Website Dakwah untuk Kemuliaan Islam dan Kaum Muslim

Kisah Masjid Jogokariyan dan Basis PKI Yogyakarta

Masjid Jogokariyan di Jalan Jogokariyan No 36, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, dilempari batu Minggu (27/1/2019).

Pelemparan terjadi usai acara 'Deklarasi Jogja Dukung Jokowi' yang digelar Aliansi Masyarakat Yogyakarta di Kompleks Stadion Mandala Krida, Yogyakarta.

Kisah Masjid Jogokariyan dan Basis PKI Yogyakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menduga ada provokator dalam insiden ini.

"Yang jadi provokator harus diusut supaya ketahuan pelakunya. Polisi cepat, tegas, siapa oknum itu," kata Ketua Bidang Infokom MUI KH Masduki Baidlowi.

Ada dugaan, pihak yang melempari masjid tersebut merupakan simpatisan PDIP. Masduki menduga ada pihak yang berusaha melakukan provokasi agar muncul kekisruhan.

"Saya kira itu susupan-susupan, ya. Masa bawa senjata tajam dan segala macam. Itu yang mesti hati-hati. Siapa yang memprovokasi? Ya pihak-pihak yang tidak senang Indonesia damai," ujarnya.

"Masjid dan PDIP kan selama ini seolah ada yang mempertentangkan. PDIP seolah-olah anti-Islam, dihubungkan dengan PKI. Padahal nyatanya banyak sekali kader muslim di PDIP. Kawan-kawan saya juga banyak orang Islam yang baik," tambahnya.

Masduki mengapresiasi pihak masjid dan PDIP PAC Mantrijeron yang menyelesaikan masalah secara damai. Mediasi yang disaksikan aparat kecamatan, polsek, dan koramil itu bisa meredam potensi kekisruhan membesar.

Takmir Masjid Jogokariyan menggambarkan penyerangan dilakukan dengan membabi buta.

"Mereka pakai motor, ada yang lari melempari (batu), bawa sajam (senjata tajam), ada yang bawa pedang, ada yang celurit, ada besi, macam-macam. Karena (mereka) banyak, kita nggak tahu. Saya saja mau kebacok, mau kelempar batu," ujar Ketua Takmir Masjid Jogokariyan, Muhammad Fanni Rahman.

Menurut Fanni, Masjid Jogokariyan dilempari batu oleh oknum simpatisan sebuah parpol.

Pukul 13.00 WIB, Aliansi Masyarakat Yogyakarta menggelar acara 'Deklarasi Jogja Dukung Jokowi' di Kompleks Stadion Mandala Krida.

Usai deklarasi, sejumlah laskar melangsungkan konvoi di sejumlah tempat. Akhirnya timbul ketegangan internal mereka sendiri di beberapa titik. Tercatat bentrok antar laskar dan masyarakat sipil terjadi di Ngampilan, Umbulharjo, dan Jogokariyan.

Pukul 16.00 WIB, sejumlah massa melintas di Jalan Jogokariyan dari arah barat. Saat sampai di dekat masjid, mereka justru melempari masjid dengan batu dan benda-benda tumpul lainnya.

"Mereka pakai motor, ada yang lari melempari (batu), bawa sajam, ada yang bawa pedang, ada yang celurit, ada besi, macam-macam. Karena banyak kita enggak tahu. Saya saja mau kebacok," jelas Fanni.

Pukul 17.00 WIB, perwakilan simpatisan parpol dengan pihak Takmir Masjid Jogokariyan duduk satu meja di Kantor Kecamatan Mantrijeron. Mereka melangsungkan mediasi dengan difasilitasi Pemerintah Kecamatan, Koramil, dan Polsek Mantrijeron.

Pukul 19.00 WIB, mediasi antara perwakilan simpatisan parpol dengan pihak Takmir Masjid Jogokariyan selesai. Ketua PAC PDIP Mantrijeron, Junianto, selaku wakil simpatisan parpol dan penggerak pelemparan batu diharuskan meminta maaf.

"Kesepakatan dua hal, kesepakatan damai. Karena juga ini isu sensitif berbeda dengan kejadian yang lain. Kami juga enggak mau dibawa ke urusan politik. Karena pelakunya juga teman-teman sudah tahu orang-orangnya itu," tuturnya.

"Biar clear, karena saya butuh untuk itu. Karena apa? Untuk meredam situasi. Sesepuhnya (PAC PDIP Mantrijeron) sudah minta maaf. Tapi pelaku penggeraknya (belum), satu orang saja (penggeraknya) harus minta maaf," tutupnya dikutip detik.com.

Sejarah Masjid Jogokariyan & Basis PKI

Dilansir website resmi masjid, sebelum 1967, di kampung Jogokariyan belum ada masjid. Kegiatan keagamaan dan dakwah berpusat di sebuah langgar kecil di pojok kampung, namun tidak pernah terisi karena masyarakat Jogokariyan pada saat itu umumnya kalangan “abangan".

Ketika terjadi kesenjangan ekonomi, saat Kampung Jogokariyan berubah jadi kampung batik dan tenun, penduduk asli yang miskin di tengah kemakmuran pendatang, maka esenjangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan sentimen kelas buruh dan majikan.

Gerakan PKI disambut antusias oleh warga Jogokariyan, sehingga Jogokariyan pun menjadi basis PKI yang didominasi warga miskin dan buruh.

Saat meletus G30S PKI 1965, banyak warga yang diciduk (ditangkap dan dipenjara) sebagai tahanan politik.

Di masa-masa kritis tersebut, Masjid Jogokariyan dibangun dan menjadi alat perekat untuk melakukan perubahan sosial menjadi masyarakat Jogokariyan yang berkultur Islam.

Jogokariyan yang dulu “Abangan” Komunis pun berubah menjadi masyarakat Islami melalui dakwah berbasis Masjid.

Para pendiri dan perintis dakwah di Jogokariyan sepakat memberi nama masjid ini dengan nama “Masjid Jogokariyan”.

Penamaan masjid ini berdasarkan nama tempat atau wilayah, mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, ketika memberi nama masjid yang pertama beliau dirikan di kampung Kuba Madina di beri nama juga “Masjid Kuba”. Demikian pula dengan masjid yang dibangun di kampung “Bani Salamah” juga dikenal sebagai Masjid “Bani Salamah”.

Ta’mir masjid Jogokaryan membuat sistem keuangan masjid yang berbeda dari masjid lainnya. Masjid Jogokariyan selalu berupaya keras agar di tiap pengumuman, saldo infak sebisa mungkin NOL!

Infak itu ditunggu pahalanya untuk menjadi ’amal shalih, bukan untuk disimpan di rekening bank. Meskipun pada aplikasinya tidak mungkin saldo selalu Nol, tapi motto ini adalah tekad untuk menyegerakan penyaluran infaq.*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post