnya di Klewer, Al-Mukmin. Pesantren lama dialihfungsikan menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam. Aktivitas Ba’asyir pun berpusat di Ngruki sepenuhnya.
Ba’asyir mulai “bermasalah” ketika ia menjadi salah satu tokoh yang menentang penerapan asas tunggal Pancasila. Ia pun menjadi “target operasi” rezim Orde Baru. Tahun 1978, Ba'asyir bersama rekannya, Abdullah Sungkar, ditangkap dan dipenjarakan dengan dakwaan makar karena menolak asas tunggal.
Selama empat tahun dalam penahanan, Ba'asyir berulang kali dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain. Pada awalnya dia ditahan di Makodim Solo, kemudian dipindah ke tahanan Kodam IV Diponegoro di Semarang. Tidak lama kemudian Ba'asyir kembali dipindah ke penjara Mlaten Semarang, terus ke Pati, dan terakhir penjara Solo.
Pada tahun 1982, Ba'asyir bersama Abdullah Sungkar diadili di Pengadilan Negeri Sukoharjo. Jaksa menuntutnya hukuman 9 tahun penjara. Tapi majelis hakim malah memvonisnya 12 tahun penjara potong masa tahanan.
Ba'asyir pun kemudian mengajukan perlawanan ke tingkat banding hingga kasasi. Tak lama kemudian putusan kasasi MA turun dan mengganjarnya hukuman sembilan tahun penjara. Ba'asyir akhirnya memilih untuk hijrah ke Malaysia. Di sana dia tetap konsisten berada di jalur dakwah Islamiyah.
Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Ba'asyir berjualan madu, haba saodah atau biasa disebut jinten item, dan sejenis bumbu yang di Malaysia disebut runcit. Selain itu, Ba'asyir juga menerima imbalan ala kadarnya dari ceramah atau pengajian-pengajian yang diberikannya. Tahun 1999, setelah rezim Orde Baru tumbang, Ba’asyir kembali ke Indonesia dan terpilih sebagai Amirul (pemimpin) MMI yang dideklarasikan pada tahun itu juga di Yogyakarta.
Selama di Malaysia (1985-1998), Ba’asyir menjadi “pendakwah lepas” di pengajian-pengajian, dengan misi pemurnian ajaran Islam dalam konsep dan pelaksanaan, bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kelompok pengajian itulah yang belakangan dicap pemerintah Malaysia sebagai KMM (Kelompok Militan Malaysia, Kumpulan Mujahidin Malaysia) atau "Malaysian Mujahideen Group".
KMM disebut-sebut sebagai kelompok yang diduga terlibat dalam perampokan, pembunuhan, dan kekerasan lain, seperti pemboman tempat-tempat ibadah non-Muslim di Malaysia dan negara-negara lain. KMM juga dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang dituduh mempunyai rencana besar untuk mendirikan negara Pan-Islam di wilayah Asia Tenggara dan dituduh berada di belakang pemboman di Legian Bali, pada 12 Oktober 2002.
JI diisukan bertujuan mendirikan pemerintahan Islam di Malaysia, Indonesia, dan Filipina melalui (aksi) kekerasan. JI diisukan punya pendirian, bahwa pemerintah tiga negara yang ada sekarang adalah tidak Islami dan dipimpin oleh orang-orang kafir.
Ketika terjadi Tragedi WTC di New York Amerika Serikat, 11 September 2001, KMM menjadi target operasi intelijen dan aparat keamanan Malaysia dan Singapura. Puluhan aktivis KMM ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura, dengan tuduhan terkait dengan jaringan Al-Qaidah yang divonis AS sebagai teroris internasional pelaku peledakan WTC 11 September 2001, menyusul propaganda AS yang menyebutkan tiga negara di Asia Tenggara --Malaysia, Filipina, dan Indonesia-- sebagai tempat adanya jaringan teroris internasional.
Nama Ba’asyir mulai muncul ketika Malaysia dan Singapura menyebutkan para aktivis KMM itu dipimpin oleh tokoh-tokoh dari Indonesia. Bahkan, Menteri Senior Singapura, Lee Kwan Yew, kepada rakyatnya menyatakan bahwa “Singapura masih berisiko menjadi sasaran serangan teroris karena masih berkeliarannya pemimpin-pemimpin sel ekstrem di Indonesia”. Tuduhan Lee diberitakan suratkabar Singapura, The Straits Times (18 Februari 2002), dan dikutip sejumlah media massa Indonesia.
Sebelumnya, The Straits Times (9 Januari 2002) mengutip koran Berita Harian Malaysia memberitakan, tiga orang Indonesia yang menjadi pimpinan “kelompok militan” tersebut adalah Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Samad, Hambali alias Nurjaman Riduan Isamuddin, dan Mohamad Iqbal A. Rahman alias Abu Jibril. Mereka disebutkan berasal dari Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Bahkan, untuk membuktikan tuduhan itu, Polisi Diraja Malaysia dikabarkan sampai menugaskan beberapa anggotanya secara informal di Solo, “daerah kekuasaan” Ba’asyir.
Sumber di kepolisian menduga, mereka menggunakan visa turis atau memakai payung kerjasama perdagangan Jawa Tengah dengan Malaysia yang telah disepakati hampir dua bulan silam. Mereka bertugas memantau aktivitas pimpinan MMI, yang diincar adalah Ba’asyir. Polisi Diraja Malaysia mengincar Ba’asyirr karena selama di Malaysia ia dianggap terlibat dalam gerakan KMM (Detikcom, 10 Januari 2002).
Dari Malaysia itulah kisah “perburuan” Ba’syir dimulai, hingga “gongnya” ditabuh Majalah Time yang memuat “bocoran rahasia” intelijen Amerika Serikat CIA berdasarkan pengakuan Umar Al-Faruq. Ba’asyir pun ditahan Mabes Polri atas tuduhan terlibat dalam kasus-kasus pengeboman Natal 2000, rencana pembunuhan Presiden Megawati, dan menjadi bagian dari jaringan Al-Qaidah.
Abu Bakar Ba’asyir Figur Pejuang Islam
Kalau saja tidak menjadi Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mungkin Abu Bakar Ba’asyir tidak akan menjadi “target utama operasi” Amerika Serikat dan sekutunya dalam kampanye anti-terorisme internasional. Pasalnya, organisasi yang dipimpinnya (MMI) merupakan salah satu ormas Islam yang dicap sebagai “organisasi Islam fundamentalis” yang sangat ditakuti Barat dan kalangan sekuler.
Dalam sebuah acara jumpa pers, Ba’asyir sempat mengemukakan garis perjuangan MMI. Menurutnya, MMI meniru perjuangan Rasulullah dalam rangka menegakkan Islam, yaitu dakwah dan jihad. Dakwah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada orang Islam dan non-Islam tentang persoalan syariat. “Saya tidak pernah mengajarkan kekerasan,” katanya.
Menurutnya, MMI hanya membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. “Yang salah tetap kita salahkan menurut ukuran syariat. Yang benar menurut Al Quran kita katakan benar, yang salah kita katakan salah. Itu yang dinilai keras,” jelasnya. “MMI tidak pernah berbuat anarkhi, hanya dakwah.”
Bukan hanya karena visi dan misinya hendak menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga MMI sangat bersemangat dan vokal membela kepentingan umat Islam dan membuat miris Amerika Serikat dan antek-anteknya. MMI pernah mengeluarkan pernyataan sikap mengutuk Israel dan AS, mengutuk Presiden AS George W. Bush, dan menuntut Bush dan PM Israel Ariel Sharon diseret ke Mahkamah Internasional untuk diadili sebagai pelaku teroris terbesar di abad millenium ketiga.
Secara formal, MMI menyatakan tidak ingin mendirikan negara Islam, meskipun berniat menegakkan syariat Islam di Indonesia. Penegakan syariat Islam ini tidak harus berhadapan dengan kekuasaan negara. Bagaimana cara terbaik untuk menegakkan syariat Islam tanpa harus menumpahkan darah dan berbenturan dengan kekuasaan akan menjadi salah satu agenda utama dalam Kongres I Mujahidin Indonesia.
MMI dibentuk dalam Kongres I Mujahidin Indonesia tanggal 5-7 Agustus 2002 di Yogyakarta. Pentolannya adalah para tokoh Islam yang dicap “garis keras”, seperti --selain Ba’asyir-- Prof. Dr. Deliar Noor dan para mantan tahanan politik (tapol) aktivis Islam semisal Ir. Sahirul Alim MSc dan Irfan S Awwas (mantan tapol Yogyakarta), Nur Hidayat (mantan tapol Lampung) dan Dr Mursalim Dahlan (mantan tapol Bandung).
Irfan S Awwas terpilih sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin (Lajnah) yang pertama. Lajnah merupakan badan pelaksana dari keputusan Ahlul Hali wal Aqdi. Tugasnya menyusun rencana kepengurusan Lajnah dan kemudian disahkan oleh Ahlul Halli wal Aqdi (Majelis Pertimbangan Tertinggi) yang beranggotakan 36 orang.
Beberapa tokoh Islam yang menjadi anggota Ahlul Hali wal Aqdi adalah Prof Dr Deliar Noor, KH Mawardi Noor, KH Ali Yafie, Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, KH Siddiq Amin, KH Alawy Muhammad, Ustad Abdul Qadir Baraja, dan Prof Dr Abdurrahman A Basalamah.
Lajnah diharapkan dapat segera membentuk jaringan antaranggota aliansi melalui perwakilan-perwakilan wilayah. Tujuannya untuk mempercepat sosialisasi pelaksanaan syari'ah Islam di daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk Islam.
Posisi Ba’asyir adalah Ketua Badan Pekerja Ahlul Halli wal Aqdi yang berkedudukan di Yogyakarta dan bertugas melaksanakan tugas sehari-hari Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin.
Wajar jika Ba’asyir dijuluki sebagai salah satu tokoh Islam Indonesia. Wajar pula, baik ketika ia berada di RSU Muhammadiyah Solo maupun RS Polri Keramat Jati Jakarta, sejumlah tokoh ormas dan parpol Islam menjenguknya.
Setidaknya, Prof. Dr. Din Syamsuddin (Sekum MUI Pusat), Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH Zainuddin MZ (Ketua Umum DPP PPP Reformasi), Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kalangan DPR, dan ormas kepemudaan Islam seperti Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan lain-lain menjenguk Ba’asyir sebagai ungkapan solidaritas atau simpati.
Kunjungan sejumlah tokoh dan aktivis organisasi Islam itu merupakan indikasi kuat Ba’asyir kini tampil sebagai figur pejuang Islam yang memiliki banyak pendukung dan simpatisan. Dukungan dan simpati itu pun bisa jadi merupakan ungkapan “protes” terhadap pemerintah yang dianggap bertindak tidak adil. Ringkasnya, kunjungan itu merupakan ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam pandangan pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Magelang, Mashuri Maschab, kunjungan tokoh parpol kepada Ba’asyir juga merupakan wujud protes terhadap cara polisi melakukan upaya paksa terhadap Ba’asyir.
Kunjungan itu juga bukan sekadar solidaritas, tetapi menujukkan ketidaksukaan kepada pemerintah, terutama polisi. Menurutnya, upaya paksa memindahkan Ba'asyir dari RSU PKU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Kramat Jati Jakarta, telah menimbulkan kemarahan umat Islam.
Upaya paksa polisi itu semakin menurunkan kepercayaan sebagian besar rakyat terhadap kemandirian pemerintah yang sudah berada di bawah bayang-bayang pemerintah negara asing (AS).
Dengan demikian, dukungan terhadap Ba’asyir menjadi simbol perlawanan umat Islam terhadap pemerintah yang dinilai tunduk pada tekanan Amerika. Dalam hal ini kasusnya sama dengan Usamah bin Ladin. Umat Islam mancanegara menyuarakan dukungan terhadap Usamah, bukan sekadar karena Usamah pejuang Islam, tapi lebih merupakan ungkapan penentangan terhadap kezaliman Amerika yang semena-mena menyerang Afghanistan.
Ketokohan Ba’asyir juga tampak pada bergabungnya tiga kelompok pengacaca –Tim Pengacara Muslim (TPM), Pusat Advonasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Paham), dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI)-- menjadi penasihat hukum atau pengacara Ba’asyir. Tokoh senior pengacara Indonesia, Adnan Buyung Nasution, bahkan menjadi ketua tim pembela dengan nama Tim Pembela Abu Bakar Ba’asyir (TPABB).
Menurut Adnan Buyung Nasution, nama TPABB dinilai para pengacara lebih tegas dan profesional. Pemikiran yang mendasari terbentuknya tim itu adalah kenyataan bahwa tuduhan kepada Ba'asyir bukanlah persoalan orang muslim saja, tetapi persoalan yang lebih besar dan prinsipil menyangkut harkat dan martabat sebagai bangsa Indonesia.
Dalam kasus Ba’asyir, kesan adanya campur tangan pihak asing sangat kuat sekali.
Jumlah pengacara yang siap membela Ba’asyir bahkan terus bertambah. Sejumlah lembaga lain yang menyatakan bergabung dengan TPABB antara lain Asosiasi Advokasi Indonesia (AAI), LBH Nahdlatul Ulama, dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), juga ada beberapa orang dari Ikadin dan PBHI.
Dukungan para ulama dan umat Islam terus mengalir kepada Ba’asyir. Di Yogyakarta, ribuan umat Islam se-Yogyakarta menggelar tablig akbar untuk membela Ba'asyir.
Selain diikuti sejumlah ormas Islam, tablig bertema "Pembelaan Umat Islam" itu, juga dihadiri massa dari beberapa partai politik Islam, yakni Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tablig Akbar itu digagas oleh Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) dan Forum Silaturahmi Remaja Masjid (FSRM) Yogyakarta. Massa dari MMI yang menamakan diri Laskar Mujahidin ikut andil dalam aksi tersebut.
Di Surakarta, ribuan massa pendukung Ba’asyir sempat mendatangi Mapolwil Surakarta. Massa gabungan laskar dan santri tersebut menuntut agar Ba’asyir dibebaskan. Aksi berawal ketika sekitar 500 orang dari berbagai elemen --antara lain Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Brigade Hizbullah-- mendatangi Mapolwil. Sebelumnya, mereka menggelar orasi di Taman Sriwedari. Setelah itu mereka long march sejauh sekitar satu kilometer menuju Mapolwil.
Massa kian membesar ketika sekitar 1.500 santri Ba’asyir dari Ponpes Al-Mukmin Ngruki juga mendatangi Mapolwil. Mereka dikawal oleh puluhan anggota Laskar Mujahidin. Mereka juga menuntut pembebasan Ba’asyir dan menolak Perppu Antiterorisme yang mereka nilai hanya akan menjadi legitimasi pemberangusan tokoh-tokoh Islam dan gerakan Islam di Indonesia.
Ribuan pendukung Ba’asyir itu baru membubarkan diri, setelah mengamini sumpah yang diucapkan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar di Bandung. Dalam sumpahnya, Kapolri siap menerima azab dunia dan akhirat, jika memang ada tekanan asing dalam kasus Ba’asyir.
Mabes Polri pun jadi sasaran aksi. Massa dari Gerakan Pemuda Islam (GPI) melakukan aksi di sana untuk menolak penahanan Ba’asyir. Dalam aksinya, mereka juga membawa kepala kambing berwarna hitam sebagai simbol bahwa Polri sudah melakukan pengambinghitaman terhadap Ba’asyir.
Dalam aksinya, mereka meminta agar Polri dan pemerintah tidak menahan aktivis-aktivis Islam. Merena menyatakan, dengan ditahannya para aktivis Islam, maka pemerintah sudah menjadi boneka Amerika.
Maka, Ba’asyir kini menjadi figur sentral para aktivis Islam. Bagi umat Islam, ia adalah sosok pejuang penegak syariat Islam. Bagi AS dan sekutunya, ia adalah sosok teroris. Kehebatan Ba’asyir bahkan ditunjukkan ketika ada kasus razia (sweeping) WNI Muslim di Australia.
Sejumlah WNI Muslim di negeri Kanguru itu dirazia dan diinterogasi oleh intel Australia (AISO) hanya karena mereka “pernah mendengarkan ceramah Ba’asyir” atau pernah mengikuti pengajian di mana Ba’asyir menjadi pemateri. Alasan itu setidaknya diakui atase pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Clerk Cunningham.
Ia menyatakan, penggeledahan yang terjadi di Australia tidak terbatas pada WNI ataupun umat Islam saja. Tetapi juga dilakukan kepada seluruh orang-orang yang menurut laporan intelejen terkait dengan Jama’ah Islamiyah, di mana orang-orang tersebut juga “pernah mendengarkan pidato” Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut sumber diplomatik, sejak 27 Oktober 2002 sudah 20 keluarga Muslim asal Indonesia yang menjadi korban penggeledahan ASIO. Sebanyak tiga orang di antaranya adalah mahasiswa Indonesia. Pada pekan pertama dilancarkan operasi tersebut, yakni 27 Oktober 2002 sampai dengan 2 November 2002, tercatat 16 keluarga Muslim Indonesia yang digerebek.
Sampai saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang non-Muslim. Kuasa Usaha Sementara pada Kedutaan Besar RI di Canberra --Imron Cotan—mengemukakan, pada tingkat permukaan, razia itu tampak mengalami jeda. Padahal, razia diperkirakan terus berlanjut di berbagai tempat.
Pemikiran-pemikiran dan sikap Ba’asyir yang komitmen dengan ajaran Islam yang “lurus” dan “tegas” memang bisa memiriskan Amerika dan kaum sekuler. Simak saja serpihan pemikirannya ketika ia menggelar jumpa pers, 18 Oktober 2002, dan dalam wawancara pers (Republika, 20 Oktober 2002).
Tentang terorisme, ia melihat sebenarnya akar masalah segala pertentangan di dunia yang disebut teror itu adalah pertentangan antara hak dan batil, antara Islam dan kafir.
“Jadi ada usaha-usaha orang kafir untuk memadamkan cahaya Islam dengan menggunakan kamuflase-kamuflase yang disebut teror,” katanya.
“Oleh karena itu, Saudara boleh lihat bahwa definisi teror dimonopoli oleh Amerika. Yang disebut teror oleh mereka adalah semua penegak, mujahid yang akan menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini. Jadi saya akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang mengebom. Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam dengan sempurna.”
Ba’asyir berpendapat, yang ditakuti oleh “musuh-musuh Allah itu” adalah tegaknya syariat Islam, sehingga apa yang disebut teror oleh Amerika adalah orang Islam. Ia menilai, Al-Qoidah –yang ia ragukan keberadannya— adalah organisasi buatan Amerika. Kemudian dibuat lagi istilah organisasi Jamaah Islamiyah yang ada di Asia Tenggara. “Itu untuk menjaring orang-orang Islam yang masuk dalam golongan itu adalah teroris. Lalu dibuat peristiwa pengeboman,” tegasnya.
Tentang bom di Bali, Ba’asyir mengecamnya. Baginya, Bali itu wilayah orang non-muslim, sehingga banyak mereka yang sebenarnya tidak bersalah jadi korban.
“Mereka tidak memerangi Islam, hanya datang untuk bersenang-senang menjadi korban,” katanya.
“Itu memang tujuannya untuk membikin suatu opini bahwa benar-benar di Indonesia ini ada teror. Selain itu, mereka bertujuan untuk membentuk opini bahwa pelaku teror itu adalah orang Islam, sehingga yang dibom itu tempatnya orang kafir baik di Bali maupun di Manado.”
Kalau kita mau berpikir jernih, kata Ba’asyir, teroris di dunia ini yang sebenarnya adalah Amerika dan Israel.
“Itu mudah dibuktikan,” tegasnya. “Anak SD saja bisa. Amerikalah yang banyak membunuh orang tak bersalah, bangsa Afganistan dengan kejam, merusak rumah-rumah mereka. Israel juga membunuh bangsa Palestina dengan kejam.”
Tentang Usamah bin Ladin, Ba’asyir mengatakan dirinya tidak fanatik pada Usamah atau masuk dalam organisasi Usamah. Ia menegaskan, Usamah itu bukan teroris. Demikian pula Thaliban. Thaliban itu ingin menegakkan Islam, mengatur negaranya sendiri dengan hukum-hukum Islam.
Ba’asyir juga mengulangi bantahannya tentang hubungannya degan Omar Al-Faruq. “Itu (Al-Faruq) saya tidak kenal sama sekali,” katanya.
Anehnya, kata Ba’asyir, pembuktiannya dengan cara mengirim orang ke Amerika lalu dinyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu betul dengan tanda tangan di bawah sumpah. “Mereka tidak berani mendatangkan Omar Al-Faruq ke sini. Itu semua adalah konspirasi orang kafir untuk melemahkan Islam dan mendominasi Indonesia.”
Ba’asyir menyatakan, Islam itu mengutamakan perdamaian, selalu mengajak kepada perdamaian, baik kepada sesama Muslim maupun yang lain. Mencacai-maki suatu kaum itu tidak boleh. Memaksa orang kafir untuk masuk Islam tanpa kesadaran juga tidak boleh.
Allah SWT memberi kelonggaran kepada umat Islam yang berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi Islam. Nabi Saw sendiri menyatakan, barangsiapa yang memerangi kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk pada hukum Islam), maka itu berarti beliaulah musuhnya.
“Itu semua bukti-bukti bahwa Islam mengajak kedamaian,” kata Ba’asyir.
Tetapi, masih kata Ba’asyir, kalau Islam diperangi, maka Islam akan membela diri. Ketika syariat Islam diganggu, dihalangi, maka pada saat itulah umat Islam harus membela diri. Apabila halangan atau rintangan itu dalam bentuk argumen, maka Islam akan membela diri dengan argumen. Tapi kalau tantangan itu berupa fisik, maka umat Islam akan membela secara fisik pula. Jadi itulah yang namanya jihad. Jadi ketika umat Islam sudah berjihad dengan fisik, maka itulah permusuhan dengan orang kafir. “Dan kalau sudah seperti itu berarti saling bunuh,” imbuhnya.*
Kesaktian Al-Faruq, Ketidakberdayaan Ba’asyir
Kasus Ba’asyir sungguh unik. Ia ditahan polisi atau menjadi terdakwa berkat kesaksian seorang sosok kontroversial, Omar Al-Faruq, yang dimuat majalah Time. Al-Faruq mengatakan Ba’asyir terlibat dalam kasus pengeboman Natal 2000 dan upaya pembunuhan Presiden Megawati.
Kronologisnya, pertama-tama Ba’asyir disebut-sebut pemerintah Malaysia dan Singapura sebagai salah satu “pemimpin sel teroris”. Lalu MMI yang dipimpinnya diisukan terkait dengan organisasi Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Untuk menciptakan kesan bahwa benar ada kaum
"Islam militan” di Indonesia, utamanya dari kalangan MMI, media massa AS gencar mengekspose “Islam militan” di Indoensia, dengan fokus Yogyakarta dan Solo yang menjadi basis MMI.
Isu penangkapan Ba’asyir pun berhembus. Klimaksnya adalah “nyanyian” Omar Al-Faruq yang disebut-sebut sebagai pemimpin tertinggi jaringan Al-Qaidah di kawasan Asia Tenggara. Al-Faruq ditangkap di Bogor, 5 Juni 2002, secara diam-diam oleh intelijen dan diekstradisi ke Amerika Serikat, juga secara diam-diam.
Saat diinterogasi CIA, Al-Faruq dikabarkan mengungkapkan berbagai kasus teror bom di Indonesia, termasuk upaya pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri. Al-Faruq menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir sebagai aktor di balik teror bom Natal 2000 dan usaha pembunuhan Megawati.
Hasil interogasi CIA kemudian dipublikasikan majalah Time dan dikutip berbagai media massa, termasuk media massa nasional. Para pengamat Indonesia meragukan pengakuan Al-Faruq, bahkan beberapa pengamat menduga Al-Faruq adalah agen CIA yang disusupkan ke Indonesia.
Mabes Polri kemudian mengirimkan tim ke AS untuk menginterogasi Al-Faruq. Seiring dengan itu, Menkopolkam dan Polri mengeluarkan pernyataan, “nasib” Ba’asyir bergantung pada hasil penyelidikan tim Polri tersebut.
Maka, ketika tim Polri itu pulang ke tanah air, dan menyatakan apa yang diberitakan Time 90% benar atau valid, Polri pun bergerak menangkap Ba’asyir. Sejumlah kalangan menyayangkan sikap Polri yang menangkap Ba’asyir hanya dengan bukti adanya pengakuan seorang Omar Al-Faruq.
Anehnya, ketika banyak pihak mengusulkan agar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia untuk dikonfrontasikan dengan Ba’asyir, Polri terkesan enggan menanggapi usulan itu. Yang berkembang kemudian adalah dugaan, bahwa penangkapan Ba’asyir adalah pesanan AS.
Omar Al-Faruq telah berjasa menjebloskan Ba’asyir kedalam tahanan Polri. Masuk akal jika Al-Faruq dicurigai sebagai agen CIA yang disusupkan ke Indonesia untuk mengobok-obok gerakan Islam di tanah air dan membidik tokoh-tokohnya.
Yang tidak masuk akal, jika ada seorang aktivis Islam yang mau menjadi pengkhianat terhadap mitra seperjuangannya dalam Islam. Artinya, jika Al-Faruq seorang aktivis pejuang Islam, pastilah ia akan melindungi Ba’asyir, membantah keterlibatannya dalam aksi-aksi teror, demi terus berlangsungnya syiar dakwah Islamiyah di tanah air.
Tidak ada alasan bagi Al-Faruq untuk buka mulut dan membeberkan berbagai kasus, meskipun ada tekanan atau paksaan dan siksaan. Karena bagi pejuang Islam, tekanan dan paksaan, bahkan pembunuhan, adalah risiko perjuangan, bahkan mati syahid merupakan idaman.
Ingat apa yang dikemukakan Sayyid Quthb, ketika ia berada di tiang gantungan rezim sekuler Mesir: “Hidup mulia atau mati syahid” (Isy kariman au mut syahidan).
Yang lebih membuat geram kalangan umat Islam adalah proses penangkapan Ba’asyir yang terkesan memaksa.
Ulama sepuh itu dipaksa pindah dari RSU Muhammadiyah Solo ke RS Polri Keramat Jati Jakarta. Sempat terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa pendukung Ba’asyir. Muhammadiyah pun berang karena proses pemindahan itu diwarnai insiden pengrusakan jendela RSU Muhammadiyah Solo. Polri minta maaf, Muhammadiyah menerima.
Ba’asyir berada dalam genggaman Polri. Ada yang janggal, ketika tiba-tiba Polri menyoal status kewarganegaraan Ba’asyir. Polri mengaku mendapat masukan dari imigrasi bahwa kewarganegaraan Ba’asyir bisa dicabut.
Kabidpenum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Polisi Prasetyo, mengaku memperoleh informasi bahwa Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM sedang mempertimbangkan untuk mencabut status kewarganegaraan Ba'asyir.
Tapi anehnya, pihak imigrasi --sebagaimana dikemukakan Kepala Humas Dirjen Imigrasi Depkeh dan HAM, Ade Endang Dahlan, kepada detikcom, tidak tahu-menahu tentang itu.
Dikatakan, imigrasi juga tidak mempunyai kewenangan mencabut kewarganegaraan Ba'asyir bahkan tidak mempermasalahkan soal kewarganegaraannya. Menurut Ade, tidak ada aturannya bahwa imigrasi mengurus kewarganegaraan seseorang, termasuk Ba’asyir.
Dalam pandangan Ketua Tim Pembela Abu Bakar Ba'asyir (TPABB) Adnan Buyung Nasution, karena tidak bisa membuktikan keterlibatan Ba’asyir dalam kasus pengeboman, polisi panik dan memunculkan masalah kewarganegaraan.
Menurutnya, kalau seperti itu, pemerintah akan mudah mengekstradisi seseorang tanpa perlu ada perjanjian dan itu adalah permainan intelijen. Buyung juga menyatakan, negara telah bertindak fasis jika menghapus kewarganegaraan seseorang secara sewenang-wenang atau bukan melalui keputusan pengadilan.
“Seseorang tak bisa begitu saja hilang kewarganegaraannya, apalagi hanya diputuskan oleh suatu instansi,” katanya.
Kengototan Mabes Polri mempersoalkan kewarganegaraan Ba'asyir tampaknya tidak tanpa alasan. Diduga, hal itu adalah bagian upaya untuk mendeportasi Ba'asyir ke negara yang membutuhkan, seperti Singapura dan Malaysia.
Jadi, ada kemungkinan Ba'asyir diboyong ke salah satu dari dua negara itu yang tahun lalu mengumumkan catatan intelijen bahwa Ba'asyir terlibat serangkaian terorisme. Ba'asyir sendiri mengaku punya firasat akan dikirim ke luar negeri. Namun ia tidak menyebutkan negara mana yang membutuhkannya.
Reaksi Atas Penahanan Ba’asyir
Penangkapan, penahanan, dan penetapan Ba’asyir sebagai tersangka teroris jelas merugikan citra Islam dan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, utamanya karena Ba’asyir seorang ulama, pengasuh pesantren, aktvis dakwah, dan pemimpin sebuah organisasi Islam.
Wajar jika Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), seperti dikemukakan Ketua Tanfidziyah MMI Irfan S. Awwas, mengingatkan bahwa penangkapan Ba’asyir yang dilakukan secara sewenang-wenang mengindikasikan bahwa Presiden Megawati telah menciptakan musuh baru, yakni umat Islam dan rakyat Indonesia. Irfan menilai, penangkapan Ba’asyir hanyalah untuk kepentingan AS.
Di mata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, bisa jadi Ba’asyir hanya menjadi “kambing hitam” dari tekanan-tekanan internasional yang menginginkan implementasi dan dukungan terhadap anti-terorisme yang digembar-gemborkan oleh AS.
"Walaupun secara konstitusi kita harus mempertahankan Presiden Mega, namun kita harus mengkritisi kebijakan Mega agar tetap independen menjaga kedaulatan dan menolak intervensi dari pihak asing,” tegas Syafi’i mengingatkan.
Syafii khawatir, kalau nanti ternyata penangkapan Ba'asyir tidak ada bukti, iItu hanya sekedar menyenangkan Presiden AS George W. Bush.
Menurutnya, pemerintahan Megawati saat ini memang tidak efektif dan tidak mempunyai ketegasan dalam berbagai hal, termasuk dalam menangani Ba'asyir, yang kini telah menjadi tersangka dalam upaya pembunuhan terhadap Presiden. Informasi soal upaya pembunuhan itu sendiri berdasarkan dari dokumen CIA berdasarkan pengakuan orang yang dianggap sebagai anggota jaringan Al-Qaidah, Omar Al-Faruq.
Menurut Syafii, agar proses pemeriksaan Ba'asyir berjalan lancar, pihak kepolisian harus mendatangkan Omar Al-Faruq ke Indonesia untuk dikonfrontir dengan Ba’asyir. Syafi’i juga mendukung permintaan Ba'asyir agar Omar Al-Faruq didatangkan ke Indonesia, dengan pertimbangan pengakuan pria yang disebut-sebut tokoh penting Al-Qaidah di Asia Tenggara itu bisa saja bias dan mengada-ada.
Dengan mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia, akan meredam kemarahan dan sikap antipati para pendukung Ba’asyir terhadap polisi, mengingat Ba’asyir adalah seorang tokoh spiritual dan mempunyai banyak pendukung.
Desakan agar Polri bisa mendatangkan Al-Faruq ke Indonesia juga dikemukakan Ketua Harian KISDI yang juga anggota DPR Komisi I, Ahmad Soemargono. Menurutnya, pengakuan Al-Faruq harus dibuktikan dengan kehadirannya secara fisik di Indonesia. Jika tidak, penangkapan Ba’asyir sangat tidak adil. Soemargono juga menduga adanya rekayasa dari pihak-pihak tertentu untuk menangkap Ba’asyir.
Dalam pandangan Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin) ZA Maulani, kasus Ba'asyir adalah batu ujian di bidang penerapan hukum, politik luar negri, dan harga diri bangsa.
“Jika pemerintah tidak mampu lolos dari ujian itu, maka Indonesia akan semakin terpuruk dan tercabik-cabik,” katanya. Dikatakan, kasus Ba'asyir adalah ujian apakah Indonesia akan mampu menerapkan politik luar negri bebas aktif, tanpa terpengaruh oleh intervensi dan tekanan dari pihak mana pun, dan untuk kepentingan apa pun.
Maulani juga meminta agar Al-Faruq tetap bisa didatangkan di Indonesia untuk diminta keterangan ataupun dikonfrontir dengan Ba'asyir. “Jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka segala tuduhan terhadap Baasyir itu harus gugur. Jika tetap diteruskan, maka dzalim itu namanya,” tegasnya.
Ba’asyir, masih menurut ZA Maulani, hanya sebagai korban konspirasi Amerika Serikat untuk memperkokoh hegemoninya di dunia.
Semua yang dituduhkan kepada umat Islam dan tokoh-tokoh Islam merupakan upaya AS untuk menekuk Indonesia sebagai negara dengan mayoritas masyarakat Islam terbesar di dunia. “Amerika tidak rela kalau Indonesia tidak tunduk di ketiaknya,” katanya.
Hal senada dikemukakan pengamat hukum dari Bengkulu, Faizal Latif SH. Ia melihat, penetapan status sebagai tahanan terhadap Ba'asyir merupakan titipan dari pihak luar (AS) yang telah lama mengincarnya karena penahanan itu tanpa disertai alat bukti yang kuat.
Ahli hukum pidana dari Universitas Hazairin Bengkulu itu mengemukakan pula, Ba'asyir dijadikan kambing hitam atas serangkaian peristiwa teroris yang sebenarnya dilakukan oleh negara lain yang mempunyai ambisi untuk menjadi polisi dunia. Menurutnya, jika tidak ada tekanan dari luar, Polri tidak akan semudah itu menetapkan status Ba'asyir sebagai tahanan negara, apalagi Ba'asyir merupakan tokoh masyarakat.
Bagi sejumlah pengamat lain, kasus Ba’asyir mengingatkan bangsa Indonesia pada kondisi hubungan pemerintah dan umat Islam era 1980-an ketika rezim Orde Baru sangat represif terhadap tokoh-tokoh Islam.
Pengamat dan cendekiawan Muslim, Hadimulyo, Msc, misalnya, menilai kondisi hubungan pemerintah dengan Islam yang mirip seperti tahun 1980-an, di mana terjadi penangkapan sejumlah tokoh-tokoh Islam, kini terulang lagi dengan adanya kasus Ba’asyir.
Kemiripan lainnya adalah kondisi demikian berulang jika mendekati Pemilu, tujuannya menimbulan deterrent effect atau dampak pengelakkan agar massa tidak memilih parpol Islam. Hadimulyo ia melihat, deterrent effect itu dalam skala tertentu malah sudah menimbulkan dampak teror berupa stigma, agar massa tidak memilih partai Islam.
Aktivis di Centre for People's Participation itu juga melihat bagaimana dahsyatnya pencitraan atas sosok-sosok aktivis Islam seperti Ba’asyir, yang kini diposisikan sebagai “orang terkenal nomor dua” di mata internasional setelah Usamah bin Ladin. Jadi, pertarungan yang kini terjadi kini bukan saja sekadar persoalan terorisme dan ideologis, namun juga melibatkan perebutan opini publik dan lapangannya adalah media massa.
“Merancang agar partai Islam tidak dipilih dalam Pemilu itu, lalu bertemu dengan kepentingan global, sehingga ada pencitraan pada sosok-sosok aktivis Islam yang ditangkapi itu,” jelasnya.
Lebih jelasnya dikemukakan Koordinator Government Watch, Farid R. Faqih, yang menilai bahwa penahanan Ba’asyir merupakan langkah Presiden Megawati dan Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono untuk menekan kelompok Islam menjelang Pemilu 2004.
Bagaimana komentar Ba’asyir sendiri mengenai penahanan dirinya?
Dalam jumpa pers di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo sebelum dilarikan ke rumah sakit, Ba’asyir mengaku heran terhadap semua tuduhan yang diarahkan kepadanya. Ia menduga semua saksi dan keterangan itu diada-adakan.
Ba’asyir melihat adanya indikasi bahwa sejumlah tokoh Islam akan dikorbankan berkaitan seruan Amerika tentang antiterorisme. Menurutnya, hal itu karena ada sejumlah petinggi negara yang mempunyai ambisi kekuasaan, sehingga rela diperalat AS dengan menangkapi warganya.
Ba’asyir juga berkeras melakukan “aksi diam” alias tidak akan menjawab pertanyaan penyidik sebelum tiga syarat yang diajukannya dipenuhi polri. Jika tiga syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Ba'asyir akan bertahan tidak menjawab pertanyaan polisi atau memberi keterangan dalam berita acara pemeriksaan.
Tiga syarat Ba'asyir adalah agar Al-Faruq dihadirkan di Indonesia untuk dikonfrontasi dengan dirinya, menolak penahanan dirinya yang dinilainya atas dasar pesanan pihak asing, serta agar pihak kepolisian meminta maaf kepada dirinya dan umat Islam atas pemindahan dirinya dari Solo ke Jakarta yang dinilainya tidak manusiawi.
Selain tetap menolak bahwa dia terlibat dalam berbagai tindakan aksi pengeboman, Ba'asyir secara tegas mengatakan dirinya siap dihukum berat bila ia memang melakukan tindakan itu.
Menurut Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshari, jangankan dihukum berat, Ba’asyir siap menjalani hukum Islam yang pidananya langsung dihukum mati, dipotong kaki dan tangannya, dan diasingkan bila memang melakukan tindakan keji pengeboman itu.
Abu Bakar Ba’asyir Korban Trial by The Press
Media massa merupakan sarana terefektif pembentukan opini publik. Media massa Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), menjadi sarana propaganda terpenting ketika pemerintah AS membidik Indonesia dalam rangkaian kampanya anti-terorisme global.
Secara resmi Amerika mengaku tidak pernah melontarkan tuduhan apa-apa terhadap Indonesia, juga terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan MMI, tetapi media massanya terkesan bernafsu mencitrakan Indonesia sebagai sarang teroris.
Terjadilah “pengadilan oleh media massa” (trial by the press) yang merupakan salah satu kasus menonjol di dunia pers. Karena kepentingan ideologis-politik tertentu, media seringkali melakukan “pengadilan” terhadap seseorang, atau paling sering dalam bentuk “pembunuhan karakter” (character assasinations). Asas praduga tak bersalah menjadi tidak diperhatikan lagi, demi kepentingan tadi.
Ba’asyir menjadi bulan-bulan media massa Amerika Serikat dan media pro-AS di mancanegara –termasuk Indonesia-- sejak ia diincar pemerintah AS, Malaysia, Singapura, bahkan Indonesia.
Para pejabat AS menggunakan tangan media untuk membentuk opini publik, bahwa Ba’asyir memang sosok teroris dan Indonesia memang benar sarang teroris. Secara formal-diplomatik, pihak pemerintah AS tidak melontarkan tuduhan apa pun kepada Ba’asyir dan Indonesia. Namun, dengan piawainya kalangan intelijen dan pejabat AS menggunakan media massa untuk memunculkan isu dan membentuk opini publik.
Duta Besar AS untuk Indonesia, Ralph L. Boyce, dalam pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta (27 September 2002) menyatakan, pemerintah AS secara formal tidak pernah menyampaikan sesuatu pada media massa AS ataupun media di luar AS. Bahkan, menurut Hasyim Muzadi, Boyce berjanji tidak akan membuat opini publik tentang terorisme di Indonesia.
Namun, sebelumnya Boyce sudah melakukan propaganda dengan mengesankan Indonesia sarang teroris, ketika ia menutup Kedubesanya di Jakarta dan Konjennya di Surabaya menjelang peringatan satu tahun peristiwa serangan gedung WTC 11 September 2001.
Alasannya, sebagaimana dikemukakan dalam siaran pers Kedubes AS di Jakarta, ada informasi dari Washington bahwa Kedubes dan Konjen berada dalam ririko serangan teroris. Tak lupa, Boyce menyebutkan bahwa ancaman itu menunjukkan Al-Qaidah masih aktif.
Akibat propaganda AS yang tiada henti, diperkuat sorotan media massa, mata warga dunia pun menatap tajam eksistensi dan aktivitas kelompok-kelompok pergerakan Islam di Indonesia --juga gerakan Islam di negara-negara lain.
Media massa AS aktif melakukan pelaporan tentang aktivitas gerakan Islam di Indonesia, mulai dari aksi-aksi demonstrasi anti-serangan AS ke Afghanistan, hingga mencari-cari keterkaitan antara gerakan Islam Indonesia dengan Al-Qaidah yang divonis AS sebagai pelaku serangan Gedung WTC.
Kesan yang dimunculkan media internasional itu adalah militansi dan ekstremitas umat Islam Indonesia. Akibatnya, umat Islam Indonesia dinilai ekstrem oleh publik AS.
Padahal, menurut pengamat Indonesia dari Univesitas Ohio, Prof. William Liddle, sebagian besar umat Islam di Indonesia sangat jauh dari kesan ekstrem.
Sebagaimana diberitakan Republika (10/1), dalam seminar “Islam di Indonesia: Berkuasa dan Massal” di New York pada 7 Januari 2002, Liddle menegaskan, kesan ekstrem itu hanya merupakan bahasa media yang menggeneralisir semuanya. Liddle mengakui, pemahaman keliru dari masyarakat internasional tentang Islam Indonesia itu akibat publikasi berlebihan dari media internasional, termasuk media massa di AS.
Contoh liputan media AS yang bombastis, tendensius, dengan target utama Ba’asyir dan MMI-nya, dilakukan Stasiun TV MSNBC, yang diikuti oleh harian The Washington Post dan The New York Post. Dalam siarannya tanggal 8-9 Januari 2002, TV MSNBC menayangkan laporan khusus mengenai keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “kelompok Islam militan” di Indonesia.
Berita selama satu jam, yang berisi laporan khusus dari reporter televisi tersebut, Forrest Sawyer, yang sedang berada di Indonesia itu, menggambarkan adanya “kelompok Islam militan” di Indonesia yang tidak menyukai AS, terutama tindakan militer yang dilakukan AS terhadap Afghanistan.
Dalam laporan khusus yang disiarkan langsung dari tengah kota Yogyakarta --yang menjadi basis MMI-nya Ba’asyir itu-- Sawyer menyebutkan, Osama bin Laden saat ini dijadikan sebagai “pahlawan” (hero) oleh banyak orang di Indonesia, seperti yang terlihat di berbagai tempat di Yogyakarta.
MSNBC dalam laporan khususnya itu menayangkan gambar Osama bin Laden, beserta kaosnya yang dipajang di jalan-jalan dan tempat-tempat di Yogyakarta, yang digambarkan Sawyer sebagai bentuk dukungan umat Islam Indonesia terhadap Osama. "Foto, topi (sorban maksudnya), dan kaos bergambar Osama bin Laden ada di mana-mana dan didukung sebagai layaknya pahlawan," kata Sawyer.
Dalam laporannya, Sawyer pun melakukan wawancara dengan pengamat politik yang juga mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, AS Hikam, serta Ketua Lajnah Majelis Mujahiddin Indonesia, Irfan S. Awwas.
Kepada Hikam, Sawyer mempertanyakan mengapa rakyat Indonesia membenci AS seperti yang terlihat dalam beberapa aksi demonstrasi yang menentang serangan militer AS ke Afghanistan. Menurut Hikam, kebencian itu muncul karena standar ganda yang digunakan AS dalam melakukan penyerangan, karena serangan itu pada kenyataannya tidak hanya ditujukan kepada pasukan Taliban, tetapi juga rakyat sipil yang notabene adalah orang Islam.
Karena adanya korban orang Islam itulah yang membuat rasa simpati yang besar dari rakyat Indonesia, sehingga akhirnya muncul sikap anti AS di Indonesia. "Saya kira, dalam hal ini saya tidak merasa (Presiden AS) George Bush melakukan hal yang jelas," kata Hikam tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud kalimatnya tersebut.
Menurut Hikam, alasan lain munculnya perasaan benci terhadap AS itu juga karena sikap rakyat AS yang berharap semua orang di dunia mau berpikir seperti cara mereka berpikir. "Ini adalah hal yang salah. Jika tidak ingin dibenci, maka mereka (rakyat AS) harus berpikir juga dengan cara mereka (rakyat Indonesia)," imbuhnya.
Irfan Awwas yang diwawancarai melalui seorang penerjemah mengatakan, yang dibela oleh MMI adalah agama Islam. Jika AS melakukan serangan terhadap Islam, maka kelompok ini menyatakan siap untuk bereaksi. "Dan dalam pandangan saya, ini (serangan AS ke Afghanistan dan negara lainnya) adalah usaha AS untuk memerangi Islam di dunia," kata Irfan.
Ketika ditanya apa Majelis Mujahidin mempunyai pasukan, Irfan membenarkan hal itu, dan mengatakan bahwa anggota pasukan Mujahidin itu tergabung dalam kelompok dengan nama Laskar Mujahidin. Namun dia tidak mengetahui berapa banyak anggotanya.
Dalam wawancara itu, Irfan juga membantah keterkaitan MMI dengan kelompok-kelompok teroris, termasuk kelompok Al-Qaidah. Bahkan, dia juga membantah bahwa orang-orang yang ditangkap di Singapura dan Malaysia karena diduga terkait dengan jaringan terorisme adalah orang-orang Laskar Mujahidin dari Indonesia.
Sawyer juga mewawancarai Suaib Didu, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI), ormas pemuda Islam yang dikenal “keras” terhadap AS dan Israel. Suaib Didu mengakui, memang kelompoknya (GPI) mempunyai komunikasi dengan kelompok Al-Qaidah, meskipun hanya sebatas komunikasi secara personal, bukan institusional.
Namun, Suaib mengaku kelompoknya memiliki ribuan pasukan yang saat ini dilatih di salah satu pegunungan di Indonesia dan siap mendapat pasokan senjata dari beberapa negara.
Dalam wawancara terakhirnya dengan cendekiawan Kristen Frans Magnis Soeseno, Sawyer mengulas kebenaran adanya “kelompok Islam militan” di Indonesia yang sangat membenci Amerika Serikat dan Israel.
Menurut Frans Magnis Soeseno, kecenderungan ekstrem seperti itu tidak terlihat dengan jelas dan konflik yang ada di Indonesia selama ini baru sebatas konflik antara komunitas yang kebetulan berada dalam kelompok agama yang berbeda. "Bahkan saya tidak melihat adanya upaya yang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Itu hanya upaya sekelompok kecil orang," ujarnya.
Dalam laporan yang berlangsung satu jam itu, selain menyiarkan kelompok Islam militan di Indonesia, stasiun televisi itu juga menyiarkan situasi di Sudan, Pakistan, dan Somalia. Sudan dan Somalia, bersama-sama dengan Indonesia dan Filipina disebut-sebut sebagai sarangnya Al-Qaidah dan akan menjadi sasaran serangan AS selanjutnya dalam memerangi terorisme.
Apa yang dilakukan TV MSNBC kemudian diikuti media massa lain, di antaranya harian berpengaruh The Washington Post dan The New York Times.
Mereka semakin meningkatkan pemberitaannya mengenai keberadaan Islam di Indonesia, terutama mengenai apa yang mereka sebut “kelompok fundamentalis Islam” yang dinilai media massa AS itu harus dicurigai atas keterkaitannya dengan kelompok teroris internasional.
Pantauan wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara New York, 12 Januari 2002, menunjukkan, dalam harian yang sering disebut The Post dan menjadi bacaan utama para politikus AS itu, disebutkan bahwa pihak intelijen AS sudah lama memprediksikan masuknya jaringan terorisme internasional ke Indonesia.
Namun, pemberitaan harian yang berkantor di ibukota Washington D.C. itu tidak membuat kesimpulan pasti, apakah pihak AS sudah yakin akan adanya kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang benar-benar berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional.
Pada edisi 11 Januari 2002, The Washington Post memuat artikel dugaan keterkaitan Al Qaeda, Laskar Jihad, dan kelompok Abubakar Ba'asyir yang ditulis intelijen AS, Rajiv Chandrasekaran.
Sebagaimana diungkap detik.com (11/01/2002), dalam tulisan pembukanya, Chandrasekaran mensinyalir hadirnya jaringan terorisme di Indonesia. Mereka memperoleh indikasi sejak pemboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania, Al-Qaida mulai memfokuskan diri ke Indonesia, negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Disebutkan, pengawasan kian ditingkatkan menyusul serangan 11 September 2001 atas Gedung WTC dan Pentagon.
Baik AS maupun intelijen Indonesia mengaku menemukan fakta bahwa sekelompok orang asing yang diduga teroris pernah mendapatkan pelatihan militer di sebuah kamp tersembunyi dekat Poso, Sulawasi Tengah. Intelijen AS malah menduga, kelompok di Indonesia adalah sel tidur yang aktif bila posisi Al-Qaidah di Afghanistan terpojok.
Kecurigaan diperkuat dengan ditemukannya peta Kedubes AS di Indonesia di tangan orang yang dituduh anggota jaringan Al-Qaidah yang tertangkap.
Dalam tulisan itu, Abu Bakar Ba’asyir disebut sebagai Laskar Mujahidin. Ba'asyir diidentifikasi sebagai mantan tahanan politik Indonesia yang beralamat di Turki.
Dikabarkan, setelah pengeboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania 1998, Ba’asyir mengirimkan surat kepada selusin kelompok garis keras di Indonesia dan Malaysia untuk mempersiapkan diri peperangan jihad melawan AS. Selain itu juga ditawarkan untuk menemui Osama dengan cara yang aman.
Sedangkan harian The New York Times dalam pemberitaannya tanggal 11-12 Januari 2002 mengangkat belasan orang Indonesia yang tertangkap di Singapura dan disebut-sebut memiliki kaitan yang erat dengan jaringan terorisme tersebut. Harian itu juga menyebutkan, bahwa orang-orang yang tertangkap di Singapura itu mempunyai hubungan dengan beberapa kelompok Islam di Malaysia dan Singapura.
Berita-berita dari media massa AS tersebut dengan jelas menggambarkan betapa Indonesia didominasi oleh “kelompok Islam militan” dan Indonesia dianggap sebagai sarangnya kelompok Islam yang mengarah kepada aksi terorisme, terutama terhadap AS.
Pemberitaan TV MSNBC, The Washington Post, dan The New York Post relatif “tidak berbahaya” bagi Ba’asyir. Meskipun tendensinya mengarah pada MMI dan Ba’asyir karena MSNBC memilih basis MMI, Yogyakarta, sebagai fokus liputannya.
Yang sangat fenomenal dan signifikan adalah pemberitaan dua majalah yang sama-sama secara harfiyah bermakna “waktu”, yakni Majalah Time (Amerika Serikat) dan Majalah Tempo (Indonesia).
Time dianggap --setidaknya oleh MMI-- melakukan trial by the press ketika dalam laporan eksklusifnya pada edisi 15, tanggal 23 September 2002, dengan judul “Confessions Of An Al-Qaeda Terrorist” (Pengakuan Seorang Teroris Al-Qaidah), Time menurunkan tulisan berisi “bocoran rahasia” dari dinas intelijen AS, CIA, tentang pengakuan Omar Al-Faruq, pria asal Kuwait yang disebut sebagai pimpinan jaringan Al-Qaidah di kawasan Asia Tenggara.
Al-Faruq ditangkap di Bogor, 5 Juni 2002, dan langsung diekstradisi ke AS. Anehnya, Dubes AS untuk Indonesia, Ralph F. Boyce, menyatakan bahwa berita itu tidak berasal dari sumber resmi pemerintah AS.
Tanpa bertanya lagi (recheck) kepada Ba’asyir, Time tanpa ragu menyebut Ba’asyir sebagai anggota jaringan teroris internasional Al-Qaidah. Ba’asyir disebut-sebut memiliki hubungan dengan Omar Al-Faruq.
Bahkan disebutkan, Al-Faruq mengakui Ba’asyir sebagai tokoh yang berada di balik rentetan kasus bom Natal 2002 dan terlibat dalam upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri. Al-Faruq pun mengaku meminta izin Ba’asyir untuk menggunakan orang-orang Ba’asyir dalam aksi teror bom. Bahkan, Ba’asyir disebut sebagai perencana peledakan bom di Masjid Istiqal. Time juga menyebutkan Ba’asyir sebagai simpul dari jaringan penggalangan dana untuk laskar ke Ambon.
Secara jurnalistik, Time menyalahi etika jurnalistik karena seharusnya menerapkan cover both sides (pemberitaan silang), demi mencari sebuah kebenaran. Apalagi berita Time tersebut semata-mata merupakan investigasi jurnalistik yang dilakukan wartawannya.
Tapi, atas nama kepentingan politik Amerika, Time telah menjadi corong CIA dalam membidik kekuatan Islam Indonesia dengan Ba’asyir sebagai “target man”. Rumor tentang akan adanga penangkapan Ba’asyir pun kian santer setelah pemberitaan Time –rumor yang kemudian menjadi kenyataan.
Sumpah Abu Bakar Ba’asyir
Ba’asyir tentu saja membantah habis-habisan berita Time tersebut. Bahkan, untuk menguatkan bantahannyaitu, Ba’asyir bersumpah di depan para ulama bahwa dirinya tidak kenal Omar Al-Faruq dan tidak terlibat teror.
Sumpah itu dibacakan Ba’asyir 21 Oktober 2002, di depan para ulama yang menjengungnya saat ia berbaring sakit di RS PKU Muhammadiyah Solo, antara lain Ketua MUI Surakarta Ustadz Ahmad Slamet, pengasuh Pontren Al-Islam Surakarta Ustadz Muzakir, Ketua Umum Majelis Tafsir Al-Quran Pusat Ustadz Ahmad Sukinal, dan Ustadz Ali Bazmul dari Lajnah Dakwah Al-Irsyad.
Dalam sumpahnya Ba’asyir menyatakan sebagai berikut:
“Wallahi, Demi Allah. Saya bersumpah bahwa saya tidak mengenal Omar Al-Faruq, tidak pernah menyuruh berbuat sesuatu dan tidak pernah memberikan biaya kepadanya untuk melakukan sesuatu apa pun juga, tidak merasa membantu, menggerakkan, dan atau menghasut turut serta dalam bentuk apa pun, bahwa saya tidak pernah menyuruh dan tidak pernah membiayai siapa pun juga untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden Megawati maupun presiden RI lainnya.”
Dalam kesempatan berbeda, usai menghadiri sebuah Tablig Akbar di Palembang, Ba'asyir sempat mengingatkan, bahwa fitnah yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap dirinya merupakan salah satu bentuk upaya memusuhi Islam. Oleh karena itu, ia meminta pejabat negara jangan sampai terpancing ikut-ikutan memusuhi Islam. Menurutnya, pemerintah Amerika Serikat saat ini tengah memancing pemerintah Indonesia untuk memusuhi Islam.
Tidak sekadar membantah dan bersumpah, Ba’asyir juga menempuh langkah hukum dalam “perangnya” dengan Time dan CIA. Tanggal 16 Oktober 2002 ia bersama pengacaranya dari Tim Pengacara Muslim (TPM) menggugat Time satu triliun rupiah. Ia mendaftarkan gugatan itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan itu ditujukan pada Time Inc., Karl Taro Greenfield (editor), serta Jason Teja Sukmana (reporter majalah Time di Indonesia).
TPM menilai Time telah melakukan tindakan melanggar hukum dan hak keperdataan Ba’asyir dengan melansir berita bohong dalam pemberitaannya. Sebelumnya, 25 September 2002, Ba’asyir dikabarkan tidak hanya akan menuntut Time, tetapi juga mempertimbangkan untuk menggugat Badan Intelijen Nasional (BIN) dan badan intelijen Amerika, CIA, yang menjadi narasumber Time.
Para tokoh Islam dan umat Islam pada umumnya tampak “merapatkan barisan” dan berada di belakang Ba’asyir menghadapi “fitnah kubro” dari majalah terbitan AS yang hakikatnya menjadi alat kepentingan politik negara adidaya itu. Dukungan itu tampak dari komentar-komentar mereka yang dipublikasikan media massa.
Time dan CIA seakan-akan menjadi “musuh bersama” sehingga dikecam umat Islam. Anehnya, tampaknya pemerintah dan Polri lebih percaya kepada Time, CIA, Al-Faruq, atau Amerika ketimbang ulama saleh sekaliber Abu Bakar Ba’asyir.
Berita Time menjadi panduan Polri dalam bertindak. Keampuhan berita Time terlihat ketika Mabes Polri membentuk Tim Investigasi untuk memeriksa Omar Al-Faruq yang berada dalam tahanan pihak Amerika Serikat. Hasilnya, Direktur Pidana Umum Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi, yang juga Ketua Tim Investigasi mengatakan, bahwa pemberitaan majalah Time seperti dikatakan sebagai “bocoran dokumen CIA” mendekati kebenaran hingga 90 persen!
Menurut Aryanto Sutadi, dalam keterangannya Al-Faruq memang menyebutkan sejumlah “tokoh Islam garis keras”, termasuk Ba’asyir. Berdasarkan hasil investigasi terhadap Al-Faruq itulah Polri kemudian memanggil Ba’asyir untuk diperiksa sebagai tersangka.
Menurut Aryanto, ditetapkannya status tersangka terhadap Ba’asyir itu didasari oleh sejumlah bukti awal yang cukup kuat yang diperoleh dari informasi intelijen kepolisian, pemeriksaan langsung terhadap Faruq, serta sejumlah orang yang berhubungan langsung dengan Ba’asyir.
Sejumlah tuduhan yang dikenakan kepada Ba’asyir antara lain pelanggaran keimigrasian, perencanaan permufakatan jahat (187 KUHP), perencanaan pembunuhan Megawati Soekarnoputri, perusakan barang, dan ikut serta melakukan permufakatan jahat (110 KUHP).
Saat Ba’asyir dan MMI sibuk “berperang” dengan Time dan polisi, tiba-tiba “serangan lain” muncul dari media dalam negeri, Majalah Tempo.
Dalam “laporan investigatif” edisi 28 Oktober-3 November 2002 berjudul “Diakah Sang Imam?”, Tempo menuliskan hasil investigasi wartawannya ke Malaysia –dengan “sedikit-sedikit” mengambil sumber intelejen Singapura dan Malaysia-- untuk melacak keberadaan Jama’ah Islamiyah –organisasi yang dicap sebagai “teroris Asia Tenggara”. Tempo melengkapi laporannya dengan wawancara Sidney Jones –peneliti “Islam Radikal” asal New York, AS.
Pembaca –setelah membaca tulisan itu secara keseluruhan— akan berhasil digiring Tempo untuk membenarkan keberadaan Jama’ah Islamiyyah dengan Abu Bakar Ba’asyir sebabagi “Sang Imam”-nya. Ba’asyir juga dikesankan mengajarkan dan mendorong kekerasan, dan “diduga kuat” Ba’asyir adalah pelaku bom Natal 2002. Tentu saja, pembaca juga diajak membenarkan bahwa Ba’asyir terkait dengan jaringan Al-Qaidah.
Wawancara Tempo dengan Sidney Jones bisa dipahami sebagai indikasi kuat ke arah mana pemihakan Tempo dalam kasus Ba’asyir. Pendapat Sidney Jones terkesan menjadi “term of reference” laporan investigasi Tempo.
Sebagaimana terhadap Time, Ba’asyir dan MMI juga tidak menerima perlakuan Tempo. MMI sangat menyesalkan pemberitaan Tempo yang dalam reportasenya mengait-ngaitkan MMI dengan Jama'ah Islamiyah dan Al-Qoidah. Sementara sumber-sumber yang diambil Tempo juga tidak balance.
Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshori, mengemukakan, yang sangat disayangkan lagi adalah wawancara dengan Ba'asyir sama sekali tidak dimuat dalam majalah itu.
"Namun reportase Tempo malah memuat wawancara wartawan majalah Tempo dengan pihak intelijen Singapura, dan beberapa pihak lain yang cenderung memojokkan Majelis Mujahidin Indonesia," kata Fauzan sebagaimana diberitakan eramuslim.com.
Menurut Fauzan, dari hasil wawancara wartawan Tempo dengan pihak intelijen Singapura dan pihak-pihak anti-MMI lainnya, mengakibatkan seakan-akan ada penjelasan MMI itu termasuk jaringan jaringan Jama'ah Islamiyah (JI). "Padahal wartawan Tempo juga melakukan wawancara dengan Ustadz Ba'asyir. Ini ‘kan tidak adil. Ini namanya trial by the press. Mengapa kami tidak ditanya juga?" cetus Fauzan.
Selain Time, Tempo, TV MNSBC, The Washington Post, dan New York Times, tentu saja masih banyak media AS dan pro-AS lainnya yang menjadi corong propaganda AS tentang terorisme di Indonesia dan keterlibatan Ba’asyir.
Christian Science Monitor misalnya, sejak Oktober 2001 sampai kini, lebih-lebih pascatragedi 12 Oktober 2002 di Bali, terus-menerus membuat laporan soal sel-sel Jemaah Islamiyah dan Al-Qaidah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Republika, 17 November 2002).
Nama-nama seperti Hambali, Ba'asyir, Al-Faruq, dan Agus Dwikarna (salah satu WNI aktivis Laskar Jundullah Komite Penegak Syariat Islam [KPSI] Sulawesi Selatan yang ditangkap di Filipina dengan tuduhan terlibat terorisme), sudah lama disebut-sebut.
Christian Science Monitor juga gencar mengkritik Pemerintahan Megawati yang dinilai “lemah dalam mengatasi aktivitas jaringan teroris di Indonesia”.
Mengutip salah satu tokoh propagandis AS, Rohan Gunaratna, koran misionaris ini mengatakan bahwa sel Al-Qaidah lokal punya kemampuan melakukan aksi teror apa pun di Indonesia.
Sudah bukan rahasia, pascatragedi 11 September 2001, ada begitu banyak media telah secara sukarela ataupun “terpaksa” menjadi agen propaganda kepentingan AS dan lobi Yahudi.
Sebagaimana diungkap Republika (17 November 2002), berita dan laporan-laporan mereka umumnya bias dengan kepentingan operasi PsyOps (Psychological Operations/) dengan dalih kampanye program antiterorisme.
Dalam satu seminar di Singapura, General Manager CNN Internasional, Rena Golden, mengaku jajarannya tak berdaya menghindari bias informasi dalam mengelola siarannya. ''Tak jarang kami terpaksa harus menutup mata terhadap satu berita harus disiarkan ke publik dunia,'' ucapnya pada Newsworld Asia (15 Agustus 2002).
Abe de Vries, kolomnis Emperors-clothes.com, bersaksi ada ribuan tentara dan pegawai US Army Information Service telah bekerja di CNN.
Melalui program Training with Industry, para agen Psychological Operations Group itu bekerja layaknya karyawan reguler CNN. Mereka disebar ke mana-mana dengan tugas membuat reportase, menyiapkan informasi laporan khusus, serta membantu proses seleksi dan produksi berita yang hendak ditayangkan.
Para agen PsyOps itu juga dilatih berbagai teknik komunikasi untuk mempengaruhi opini publik dan media massa lainnya. Dan ketika konflik meletus di berbagai wilayah dan negara, merekalah yang mendapat prioritas dikirim untuk menjadi tenaga liputan. Maka, tak perlu heran, bila CNN dan sejumlah media Barat tak lagi netral dalam pemberitaan kasus-kasus teror dan konflik berdarah, termasuk dalam kasus Ba’asyir dan bom Bali.
Ketua Departemen Data dan Informasi MMI, Fauzan Al-Anshari, bahkan mengaku sudah mengalkulasi secara cermat, tuduhan terhadap Ba'asyir akan terus digalang lewat opini sehingga tercipta trial by the press.
Bahkan, secara sengaja membangun opini sesat dan menyesatkan (trial by the public opinion) sehingga diharapkan muncul praduga bersalah (presumption of guilty) kepada Ba'asyir. Semua itu dilakukan proxy forces AS dan sekutunya guna memudahkan aparat berwenang memberangus seluruh aktivitas tersangka.
Fauzan yakin, setelah Ba'asyir sukses dijerat dengan pasal-pasal buatan, selanjutnya tinggal aktivis MMI. Model reportase semacam itu telah dicontohkan majalah Time (23 September 2002) saat menurunkan pengakuan Omar Al-Fauq berjudul Confessions of an Al-Qaeda Terrorist.
Lalu diikuti majalah Tempo (3 November 2002) bertajuk Diakah Sang Imam? dengan cover gambar Ba'asyir sedang menelepon dengan handphone. Ia yakin opini semacam itu akan terus di-blow up guna menguatkan tuduhan terhadap Ba'asyir.
Fauzan benar. Pembentukan opini publik terus berlangsung di media-media massa Barat yang sering dikuti media nasional. Harian The Australian edisi 13 Desember 2002, memunculkan tuduhan baru bagi Abu Bakar Ba’asyir.
Mengaku mendapat informasi dari penyidik di Malaysia dan Indonesia, harian tersebut menyebutkan bahwa enam pucuk pimpinan Jamaah Islamiyah, termasuk Abu Bakar Ba’asyir, menghadiri sebuah pertemuan di Bangkok (Bangkok Meeting) pada awal Februari 2002 untuk merencanakan bom Bali.
Namun, berita tersebut langsung mendapat bantahan dari Pihak Thailand. Menteri Pertahanan Thamarak Isaragura menegaskan bahwa di negara tidak ada pertemuan-pertemuan semacam itu (detikcom, 13 Desember 2002).
Contoh lain tudingan buat Ba’asyir datang dari majalah Far Eastern Economic Review (FEER) yang memuat wawancara dengan Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew --sebagaimana dilansir Republika (15 Desember 2002).
Melalui rubrik wawancara di majalah FEER edisi 12 Desember 2002 itu, Lee yang kini menjadi Menteri Senior Singapura mengatakan, masa depan Asia Tenggara terancam oleh berkembangnya kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia.
Dalam wawancara berjudul What went wrong?, tokoh Singapura itu mengatakan, di Indonesia ada 100 kelompok radikal Islam yang berbahaya. Di bawah kendali Abubakar Ba'asyir dan Hambali, mereka berupaya “menguasai Indonesia dan bercita-cita mendirikan Daulah Islamiyah yang menghimpun Indonesia, Singapura, Malaysia dan Filipina dalam satu kekhalifahan.''
Kelompok-kelompok radikal Islam, menurut Lee, tumbuh subur di era Pemerintahan Habibie. Dalam waktu singkat, Habibie telah membongkar segala aturan dan hukum yang dibuat rezim Soeharto.
Akibatnya, kelompok-kelompok radikal yang semasa Soeharto berhasil dipinggirkan sekonyong-konyong mendapat lahan subur. Maka, muncullah berbagai macam ekspresi gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia. Habibie dicap menghalalkan penggunaan simbol dan slogan agama dalam wacana perpolitikan di Indonesia.
Apa yang disampaikan Lee sesungguhnya adalah kampanye lama. Tudingan-tudingan yang menyudutkan Islam telah berulang kali dilontarkannya. Mula-mula pada Desember 2001, Lee menyebut adanya sel-sel tidur Al-Qaidah di Indonesia. Dua bulan kemudian, dia mengekspose dokumen Jibril yang diklaim punya Jamaah Islamiyah dan berisi rencana aksi serangkaian teror terhadap kepentingan AS di Asia Tenggara.
Pada Mei 2002, Lee kembali melancarkan propagandanya. Pada konferensi International Institute for Strategic Studies Asia Security, secara eksplisit, dia menuding Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Moro Islamic Liberation Front (MILF), kelompok Abu Sayaf, dan Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) sebagai agen Usamah bin Ladin (Al-Qaidah) di Asia Tenggara. Bahkan Abu Bakar Ba'asyir pun dicapnya sebagai “pemimpin utama JI” di kawasan ini.
Counter Opini : Sebuah Pembelaan buat Ba’asyir
Pemberitaan Time, Tempo, serta media massa lainnya sebagaimana diungkap di atas, hanyalah contoh bagaimana media melakukan tudingan, trial by the press, dan memerankan dirinya sebagai media propaganda. Ba’asyir sudah mencoba melakukan bantahan, namun kekuatannya tidak sehebat pemberitaan atau pembentukan opini publik yang dilakukan kedua media massa tersebut.
Beruntung, media massa lainnya di Indonesia tampak lebih berpihak pada Ba’asyir. Terbukti dengan dieksposnya pernyataan dan komentar tokoh Islam dan pengamat yang lebih menguntungkan posisi Ba’asyir. Komentar yang mendukung langkah Polri dalam menangani Ba’asyir nyaris tidak ada.
Aksi-aksi demonstrasi, tablig akbar, pernyataan sikap, dan pandangan para ulama dan pengamat yang terkesan memihak Ba’asyir, menjadi semacam “counter opini” bagi pemberitaan Time dan Tempo atau media massa AS dan pro-AS lainnya yang menyudutkan posisi Ba’asyir.
Di Jakarta, gabungan ormas Islam mengeluarkan pernyataan protes kepada pemerintah AS yang terus menuduh Indonesia sarang teroris, melalui Duta Besar Ralph L. Boyce dalam peretamuan di Gedung PP Muhammadiyah di Jakarta, 24 September 2002.
Ormas Islam dipimpin Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang juga Sekum MUI Prof. Dr. Dien Syamsuddin. Yang hadir pada acara tersebut antara lain Hussen Umar (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia/DDII), Adian Husaini (Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam/KISDI, Yahya Muhaimin (PP Muhamadiyah), Dr. Hidayat Nur Wahid (Presiden Partai Keadilan), dan Umar Shihab (ketua MUI Pusat), serta Ahmad Bagja (Ketua PBNU).
Dalam pertemuan tersebut, wakil-wakil ormas Islam mempertanyakan langkah-langkah Amerika yang dinilai merugikan umat Islam, terutama yang berada di Indonesia. Boyce –sebagaimana dikemukakan Dien Syamsudin-- mengatakan, tidak ada WNI yang terlibat dalam jaringan teroris. Selain itu, ormas-ormas Islam seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, dan Front Pembela Islam dikatakan Boyce bukan termasuk teroris dan terlibat dalam jaringan teroris.
Boyce mengatakan, Islam Indonesia adalah Islam moderat. Ia setuju ormas-ormas Islam yang hadir pada pertemuan tersebut bukanlah termasuk kelompok teroris. Boyce juga menjelaskan, pemerintah AS tidak bermaksud untuk menghancurkan umat Islam Indonesia. Menurutnya, yang menghancurkan umat Islam itu adalah jaringan Al-Qaidah.
Di Solo, atas nama Forum Umat Islam Indonesia (FUII), sekitar 70 tokoh Islam menggelar pertemuan untuk membahas dan menyikapi tuduhan Amerika --seperti diberitakan Time-- terhadap Indonesia. Pertemuan digelar di Perguruan Al-Islam Solo. Bertindak sebagai tuan rumah adalah Ketua Perguruan Al-Islam, Mudakir, yang juga tokoh Front Pembela Islam Surakarta (FPIS).
Tokoh Islam yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Ba’asyir, Ketua FPI Habib Rizeq, Ketua Majelis Syuro FPIS Cholid Hassa, Ketua Partai Keadilan Solo Muhamad Rodzi, Ketua Tim Pengacara Muslim Mahendratta, dan anggota TPM Ahmada Mihdan. Hadir juga sejumlah habib dari berbagai kota dan para ulama dari Surabaya, Pekalongan, dan kota-kota lainnya.
Dalam pernyataannya, FUII menyangkal tuduhan bahwa Ba’asyir terkait dengan jaringan terorisme internasinal. FUII meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan perlawanan habis-habisan terhadap segala bentuk propaganda busuk pemerintah AS.
FUII juga meminta agar segenap umat Islam berjihad membela agama, bangsa, dan negara, dari segala serangan teroris, zionis, dan gerakan radikal internasional yang ingin melakukan balkanisasi Indonesia dan menghancurkan Islam Indonesia.
Dari kalangan ormas, setidaknya ada delapan elemen yang bersuara menyikapi berita Time itu dan menyebutnya sebagai “propaganda gelap tanpa bukti-buti yang ejelas” (black propaganda).
Delapan elemen bangsa yang terdiri satu Parpol dan tujuh Ormas itu --Partai Keadilan, DPP KNPI, PP Pemuda Katolik, Presidium GMNI, Gema MKGR, DPN Garda Muda Merah Putih Indonesia, PP GP Ansor, serta Betawi Mampang— secara bersama menolak black propaganda yang dilontarkan AS lewat Time.
Respons juga ditunjukkan kalangan anggota DPR RI. Para anggota Komisi I DPR membuat petisi dan mengumpulkan tanda tangan untuk mengutuk CIA dan AS di tengah-tengah acara Raker Komisi I dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di Gedung DPR. Petisi mengutuk CIA dan pemerintah AS itu dilakukan karena anggota Komisi I melihat CIA dan pemerintah AS berencana dan telah melakukan langkah-langkah untuk menciptakan opini memecah-belah bangsa Idonesia.
Dalam pandangan Ketua Komisi I DPR Yasril Ananta Baharuddin, isu yang diberitakan Time hanya karangan CIA. “Mereka ingin melempar bola agar provokasinya berhasil dan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi terlihat jelas,” katanya seperti dilansir media massa nasional. Ia menekankan, aksi provokasi seperti yang dilakukan CIA itu kerap dilakukan di negara-negara yang dianggap penting untuk direcoki.
Yasril pun menduga, Omar Al-Faruq adalah agen CIA yang telah disusupkan ke dalam gerakan-gerakan Islam di Indonesia, untuk kemudian dijadikan awal dari upaya menggulung gerakan tersebut dengan tuduhan terorisme.
Kecurigaan itu didasarkan pada proses hukum yang tidak sewajarnya terhadap Al-Faruq. Ia ditangkap oleh aparat Indonesia, lalu begitu saja diserahkan kepada pihak Amerika dalam satu operasi penangkapan yang misterius. Hal lain yang juga janggal dan mencurigakan, adalah kapasitas informasi Faruq yang kemudian dijadikan dasar bagi AS untuk menekan pemerintah Indonesia agar menindak tegas gerakan-gerakan Islam yang dituduh sebagai kelompok radikal.
Anggota DPR lainnya, Aisyah Amini, juga menyatakan sangat meragukan dan curiga kebenaran pengakuan Al-Faruq sebagai anggota jaringan Al-Qaidah. Menurutnya, pengakuan itu bisa saja rekayasa pihak asing dan kita tidak menyadarinya.
Ia bahkan yakin, bom di Bali, isu percobaaan pembunuhan terhadap Megawati, serta rencana meringkus Ba'asyir merupakan propaganda kotor oleh kekuatan asing dan kaki tangannya di Indonesia. Tujuannya, agar Indonesia takluk dan tunduk pada kemauan asing.
Ketua MPR Amien Rais pun turut memberikan komentar, dengan mengatakan bahwa kasus Omar Al-Faruq yang dilansir Time merupakan skenario CIA untuk mengacaukan Indonesia. Menurutnya, jika laporan Time itu bisa dipertanggungjawabkan, maka dapat dikatakan CIA sudah menjadi alat kepentingan politik luar negeri Amerika, namun merugikan negara Indonesia.
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dien Syamsuddin tergolong aktif melakukan counter opini di berbagai kesempatan. Ia mengaku prihatin terhadap wacana yang berkembang tentang dokumen yang didasari pada pengakuan Omar Al-Faruq.
Din menegaskan, dirinya punya firasat kalau informasi CIA tersebut adalah aksi yang mendahului kejadian sebenarnya, yang bisa menyebabkan pembunuhan itu benar-benar terjadi (preemptive action).
Dien Syamsuddin mendesak pemerintah RI agar bersikap tegas kepada Amerika Serikat, yang membangun opini bahwa Indonesia sarang teroris.
Menurutnya, pemerintah “wajib marah” atas sikap yang merendahkan martabat Indonesia itu. Ia melihat, AS membuat black propaganda terhadap Indonesia, menutup kedutaan dan konsulat jendralnya di sini, bahkan kemudian melarang warganya berkunjung ke Yogyakarta dan Solo. Ia memandang ulah AS itu merupakan suatu penghinaan besar.
Bahwa AS membangun opini menyesatkan tentang Indonesia juga dikemukakan Ketua Umum ICMI Adi Sasono. Ia menyatakan, temuan CIA sebagaimana dimuat dalam majalah Time itu belum tentu benar.
Sampai kini saja AS belum berhasil membuktikan apa benar Usamah bin Ladin sebagai pelaku peledakan WTC dan Pentagon. Ia menilai, data CIA terkait Umar itu sebagai penciptaan opini publik belaka yang tujuannya tak lain adalah terjadinya rekolonisasi Amerika terhadap Indonesia.
Adi tidak percaya orang sebaik Abu Bakar Ba'asyir menjadi teroris. Menurutnya, penangkapan Omar Al-Faruq sebagai tujuan untuk menciptakan stigmatisasi terhadap Islam Indonesia, juga sebagai tekanan terhadap militer dalam rangka memperluas pengaruh Amerika di Indonesia.
Hal senada dikemukakan pengamat intelijen yang kini menjadi Direktur Badan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Soeripto SH.
Menurut mantan intel ini, kalau tuduhan sebagai teroris hanya diperoleh dari satu kesaksian (Al-Faruq), dalam dunia intelijen itu merupakan black propaganda.
Sangkaan teroris oleh AS itu tidak argumentatif, hanya berdasarkan kesaksian satu orang, terlebih yang dituduhkan adalah sebuah jaringan dan organisasi, peledakan bom, ataupun rencana membunuh seorang presiden.
Dijelaskannya, dalam black propaganda, 90% merupakan informasi yang sudah diolah sesuai tujuan yang diinginkan, sedangkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya 10%.
Menurut Soeripto, dalam kasus Time ada dua hal yang dapat dicermati.
Pertama, kemampuan akses yang tinggi dari Majalah Time di CIA sehingga mendapat bocoran kesaksian Al-Faruq.
Kedua, pola lazim dalam intelijen, yakni membocorkan data itu ke media massa. Target dari skenario CIA itu, masih kata Soeripto, adalah menangkapi tokoh-tokoh Islam, seperti Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib, dan nama-nama lainnya.
Soeripto bahkan menduga, Al-Faruq adalah seorang agen khusus CIA yang kemungkinan ditugaskan secara khusus untuk menyusup ke kelompok sasaran, lalu membongkarnya dengan berbagai pengakuan sesuai target yang ingin dicapai.
Selama ini pola menyusupkan seorang agen (planted agent) merupakan salah satu metode yang sering digunakan, terlebih bila CIA ingin mencapai sasaran target yang diinginkan.
“Bila targetnya adalah sosok seperti Ba’asyir yang sering disebut-sebut sebagai 'garis keras' dan 'fundamentalis', maka pola dan skenario itu sangat cocok dipakai,” katanya.
Menurutnya, cara tersebut sangat khas dan merupakan trade mark CIA dalam memburu dan kemudian meringkus sasarannya di beberapa negara.
Apa yang dikemukakan Soeripto senada dengan pendapat pengamat intelijen lainnya, Dr. AC Manullang. Mantan Direktur BAKIN ini mengemukakan, Al-Faruq bisa jadi merupakan agen binaan CIA. “Ia ditugaskan untuk menyusup dan merekrut agen lokal melalui kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Karena tugasnya sudah selesai, dibuat skenario tertangkap,” katanya.
AC Manulang lalu mengungkap beberapa kejanggalan dalam penangkapan Al-Faruq. Ia merujuk pada pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar, bahwa Polri tidak terlibat dalam penangkapan itu.
Di samping itu, dalam penyerahan ke pihak Amerika Serikat tidak disertai dokumen-dokumen. Mengenai pengakuan Al-Faruq seperti diungkapkan majalah Time, bahwa dia adalah otak di balik rencana pembunuhan Megawati dan berbagai pemboman di Indonesia, Manullang menilai hal itu adalah upaya mengkambinghitamkan kelompok Islam. Padahal, yang melakukan pemboman adalah intelijen anti-Islam.
Dugaan bahwa Al-Faruq agen binaan CIA juga dikemukakan pengamat militer MT Arifin. Ia menilai, sebelum menjadikan Ba’asyir sebagai tersangka, seharusnya Polri melakukan cek dan ricek, siapa sebenarnya Omar Al Faruq. “Omar Al Faruq harus dicek dulu. Apakah dia memang agen Al Qaeda yang ditangkap CIA, atau malah menjadi agen kontra intelijen yang memang dibina dan dijadikan sebagai alat untuk kepentingan intelijen,” kata MT Arifin kepada detikcom (18/10/2002).
Menurut dia, jika hasil pengakuan Al-Faruq secara sepihak kemudian dijadikan bukti untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka, maka itu langkah yang tidak tepat. Seharusnya pengakuan Al Faruq tidak diterima mentah-mentah oleh Polri.
Memang, kata dia, pengakuan Al-Faruq bisa sebagai bahan untuk pemeriksaan Ba’asyir.
"Tapi, dalam pemeriksaan itu, polisi lebih menggali informasi apakah memang ada hubungannya dengan Jemaah Islamiyah atau melakukan kegiatan-kegiatan terorisme atau teroris internasional,” kata MT.
“Jadi, pengakuan Al-Faruq ini yang harus dikritisi. Apakah Al-Faruq menjadi agen Al-Qaeda atau kontra intelijen. Ini ‘kan bisa saja sebagai pembenaran tudingan bahwa di Indonesia memang ada teroris,” tambahnya.
Keraguan terhadap dokumen CIA dan Al-Faruq juga disuarakan sejumlah pengamat politik. Pengamat Politik dari Universitas Ekasakti Padang, Ruslan Ismail Mage, menilai dokumen CIA yang mengungkapkan rencana pembunuhan oleh agen-agen teroris terhadap Presiden Megawati itu sarat muatan politis dan bertujuan mengadu domba pemerintah dengan elemen-elemen Islam di Indonesia.
“Dokumen CIA itu patut dan layak dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya,” katanya.
Ia menilai, dokumen CIA tersebut tidak lebih dari bagian dari strategi AS melawan "terorisme" dengan menciptakan opini di kalangan masyarakat pada setiap negara, bahwa Al-Qaida memang harus dimusuhi dan dibasmi secara bersama-sama.
Menurutnya, Amerika berkepentingan menyeret pemerintah untuk bergabung bersama mereka dalam memerangi jaringan Al-Qaidah, sebagai bagian dari upayanya menghancurkan kebangkitan Islam. “AS tidak ingin melihat Islam bangkit di Indonesia, karena khawatir kepentingan strategisnya akan terganggu,” imbuhnya.
Pengamat lainnya dari Iniversitas Mulawarman Samarinda, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH M.Hum, menilai, ada upaya untuk melegitimasikan bahwa Indonesia memang sarang teroris dengan penangkapan Al-Faruq.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara berdaulat seharusnya jangan mudah diatur oleh pihak lain. “Tudingan itu samasekali tidak berdasar dan hanya ingin menjatuhkan umat Islam Indonesia,” katanya. Sarosa menilai, tudingan AS itu menjadi kuat berkat kelihaian negeri itu menguasai informasi dengan memanfaatkan pers.
Sedangkan Ketua Yayasan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Bengkulu, Adji Ali Tjasa SH MH, mengatakan, untuk mengetahui kebenaran dari tuduan CIA, bahwa Al-Faruq merupakan pemimpin Al-Qaidah di Asia Tenggara, seharusnya Al-Faruq dipanggil kembali dan diadili di Indonesia.
Adji menyayangkan mengapa Al-Faruq langsung diekstradisi ke Amerika, sedangkan berdasarkan tuduhan dari CIA disebutkan dia melakukan pengacauan di Indonesia dan dituduh berusaha membunuh Presiden Magawati. Dengan alasan tersebut, Indonesia mempunyai hak untuk mengadili Al-Faruq.
Penyerahan Al-Faruq ke Amerika Serikat, menunjukkan kelemahan pemerintahan Megawati. Ia menilai, tuduhan yang dilemparkan oleh CIA itu merupakan provokasi murahan dari AS untuk menguasai Indonesia dan memecah-belah antara pemerintah dan umat Islam.
Media Menuding “Another Ba’asyir”
Sebenarnya bukan banya Ba’asyir yang menjadi korban trial by the press dalam kasua terorisme, melainkan umat Islam secara kesuluhan. Betapa tidak, media massa menelan mentah-mentah semua keterangan polisi yang menginterogasi tersagka bom Bali Amrozi dan Imam Samudera. Tidak ada kesan kritis dari para wartawan kita terhadap keterangan polisi.
Kapolri dan jajarannya mendadak beralih profesi : menjadi jurubicara para tersangka itu. Tim pembela Imam Samudera bahkan pernah melontarkan tuduhan bahwa polisi melakukan kebohongan publik karena merekayasa pengakuan Imam Samudera.
Hebatnya, media massa sampai bisa melacak dan membentuk peta jaringan Amrozi dan Imam Samudera, sehingga menimbulkan kesan Imam Samudera cs adalah benar teroris, bahkan ketika mereka belum diadili di pengadilan!
Media massa juga --secara sadar atau tidak sadar-- masuk ke dalam perangkap AS, ketika mengekspos isu “radikalisme Islam”.
Media mengesankan tindakan radikal yang dilakukan kaum Muslim, atau yang kebetulan beragama Islam, merupakan radikalisme Islam itu sendiri sebagai agama. Mereka mengidentikkan Islam dengan Muslim, sebuah paradigma salah dalam memperspsi Islam yang dihasilkan kaum orientalis dulu.
Akibat peran media massa itu dalam melakukan trial by the press, Islam dan umatnya menjadi korban --korban rekayasa, korban konspirasi, korban disinformasi, dan korban mispersepsi.
Kalaupun --dan ini sebuah kemustahilan-- Ba’asyir, Imam Samudera, Amrozi, dan lainnya ternyata terbukti tidak bersalah di pengadilan, sasaran sudah tercapa: buruknya citra Islam dan identiknya agama itu dengan terorisme!
Tepat sekali adagium “the new source of power is information in the hand of many”, bahwa sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang. Bahwa opini publik yang dibentuk melalui media massa merupakan kekuatan dahsyat yang tidak dapat dibendung apa pun, dan sulit dihapuskan di benak khalayak.
Media massa berperan besar dalam menuding tokoh-tokoh Islam lainnya yang “selevel” dengan Ba’asyir, seperti Ja’far Umar Thalib dengan Laskar Jihadnya dan Habib Rizieq Sihab dengan FPI-nya.
Media massa, lebih-lebih yang pro-AS, lebih suka mengekspos “wajah seram” Laskar Jihad, dengan penggambaran latihan perangnya, pakaian khasnya, jenggotnya, senjata parangnya, dan action-nya di medan perang Ambon dan Poso.
Majalah Time misalnya menjuluki Laskar Jihad dengan sebutan “radical Islam militia” dan sering melengkapi laporan tendensiusnya dengan gambar-gambar anggota laskar dan warga Muslim, termasuk ana-anak, yang tengah menenteng senjata dan “bersiaga mengepung warga Kristen”.
Jarang bahkan hampir tidak pernah diekspos bagaimana kelemahlebutan dan kesalehan anggota Laskar Jihad di tengah warga Muslim Ambon dan Poso. Tidak diekspos bagaimana mereka mengajar ngaji anak-anak Muslim di sana, atau membangun mushola dan tempat penungsian, ataupun ketika mereka mengobati warga yang terluka di posko-posko medis.
Media massa tidak mengungkap mengapa Laskar Jihad muncul dan beraksi. Apa yang dilakukan Laskar Jihad adalah reaksi, sekali lagi REAKSI, bukan aksi. Jika Muslim Ambon dan Poso tidak teraniaya, Laskar Jihad tidak akan bergerak ke sana menolong saudara seiman mereka.
Demikian pula halnya FPI. Apa yang diberitakan media massa kita hanyalah aksi FPI melakukan razia kemaksiatan. Fakta di belakang itu tidak diungkap, misalnya diamnya aparat kepolisian, surat teguran yang dilayangkan FPI sebelumnya, atau bahwa FPI diserang duluan sehingga mereka mempertahankan diri.
Media massa kita lebih suka mengekspos jalan kekerasan yang dilakukan Laskar Pembela Islam FPI, tidak tertarik dengan latar belakang mengapa mereka bergerak. Jika aparat polisi tegas dalam menegakkan peraturan, Laskar FPI tidak punya alasan untuk bergerak sendiri.
Media massa juga melakukan ketidakadilan ketika di satu pihak mengekspos panahanan Ja’far Umar dan Habib Rizieq, tetapi di pihak lain “tidak tertarik” mengusut kasus makar dan penghinaan agama oleh Theo Syafei.
Salah satu contoh laporan provokatif dan tendensius --juga bisa dbilang “tidak lucu”-- adalah ketika Time memberitakan ada tempat pelatihan perang Al-Qaidah di Poso.
Berita itu dibantah Kadispen Polda Sulteng AKBP, Agus Sugianto, yang mengatakan pihaknya belum menemukan bukti-bukti meyakinkan adanya kegiatan latihan perang-perangan.
"Kalau latihan merakit bom mungkin ada sebab pernah seseorang meninggal di Poso karena bom yang sedang dirakitnya sendiri meledak," katanya kepada wartawan di Palu.
Menurut Sugianto, pernah diinformasikan ada jaringan Al- Qaidah di Poso, namun setelah dilakukan penelitian secara seksama ternyata tidak ada.
"Yang ditemukan petugas hanya warga Indonesia yang kebetulan memakai jubah dan berjenggot, namun bukan anggota Al-Qaidah," katanya.
Sugianto juga mengatakan merasa belum pernah dihubungi wartawan Time. "Belum satu pun wartawan dari majalah Time yang pernah mengecek informasi soal Poso melalui Dispen Polda," katanya.
Berita yang tidak kalah lucunya muncul di harian New York Times tentang Pesantren Hidayatullah yang diisukan CIA sebagai salah satu kamp pelatihan militer Al-Qaidah. Wartawan New York Times, Jane Perlez , datang ke pesantren tersebut. Selama tiga hari ia berkeliling kampus, wawancara dengan para santri, dan melihat aktivitas mereka.
Sekembalinya dari sana, New York Times menurunkan artikel dengan judul Carefully Taught-to Hate the United States. Dalam artikel tersebut dikatakan, para santri telah diajarkan untuk membenci Amerika Serikat. '
'Dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya katakan bahwa Amerika Serikat itu adalah hantu,'' tulis Perlez dalam artikelnya berdasarkan hasil wawancaranya dengan Muhammad Fadhil (16), salah seorang santri.
Dari artikel itu, para ustadz di Pesantren Hidayatullah menduga munculnya tudingan teroris di sana.
''Kami sedih setelah membaca artikel itu. Apa yang wartawan itu tulis sangat bertentangan dengan fakta yang sebenarnya di sini,'' kata Ustadz Syamsul Rijal Palu, Direktur Kampus Hidayatullah.
“Bila Perlez ingin mecari komentar yang miring soal Amerika, ia tak perlu jauh-jauh datang ke kampus ini. Umat Islam di Jakarta saya yakin banyak yang akan mengatakan hal demikian. Sebab media massa Islam sudah sedemikian banyak bercerita tentang itu. Dari media massa juga para santri di sini mengerti soal Amerika. Jadi tak heran bila Fadhil dengan polosnya berkata seperti itu.” (Republika, 10 November 2002).
Apa yang dilakukan New York Times, juga Time, Tempo, dan lainnya, kian menunjukkan bahwa media massa menjadi alat efektif propaganda dan sarana pencapaian kepentingan politis tertentu. Kode etik dan prinsip-prinsip jurnalistik lebih sering diabaikan, atau dilaksanakan hanya sekadar “memenuhi prosedur standar jurnalistik”.
Sebuah riset yang dilakukan sebuah pemantau media di Jawa Timur, Lembaga Studi dan Perubahan Sosial (LSPS), menunjukkan bahwa pemberitaan media cetak masih banyak mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik.
Menurut hasil riset yang dipublikasikan LSPS 8 Februari 2002 di Surabaya itu, lebih 50 persen berita di media mengedepankan fakta psikologis, tingkat cek dan ricek rendah, tingkat relevansi standar jurnalistik rendah. Selain itu, pemberitaan juga didominasi oleh pencampuran fakta dan opini, tidak memperhatikan both sided coverage, serta tidak berimbang.
Hasil riset itu juga mengungkapkan, media cetak masih menjadi medium kekuasaan politik, ekonomi, dan kelompok untuk mendesakkan kepentingannya. Akibatnya, media tidak sekadar melaporkan fakta, tetapi juga berupaya mempengaruhi opini publik, menjadi ajang perang simbolik, dan cenderung melibatkan diri dalam keberpihakan.
Kesimpulan dalam riset itu menyoroti bahwa media cetak lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi berita, dan lebih banyak mengutamakan fakta opini (psikologis) daripada sosiologis. Hal ini menunjukkan lemahnya investigasi reporting yang mengakibatkan tingkat presisi rendah.
Sumber:
Buku : Kontroversi Ba’asyir : Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global
Penulis: Idi Subandy Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli
Penerbit: Nuansa, Bandung
Tahun Terbit: 1, Januari 2003
Tebal: 168 halaman
Penulis: Idi Subandy Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli
Penerbit: Nuansa, Bandung
Tahun Terbit: 1, Januari 2003
Tebal: 168 halaman
Post a Comment